SBB, Kolonialisme Baru, dan Solusi yang Beradab

0
1992

Hariman A. Pattianakotta

Dahulu, kolonial Eropa datang menjajah Indonesia karena rempah-rempah. Nusantara ini negeri kaya, dan karena itu pula ia dijajah.

Belanda adalah penjajah yang bertahan paling lama. Sejak VOC, mereka menancapkan penindasan. Maluku adalah daerah yang paling berdampak, karena disinilah pusat cengkeh dan pala.

Politik devide et impera yang diterapkan Belanda itu bahkan menuduh dan bermutasi menjadi “jurus katang” (sikap yang saling menjatuhkan) yang sering dipakai di antara sesama anak Maluku.

Kolonialisme Belanda memang sudah tiada. Namun, kolonialisme baru kini terjadi dengan memanfaatkan kelemahan orang Indonesia, khususnya orang Maluku.

Kolonialisme Baru di SBB

Seram Bagian Barat (SBB) adalah koloni baru bagi para perampok kekayaan alam. Karena SBB kaya dengan kekayaan alam, maka daerah ini hendak dikalahkan.

Sesungguhnya, bukan hanya SBB, tetapi Maluku pada umumnya. Maluku itu lumbung ikan. Maluku juga lumbung gas alam. Namun, saya mau membatasi diri untuk melihat SBB.

Ada apa di SBB? Ada marmer. Ada nikel. Ada emas. Ada hutan yang berlimpah kayu. Ada tanah luas yang begitu subur. Semua ini adalah aset, punya nilai ekonomi tinggi.

Karena itu, SBB diduduki. Masyarakatnya disagregasi. Oleh siapa? Oleh elit politik dan pengusaha. Mereka berkomplot dengan pemerintah daerah, baik di eksekutif maupun legislatif.

Buktinya apa? Buktinya sampai hari ini Peraturan Daerah (Perda) mengenai negeri adat tidak disahkan. Padahal, pembuatannya sudah lama dan telah menghabiskan banyak anggaran yang tidak pernah juga dibuka secara transparan untuk publik.

Negeri adat di SBB malah diperlakukan seperti desa-desa administratif biasa sebagaimana lazimnya di pulau Jawa. Bukan raja yang diangkat, tetapi masyarakat dibelah dan dipaksa untuk memilih dan mengangkat kepala desa.

Baca Juga  Masyarakat Minta Pemerintah Cabut Izin Tambang di Pulau Wetar, MBD

Mengapa? Supaya “jalan tol” bebas hambatan terbuka bagi elit politik dan para kroninya untuk merampok kekayaan alam yang ada di sana.

Karena itu, berpuluh tahun, negeri-negeri adat sengaja dibiarkan tanpa raja, tanpa pemimpin definitif. Bupati berganti, bahkan sampai Penjabat Bupati hari ini, mereka hanya sibuk mengangkat pejabat kepala desa sebagai “boneka”.

Yang lebih ironis lagi adalah Penjabat Bupati sekarang malah mendorong supaya dusun-dusun yang ada di SBB dimekarkan menjadi desa. Apa agendanya dan apa dampaknya?

Ada agenda politik untuk membuka kabupaten dan atau kotamadya baru di SBB. Ini hal yang bagus-bagus saja. Tetapi, tatanan adat jangan dikangkangi. Masyarakat jangan dibelah.

Dampak dari politisasi yang sekarang sedang dilanjutkan oleh Penjabat Bupati ini adalah menciptakan medan konflik baru antara negeri adat dan dusun.

Yang nanti susah dan menderita adalah masyarakat, sedangkan yang menikmati kekuasaan dan kekayaan adalah para politisi yang rakus dan tidak memiliki hati nurani itu. Mereka adalah para kolonial baru.

Konflik dan perpecahan masyarakat inilah yang harus disadari dan diantisipasi. Apalagi, ketika kontestasi politik 2024 semakin mendekat. Masyarakat, khususnya di SBB, harus cerdas dan tidak boleh terhasut dengan kepentingan politik sesaat dari para elit.

Solusi Yang Beradab dan Adil

Penjabat Bupati dan anggota DPRD SBB seharusnya sadar bahwa solusi atas persoalan yang kini sedang menjadi bahaya laten di SBB adalah political will yang jujur. Dan itu, seharusnya tidak sulit.

Mengapa tidak sulit? Nenek moyang orang Maluku dan SBB itu orang baik. Anak cucunya sekarang ini pun orang-orang baik.

Dari dahulu kala masyarakat Maluku, dan SBB pada khususnya, sudah terbuka menerima semua orang yang datang tinggal di tanah mereka. Mereka tidak membeda-bedakan orang.

Baca Juga  Menaja Tiga Tungku Literasi di Maluku: Sebuah Telaah Konstruktif Dua Tahun Kepemimpinan Murad Ismail

Karena itu, kalau hanya soal dusun dimekarkan menjadi desa, itu urusan sepele. Pasti tuntas dalam sejam. Soalnya adalah pemerintah SBB tidak memiliki niat baik untuk mengesahkan Perda mengenai negeri adat dan tidak mau mengangkat raja di negeri-negeri adat.

Mengapa? Supaya tanah, laut, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bisa dengan mudah dijarah oleh para perampok yang mengatasnamakan rakyat.

Padahal, kalau negeri adat disahkan, dusun-dusun dimekarkan, pemerintahnya punya niat tulus membangun SBB dengan program-program pemberdayaan masyarakat, dan DPRDnya membuat regulasi yang baik dan bermutu demi kesejahteraan semua orang yang tinggal dan berusaha di SBB, maka rakyat SBB akan sejahtera, Maluku akan maju, dan Indonesia akan jaya.

Untuk itu, masyarakat SBB juga mesti sadar bahwa menetapkan tatanan adat di SBB bukan semata-mata demi negeri adat, tetapi demi seluruh masyarakat SBB dan demi masa depan anak cucu SBB itu sendiri.

Dengan penetapan itu, maka masyarakat akan memiliki kontrol atas daerahnya. Bahkan, masyarakat akan menjadi subjek pembangunan, dan pemerintah justru akan kembali pada fitrahnya sebagai pelayan-pelayan masyarakat.

Oleh karena itu, untuk masyarakat SBB, mari jadi tuan di negeri sendiri, dan jangan mau diadu-domba oleh penindas-penindas baru.

Penulis adalah dosen, pendata, dan aktif di Komunitas Penulis Maluku