“Komitmen kolektif yang dapat dibangun guna memaknai peristiwa sumpah pemuda bisa diletakan dalam kerangka untuk menyikapi problem kebangsaan saat ini”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Hari ini, 28 Oktober, seperti biasa di media sosial anak-anak muda, terutama aktivis akan ramai dengan ucapan terkait Hari Sumpah Pemuda. Ya, semacam rutinitas tahunan untuk memaknai peristiwa bersejarah yang pernah ditorehkan oleh pendahulu bangsa.
Wajar momentum itu terus dimaknai oleh generasi sekarang, karena dari titik itulah cikal bakal Indonesia di mulai. Kala itu, intelektual muda bumi putra atau pribumi merasa berkepentingan untuk membangun komitmen bersama, yang termanifestasi dalam sumpah pemuda, 91 tahun yang lalu.
Sumpah itu adalah kesepakatan kolektif para pemuda yang merasa senasib, karena sama-sama ada dalam pasungan kolonialisme. Upaya melalui sumpah itu ternyata efektif, sebab mampu menyatukan. Titik kulminasinya adalah proklamasi kemerdekaan sebuah negara baru, Indonesia.
Sumpah pemuda adalah energi besar bagi bangsa ini. Komitmen kebangsaan lewat sumpah pemuda itulah yang mengikat dan mempersatukan, meski sejatinya ada dalam banyak perbedaan atau keragaman.
Hampir tak ada negara lain di dunia ini yang punya sub-etnik, pulau, bahasa dan kultur sebanyak Indonesia, namun mau tetap hidup bersama dalam satu rumah besar negara-bangsa. Itulah hebatnya sumpah pemuda.
Sungguh digdaya, tuah dan pengaruh sumpah pemuda terhadap perjalanan hidup dan peradaban sekumpulan manusia yang tinggal di garis khatulistiwa ini. Suatu cerita bagaimana ikrar yang dikumandangkan dan dijalankan dengan konsisten akan dapat terjaga dan meretas dalam setiap sanubari anak-anak bangsa.
Cerita sukses dari sebuah komitmen kolektif itu rasanya tidak berlebihan untuk diulang oleh pemuda kekinian. Namun generasi milenial jangan mau sekadar kembali dalam romantisme sejarah masa lalu.
Hingga hanya ada dalam ritus simbolis peringatan sumpah pemuda dan berjarak dengan realitas. Sebab faktanya, saat ini kita ada dalam tantangan, ancaman dan problem kebangsaan yang tentu telah jauh berbeda dengan situasi saat pertama sumpah itu diikrarkan.
Karena itu komitmen kolektif yang dapat dibangun guna memaknai peristiwa sumpah pemuda mestinya bisa diletakan dalam kerangka untuk menyikapi problem kebangsaan saat ini. Yaitu satu bentuk peringatan sumpah pemuda, tapi kekinian. Pelaksanaannya pun tidak mesti dilakukan dalam satu acara seremonial yang kerap minim substansi.
Komitmen dalam sumpah pemuda kekinian itu dapat mencakup sikap dan perilaku personal kita para pemuda, yang bila tidak dijaga, diantisipasi atau diperbaiki akan memberikan insentif buruk terhadap kelangsungan dan kemajuan peradaban bangsa ini. Apa saja itu?
Pertama, adalah perilaku koruptif. Ini biang kerok hingga bangsa kita masih sulit ‘move on’. Terjadi di berbagai tempat, lintas generasi, gender dan hampir di semua strata sosial.
Dari juru parkir hingga petinggi negara, dari penjahat kambuhan yang menilep jatah hasil curian komplotannya, hingga tokoh agama yang korupsi dana umat. Dari anak muda yang lagi berbinar penuh prestasi, hingga orang tua yang sudah bau tanah.
Memang korupsi adalah perilaku personal, tapi kerap pula dilakukan secara berjamaah atau sindikat. Membuat anggaran bagi kesejahteraan publik yang sejatinya masih minim, disunat sana-sini untuk memperkaya diri, sementara rakyat hanya kebagian ampas atau sisa.
Perilaku koruptif ini yang membuat sampai saat ini masih banyak anak-anak bangsa yang baju seragam sekolahnya lebih dekil dan kotor dari kain lap yang dipakai saban hari untuk membersihkan mobil para pejabat. Korupsi telah menyengsarakan rakyat dan membuat sejumlah daerah di Indonesia masih jauh dari merdeka secara substantif, yaitu merdeka dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Kedua, adalah perilaku buruk terhadap lingkungan. Ini satu problem yang kian mengkhawatirkan, karena dampaknya dapat langsung terlihat dan dirasakan, mempengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Kita sudah terbiasa melihat orang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Bahkan ironisnya hal itu bisa dilakukan di bawah papan pengumuman atau spanduk yang mengingatkan “Jangan Buang Sampah Disini”.
Sering kali usai acara atau kegiatan mahasiswa dan pemuda, seperti acara seminar hingga acara keagamaan, sampah terlihat berserakan dimana-mana, terinjak-injak tanpa ada yang peduli. Saat dijalan, kita kerap dengan mudah melihat ada yang menurunkan kaca kemudian membuang sampah lewat jendela mobilnya.
Sampah yang dibuang sembarangan tidak saja mengotori pemandangan, tapi juga membuat saluran air tersumbat, penyebab banjir atau genangan air. Sampah juga turut merusak fasilitas publik dan menjadian rumah bagi sumber penyakit.
Sampah plastik bahkan bila masuk ke laut, aliran sungai dan danau, akan merusak ekosistem dan lingkungan hidup. Sampah plastik butuh ratusan tahun untuk dapat diurai oleh alam.
Ketiga, adalah kejahatan narkotika. Ini adalah persoalan serius yang bisa menghancurkan satu generasi. Sama seperti korupsi, korban dan kejahatan narkotika juga melibatkan berbagai kalangan.
Dampak dari narkotika sangat destruktif, karena menjadi pangkal terjadinya sejumlah kejahatan atau tindakan kriminalitas lainnya. Narkotika telah merampas kebahagiaan banyak keluarga dan masa depan anak-anak muda Indonesia.
Keempat, adalah radikalisme dan terorisme. Ini menjadi ancaman serius bagi kesatuan bangsa. Radikalisme tumbuh subur akibat cara pandang yang sempit serta menempatkan diri atau kelompoknya dalam posisi paling benar dari orang atau kelompok lain.
Sementara terorisme adalah tindakan kriminal atau kekerasan yang didasarkan atas pemahaman radikal. Radikalisme tidak selalu menghasilkan aksi terorisme, tetapi aksi terorisme selalu berakar dari pemahaman atau ideologi radikal.
Pastinya, radikalisme dan terorisme telah tumbuh dan berkembang di tanah air, kerap memicu lahirnya intoleransi dan arogansi yang sering pula berujung pada konflik, kekerasan dan perseteruan yang merusak perdamaian.
Paham semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan tumbuh dan berkembang. Harus dilawan atau ditolak karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Kelima, adalah kurangnya etos kerja. Ini masalah utama yang selama ini menarik turun produktivitas serta daya saing kita sebagai sebuah bangsa. Minimnya etos kerja anak-anak muda dapat kita lihat dengan mudah, dalam banyak aktivitas keseharian.
Tidak disipilin, datang terlambat, kurang inovasi dan miskin kreativitas, nongkrong habiskan waktu untuk ngobrol ngalur-ngidul, ‘kewel’, hingga anak sekolah atau mahasiswa yang malas belajar dan suka bolos, adalah pangkal dari minimnya komitmen dan etos kerja.
Menjadi kultur yang tidak kondusif bagi kemajuan satu entitas bangsa. Dampaknya bisa dilihat, banyak anak-anak muda yang tinggal di daerah yang relatif kaya sumber daya alam seperti kita di Maluku, tapi tetap miskin.
Perhatian pemerintah memang turut menjadi soal. Tapi ketiadaan komitmen dan etos kerja dalam diri pemuda masa kini juga adalah problem yang mendasar.
Lantas apa langkah minimal yang bisa dilakukan dalam menyikapi berbagai problem di atas? Sudah barang tentu dengan memaknai hari Sumpah Pemuda, komitmen kolektif kekinian itu bisa dilakukan.
Yakni dengan bersumpah dan berjanji pada diri. Berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan mampu berkontribusi positif bagi beradaban manusia dan kemajuan bangsa.
“Kami pemuda-pemudi Indonesia. Bersumpah dan berjanji, tidak akan korupsi, selalu menjaga lingkungan hidup dengan membuang sampah pada tempatnya, tidak menggunakan narkotika, menolak paham radikalisme dan terorisme, serta selalu meningkatkan semangat dan etos kerja untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat”.
Nah, kita baru saja secara kolektif mengikrarkan sumpah dan janji itu. Semoga terpatri dalam diri dan kita semua konsisten dalam menjalankannya. Selamat Hari Sumpah Pemuda, maju dan jaya pemuda Indonesia.
Jakarta, 28 Oktober 2019
Penulis adalah Direktur IndoEast Network