Saya Dicari, Apakah Tentara Mulai ‘Offside’?

0
5825
Ilustrasi Anggota TNI (Foto: Istimewa)

“Sebagai alat pertahanan, aparat TNI mestinya harus menghindari aktivitas yang dapat disimpulkan sebagai tindakan mengurusi kebebasan sipil dan politik warga negara.”

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Sore itu, 15 Agustus 2020, melalui telepon seluler, ibu saya dengan perasaan penuh was-was mengabarkan bahwa rumah kami di Pulau Haruku baru saja kedatangan tamu. Bukan tamu biasa, katanya dari intel Kodam XVI Pattimura, mereka mencari dan menanyakan keberadaan saya.

Memang saat itu saya sedang tidak berada di rumah. Belum jelas apa motifnya, tapi ibu saya menjelaskan kalau kedatangan tentara itu terkait dengan sejumlah kegiatan advokasi, kritik kreatif dan catatan saya di media, termasuk dilaman Facebook bertajuk; Sudut Pandang.

Ini tentu fenomena menarik untuk diketengahkan. Karena sebagai aktivis dan pernah terlibat dalam sejumlah kegiatan yang terkait langsung dengan isu reformasi sektor keamanan sipil dan pemajuan demokratisasi, saya membaca situasi dan pendekatan ini kurang proporsional.

Pertama, soal keterlibatan tentara dalam aktivitas politik sipil. Reformasi internal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah berjalan selama beberapa tahun ini harus diakui telah cukup banyak mengubah paradigma TNI yaitu dengan dikembalikannya fungsi militer ke dalam bidang pertahanan dan dihapuskannya konsep Dwifungsi ABRI.

Perwujudan bahwa militer yang profesional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi ada satu hal yang perlu menjadi perhatian yaitu bahwa wujud nyata profesionalisme militer tidak hanya ditandai dengan militer yang harus meninggalkan panggung politik dan mengurangi aktivitas bisnisnya.

Namun, juga ditandai dengan keberadaan militer yang menghormati dan mematuhi pemerintahan sipil yang berdaulat, termasuk pula hak-hak masyarakat sipil. Militer hanya menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan di bidang pertahanan.

Baca Juga  Gagalnya NKRI, Hidupkan Gagasan Federalisme, Selamatkan Indonesia

Dalam konteks ini tentu menjadi berlebihan atau ‘offside’ jika sesuatu yang terkait dengan aktivitas masyarakat sipil, terutama dalam menyampaikan pendapat dan gagasannya, termasuk di media sosial, kemudian aparat militer turut ambil bagian menyikapinya.

Berlebihan karena sesuatu yang mestinya ada dalam ranah atau otoritas sipil, kemudian dimasuki oleh militer. Supremasi sipil menjadi dilangkahi, gejala yang tentu kontraproduktif bagi negara demokrasi yang sedang memantapkan kontrol sipil.

Dalam kajian ini, meminjam pendapat Samuel P. Huntington dalam karyanya The Soldier and the State: the Theory of Civil – Military Relations, kontrol sipil obyektif, menjadi sangat penting. Hal itu juga diyakini sebagai salah satu cara untuk meningkatkan profesionalisme di kalangan militer.

Maka kondisi hubungan sipil – militer mestinya diarahkan untuk menciptakan sebuah pola hubungan sipil – militer yang seimbang dan terkendali. Tidak bisa serta-merta militer mengambil langkah di luar kewenangannya, dan masuk pada wilayah yang menjadi otoritas sipil.

Dalam pengertian kontrol sipil yang obyektif, kekuasaan militer diminimalkan. Landasan berfikir Huntington inilah yang kemudian juga dijadikan alasan untuk menggusur kekuatan militer dari pentas politik sehingga hanya menempatkan TNI berdasarkan pada fungsi dan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Sebagai alat pertahanan, aparat TNI mestinya harus menghindari aktivitas yang dapat disimpulkan sebagai tindakan mengurusi kebebasan sipil dan politik warga negara. Jika hal itu dibiarkan terjadi, akan menjadi alamat buruk atau kemunduran dalam reformasi sektor keamanan.

Sinyalemen itu begitu terasa dalam peristiwa intel TNI menyambangi rumah saya itu. Satu kejadian yang perlu menjadi titik kritis, jika tidak reformasi TNI yang telah mengalami progres yang meyakinkan ini, akan tercedera.

Baca Juga  Surat Cinta Buat Wiranto

Sesuatu yang perlu dihindari jika negara ini benar-benar mau tunduk pada otoritas sipil serta meletakan kegiatan militer pada porsinya. Fenomena ini tentu perlu disikapi, sehingga dalam pengelolaan negara, masing-masing instrumen negara berjalan pada koridornya.

Kedua, peristiwa ini menunjukan bahwa Negara mudah mencurigai warga negara, hanya karena perbedaan pandangan atau pendapat soal kehidupan bernegara. Bahkan orang kerap dengan gampang tuduh terkait separatis, menunjukan aparatur negara gegabah atau gamang.

Hal ini bisa jadi adalah semacam sindrom hipersensitivitas kekuasaan. Dalam konteks ini negara jadi demikian sensitif, dan itu ditunjukan secara terbuka bahkan memberi semacam pemakluman atas pendekatan keamanan ala Orde Baru.

Sebuah reaksi yang kontraproduktif dalam relasi negara-warga negara. Rata-rata fenomena ini terjadi karena negara atau otoritas publik tidak percaya diri atau yakin dengan kerja-kerja mereka dalam mensejahterakan rakyatnya.

Kecurigaan Negara ini dalam kadar tertentu menjadi semacam stigma, mencerminkan Negara belum mampu membangun relasi yang baik dengan warga negara, utamanya terhadap entitas lokal yang sedang mencari dan menuntut keadilan.

Mestinya pemerintah tidak boleh punya alergi terhadap kritik, apalagi menggunakan potensi kekuatannya secara keliru untuk membungkam kritik. Negara atau pemerintah tidak boleh mengesankan dirinya merasa ketakutan menghadapi apa yang diidentifikasi sebagai ancaman.

Ketiga, jika cara-cara semacam ini terus dibiarkan terjadi, akan berdampak pada terkekangnya partisipasi politik warga, dan itu mengancam masa depan demokrasi. Padahal tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, karena partisipasi merupakan esensi dari demokrasi.

Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam politik merupakan ukuran demokrasi suatu negara. Demokrasi mensyaratkan partisipasi dan kritik adalah anak kandung partisipasi.

Menurut Max Weber, masyarakat rasional dan terdidik menjadi watchdog yang memonitoring pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kebijakan publik sangat dibutuhkan karena secara akseleratif akan mendorong lahirnya good governance.

Kita sepakat, dalam mengelola Negara, diperlukan stabilitas politik yang kuat. Namun stabilitas yang kuat bukan berarti sentralisasi kekuasaan. Stabilitas politik tetap membuka peluang untuk check and balances. Sebab, demokrasi adalah keterbukaan semua pihak untuk beraktualisasi.

Baca Juga  Maluku No.4 Termiskin di Indonesia, Tanggung Renteng Kepala Daerah

Terlepas dari itu, sebenarnya situasi ini dapat menjadi sinyalemen yang memperlihatkan bahwa sepertinya negara mulai merespon wacana otonomi khusus dan isu ‘self determination’ di Maluku yang belakangan ini makin mengemuka. Sayangnya, yang merespon adalah tentara, yang justru salah kamar dan kontraproduktif, mestinya pemerintah pusat, eksekutif dan legislatif.

Masohi, 15 Agustus 2020

Penulis adalah Koordinator Moluccas Democearization Watch (MDW)