Mengupayakan Solusi Penanggulangan Sampah Plastik di Maluku

0
2975

”Sudah saatnya semua kelompok yang tercerahkan berdiri paling depan untuk mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat, sehingga tidak lagi membuang sampah sembarangan khususnya sampah plastik.”

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Momentum penting di tengah fenomena sampah, terutama sampah plastik yang kini kian mengkhawatirkan, termasuk di Maluku. Membutuhkan perhatian yang ekstra serius.

Sebagai daerah yang memiliki luas lautan yang lebih besar, perilaku membuang sampah sembarangan dan belum adanya mekanisme pengolahan atau daur ulang sampah yang memadai, membuat probabilitas terbuangnya sampah ke laut makin tinggi. Faktanya, laut Maluku makin tercemar.

Kita akan dengan mudah melihat masyarakat tanpa rasa bersalah membuang sampah di pantai atau laut. Perilaku yang lumrah terjadi di banyak tempat di Maluku. Tentu ada banyak pihak yang bertanggung jawab akan kondisi ini.

Selain minimnya kesadaran masyarakat yang menjadi persoalan mendasar, masih kurang tanggap dan tidak cakapnya pemerintah di daerah juga adalah problem tersendiri. Semua seperti acuh dan masa bodoh.

Tak ada fasilitas pembuangan sampah, kurang-nya penyuluhan atau program dan regulasi yang bisa meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan adalah fakta yang menunjukan bahwa pemerintah, termasuk organisasi masyarakat sipil masih lalai atau tak hadir dalam menyikapi perilaku sosial semacam ini. Belum banyak yang melihat sampah, utamanya plastik sebagai persoalan besar.

Aktivitas membuang sampah ke laut bila ditelisik sejatinya adalah hal yang lumrah terjadi sejak lama. Dahulu hal itu tidak menjadi soal, ketika belum ada banyak sampah plastik. Karena sampah yang dibuang lebih banyak sampah organik, seperti daun, kayu dan lainnya yang gampang diurai oleh alam.

Baca Juga  Wagub Maluku dan Anak Positif Covid-19, Istri Masih Inkonklusif

Kondisi sudah berbeda. Saat ini, plastik memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena proses pembuatannya yang memang mudah, harganya yang murah, sifatnya yang mudah dibentuk dan tahan lama, serta kegunaannya yang banyak, mulai dari pembungkus permen, sampai pada komponen pesawat luar angkasa.

Walaupun demikian, di balik keunggulannya, plastik memiliki efek samping yang besar bagi lingkungan karena sulit terurai secara alami. Menurut Keni Vidilaseris, seorang peneliti di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, diperkirakan atau dibutuhkan waktu sekitar 500 sampai 1.000 tahun agar plastik bisa terurai di alam.

Itu pula mengapa sampah plastik menjadi ancaman serius bagi ekologi dan lingkungan hidup. Karena itu pula di berbagai tempat terutama di negara-negara maju, upaya penanggulangan sampah plastik terus dilakukan dan menjadi prioritas.

Berbagai cara dibuat. Mulai dari hal yang sederhana seperti membuat kerajinan berbahan sampah plastik hingga daur ulang yang dimulai dengan membuat bank sampah untuk memudahkan pengumpulan sampah plastik.

Tidak hanya soal membuang sampah pada tempatnya. Upaya terpenting lagi adalah bersama meminimalisir penggunaan plastik. Misalnya dengan menggunakan botol minum isi ulang seperti tumbler, memakai bungkus makanan dari daun serta membawa tas saat belanja ke toko, menghindari penggunaan kantong plastik.

Untuk mengurangi penggunaan plastik bisa saja dibuat gerakan dan peraturan menggunakan Kamboti, tas dari anyaman daun kelapa khas Maluku. Selain unik dan ramah lingkungan, Kamboti juga punya nilai ekonomis karena dapat melahirkan dan meningkatkan pendapatan pengrajin, termasuk ekonomi kreatif bila dijadikan cinderamata atau souvenir buat oleh-oleh para turis. Intinya, dalam konteks ini pemerintah mestinya ada di garda terdepan.

Terkait regulasi misalnya, pemerintah daerah di Maluku bisa saja mencontoh apa yang telah dilakukan di Bali. Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Gubernur Bali Wayan Koster mulai 2019 lalu telah menetapkan aturan pengurangan sampah plastik. Regulasi tersebut adalah Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Baca Juga  Catatan Klarifikasi Negeri Pelauw Terkait Konflik dengan Kariu, 26 Januari 2022: Ada Pelanggaran HAM By Omission

Isi Peraturan Gubernur (Pergub) lebih panjang dan bahasanya cukup ambisius. Pergub Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai ini bertujuan mengurangi limbah plastik sekali pakai dan mencegah kerusakan lingkungan. Plastik Sekali Pakai (PSP), adalah segala bentuk alat atau bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai.

Hanya tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub ini, yakni kantong plastik, polysterina atau styrofoam, dan sedotan plastik. Aturan ini juga mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP. Aturan ini juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya.

Selain komitmen dari pemerintah, masyarakat sipil juga bisa mengambil bagian penting. Sudah saatnya semua kelompok yang tercerahkan berdiri paling depan untuk mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat, sehingga tidak lagi membuang sampah sembarangan khususnya sampah plastik.

Begitu pula dengan inisiatif warga yang telah berhasil bisa segera diduplikasi. Misalnya Klasis GPM Lease, sudah beberapa tahun terakhir ini menjadikan sampah sebagai isu utama pelayanan. Tidak hanya itu, kerjasama pun dilakukan dengan sejumlah stakeholders, termasuk dengan Universitas Pattimura utamanya dalam memberikan edukasi melalui sekolah-sekolah dan jemaat-jemaat.

Upaya yang mulai terlihat hasilnya, dari evaluasi akhir tahun 2018 lalu, distribusi minuman kemasan seperti Aqua dan Aiso, khususnya ke Saparua menurun drastis karena tingkat permintaan yang rendah. Ini dapat terjadi karena gereja menganjurkan agar semua even gerejawi tidak boleh menggunakan minuman kemasan. Bila upaya ini mau diadopsi oleh lembaga-lembaga keagamaan, termasuk organisasi masyarakat sipil lainnya, pengaruhnya pasti signifikan.

Baca Juga  Presiden MFC Bertemu Tokoh Maluku Soendeson Tandra, Gagas Kolaborasi Majukan Usia Dini

Apabila pemerintah mau bersungguh-sungguh. Termasuk dengan mencontoh daerah lain yang telah sukses dalam pengendalian dan pengelolaan sampah, juga masyarakat sipil mau bergerak bersama melakukan edukasi guna meningkatkan kesadaran zero waste.

Kedepan ada harapan fenomena sampah khususnya sampah plastik bisa dikendalikan dan diminimalisir. Jika tidak, lambat laun ‘surga’ dan alam yang indah seperti yang kita miliki di Kepulauan Maluku ini akan rusak dan bahkan menjadi ‘neraka’ bagi ekosistemnya.

Penulis adalah inisiator Beta Green, program unggulan IndoEast Network