Oleh: Okky Latuamury
Momentum Banjir di Sulawesi Selatan (Sulsel) di mana sungai Jeneberang meluap, dan membawa material sungai dan air menggenangi Sulsel secara luas, perlu menjadi peringatan bagi kita semua. Bahwa sungai bisa saja sewaktu-waktu menjadi tidak bersahabat.
Ini juga menjadi catatan penting, khususnya warga Kota Ambon dalam melihat dan memahami sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Ambon. Sebagi pulau kecil Ambon juga memiliki sejumlah DAS yang unik dengan karakter yang berbeda dengan DAS di pulau-pulau besar.
Dalam dua pekan terakhir, saya menyempatkan diri menginjakkan kaki di dua sungai di Kota Ambon, yaitu di DAS Wae Batu merah dan DAS Wae Batu Gajah. Dua potret sungai yang bisa mewakili karakter DAS di Pulau Kecil seperti Pulau Ambon.
Hasil potret udara terkini, dengan menggunakan Drone menyajikan gambaran landscap DAS Pulau kecil yang sangat menarik. Panjang DAS yang sempit dan pendek, namun memiliki rasio percabangan sungai yang rapat, dan sejumlah faktor fisik lingkungan lain. Hal ini berpotensi atau dapat memberikan implikasi yang signifikan terhadap banjir.
DAS yang banjir bisa jadi adalah periode ulangan atau semacam siklus dalam kurun waktu tertentu. Bisa terjadi pengulangan dalam kurun waktu 20, 15, 10 atau 5 tahun. Sungai yang banjir itu sesungguhnya adalah sebuah siklus wajib untuk sungai.
Untuk itu, manusia sebagai agen perencana dan pelaku perubahan atau pembangunan harus dapat membaca perubahan alam akibat aktivitas manusia. Fenomena yang dibaca dan ditangkap dapat menjadi catatan dan rekomendasi agar ada tindakan-tindakan yang berimbang terhadap alam, khususnya DAS.
Ambon akan memiliki banjir separah apakah jika kita melakukan pembiaran tanpa peduli sungai? Ini pertanyaan kritis yang harus selalu menghantui kita agar tetap waspada. Paradigma perencanaan pembangunan daerah sudah saatnya melek dengan basis data program aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Apalagi kita kota kecil dalam teluk, dengan DAS sungai kecil serta topografi dan karakteristik yang unik seperti Ambon. Sekadar catatan dari dua DAS Wae Batu Gajah dan DAS Wae Ruhu ternyata memiliki dua potret kondisi yang berbeda.
DAS Wae Ruhu bagian Hulu memiliki batuan yang unik. Hulu sungai ini masih dimanfaatkan warga Kota Ambon untuk mencuci pakaian. Namun penuh sampah di sekeliling sungai. Sesuatu yang memprihatinkan, karena gejala ini hampir ada di semua tempat.
Kondisi spasial trend demografi DAS Wae Ruhu juga perlu menjadi perhatian. Persebarannya sudah melanggar aturan sempadan sungai sebagai catchment area.
Sementara DAS Batu Gajah, yang memiliki batuan Dinosaurus, menjadi sesuatu yang unik dan penuh arti. Kondisi sepanjang bantaran sungai bersih dan apik, walaupun aktivitas mencuci kebutuhan domestik juga tapak seperti di DAS Wae Ruhu.
Perbedaan dari dua DAS secara Antropologi juga menarik untuk bisa diulas dalam kesempatan berbeda. Pastinya, mari membaca tanda-tanda alam dan melakukan antisipasi atau mitigasi sebelum satu bencana itu benar-benar datang.
Salah satu bentuk mitigasi itu dengan sama-sama berikan perhatian yang lebih besar terhadap DAS. Kita turut benahi kota, mulai dari program aksi sungai bersih, menjaga pepohonan di DAS adalah cerminan warga yang sehat dan cerdas.
Momentum Adipura yang kembali diberikan kepada Kota Ambon mestinya dapat mempertegas komitmen semua warga dan menjadi titik balik untuk memahami arti pentingnya pelestarian lingkungan, menjaga alam, laut dan darat, untuk hari ini dan masa depan.
Penulis adalah pengajar di Universitas Pattimura-Ambon, tulisan ini diambil dari laman facebook-nya.