Senja Kala Partai Politik Berbasis Islam

0
1717

Oleh: Fajrin Rumalutur

Kekalahan beruntun yang dialami oleh partai-partai Islam kian menjadi ancaman menakutkan bagi eksistensi mereka pada pemilu-pemilu mendatang. dukungan publik terhadap partai berbasis Islam ataupun partai yang secara terbuka mengusung ideologi Islam sebagai misi perjuanganya merosot tajam. 

Padahal dalam sejarah pemilu di Indonesia partai Islam pernah menorehkan sejarah panjang. Pada tahun 1955 ketika pemilihan umum pertama kali diselenggarakan partai islam (Masyumi) bahkan menjadi pemenang kedua setelah PNI dengan perolehan suara yang signifikan.

Pada masa kekuasaan orde baru partai-partai islam memang tidak dibiarkan hidup dan berkembang oleh rezim otoriter soeharto, keseluruhan parpol Islam di gabungkan dalam wadah tunggal dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan hasil fusi dari empat partai politik islam.

Yaitu, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), PERTI dan PARMUSI. di era orde baru kebebasan politik di kerangkeng sedemikian rupa, partai politik seperti PPP dan PDI hanya dijadikan sparing Partner Golkar (mesin politik orba) untuk melegitimasi kekuasaan rezim. 

Pemilu dilakukan dengan cara-cara manipulatif, represif dan sangat anti demokrasi. Hal inilah yang menjadikan Partai-partai Islam tak berdaya menghadapi setiap pemilu yang diselenggarakan dalam periode kekuasaan orba berlangsung.

Fenomena merosotnya dukungan publik terhadap partai politik Islam semakin terlihat trennya pada tiga kali pemilu di masa reformasi. PPP misalkan, partai yang digawangi oleh kumpulan berbagai tokoh dari empat partai yang berfusi ini mengalami penurunan suara yang tajam.

Sementara PAN dan PKB sebagai partai yang memiliki basis kultural muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang mainstream juga mengalami nasib sama, PBB yang merupakan penjelmaan kembali dari Masyumi pun ikut tergerus habis.

Bahkan partai yang terakhir disebut di atas tidak mampu menghadirkan wakilnya di parlemen karena dukungan yang tidak mencukupi ketentuan angka PT (parliamentary threshold).

Realitas yang Berubah

Baca Juga  “Gubernur Murad vs Menteri Susi", Maluku Butuh Langkah Konkrit

Sejak reformasi politik bergulir, keran demokratisasi terbuka lebar, terjadi akselerasi politik yang begitu cepat. Kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat di depan umum kebebasan berkumpul dan berorganisasi menjadi sebuah kenyataan baru dalam masyarakat demokratis.

Kebebasan berorganisasi tercermin dari begitu banyak partai-partai politik yang tumbuh bagai jamur di musim penghujan termasuk partai politik Islam.

Fenomena kekalahan partai-partai Islam ini sangat kontras dengan kemenangan partai-partai nasionalis yang semakin bergerak naik kurva dukungnya dalam pemilu.

Partai Golkar sebagai partai warisan orde baru yang dianggap bertanggung jawab terhadap keterpurukan bangsa tetap bisa menjaga eksistensinya dalam  pemilu, bahkan pada pemilu 2004 partai golkar menjadi pemenang. 

PDIP dan partai Demokrat yang juga partai nasionalis  masih mendapat dukungan kuat dari rakyat jika dibandingkan dengan partai-partai islam yang ada. 

padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam namun mengapa jumlah yang mayoritas secara sosiologis ini tidak berbanding lurus dengan kenaikan perolehan suara partai islam pada pemilu?

Terdapat beberapa persoalan yang menyebabkan partai Islam semakin terpuruk; pertama, perilaku masyarakat semakin sekuler dalam politik. Masyarakat tidak lagi melihat simbol, azas atau labelisasi agama sebagai faktor yang fundamental dalam menentukan pilihan politik mereka.

Fatsun para pemimpin umat (kyai dan ulama) tidak lagi menjadi acuan. Sebaliknya, pemilih semakin rasional dan kritis. Mereka lebih melihat kinerja (perform), Platform Programatik (program) serta kedekatan antara institusi partai politik atau aktor-aktor partai dengan masyarakat.

Kedua, isu dan program yang kurang populis, kebanyakan partai politik Islam masih mengusung isu-isu agama sebagai program unggulan mereka, di tengah masyarakat yang lebih cenderung tertarik pada isu ekonomis, pembangunan, kesejahteraan, penegakan hukum, pengentasan kemiskinan dan isu anti korupsi.

Ketiga, krisis figur. Partai Islam saat ini tidak memiliki stok figur populis dan kharismatik yang mampu menjadi magnet elektoral bagi pemilih sekaligus pemersatu.

Sedangkan pada partai-partai nasionalis terdapat banyak figur yang bisa menjadi magnet dalam menarik dukungan rakyat. Sebagai contoh, Megawati Soekarno Putri Ketua Umum PDIP sukses menjadikan partai berlambang banteng bermoncong putih ini sebagai pemenang pemilu pada tahun 1999.

Baca Juga  Bahaya !!! 3 Negeri di Perbatasan SBB-Malteng Terancam Tidak Ikut Pemilu, 500 Warga Samasuru Nyatakan Golput

Kemenangan partai Demokrat pada pemilu 2009 tidak terlepas dari sosok seorang SBY sebagai ketua dewan Pembina yang memiliki aura kepemimpinan dan pengaruh yang luas.

Keempat, partai Islam tidak mampu memperluas jangkauan basis konstituen. mereka cenderung bertahan dengan dukungan captive market tradisionalnya yang semakin tergerus. 

Para pemimpin dan tokoh-tokoh parpol Islam tidak mampu memperluas segmentasi pemilih mereka di tengah kuatnya konsolidasi dan ekspansi partai-partai nasionalis yang semakin bergerak ke tengah. 

Kanibalisasi antar sesama parpol Islam tak terhindarkan karena saling memperebutkan dukungan pada basis yang terbatas. partai-partai nasionalis juga terlihat sangat progresif melebarkan sayap dalam merangkul pemilih tradisional islam.

Ini dilakukan dengan membentuk underbow partai yang bersentuhan langsung dengan basis pemilih tradisional islam. Contoh, Partai Demokrat membentuk majelis ta’lim, PDIP membentuk Baitul muslimin.

Kelima, kemajemukan parpol Islam. Problem kemajemukan partai politik islam ini juga menjadi salah satu penyumbang bagi merosotnya perolehan suara parpol islam sendiri.

Jumlah parpol Islam yang terlalu banyak menyebabkan suara tidak terkonsentrasi namun terdistribusi dalam jumlah yang kecil pada masing-masing parpol islam yang ikut berkontestasi dalam pemilu. 

Pada akhirnya hanya beberapa parpol saja yang bisa memenuhi ambang batas yang berlaku dan menghantarkan wakilnya di parlemen. Dari sisi efektifitas politik (political effectivity) hal ini menyebabkan sebagian agenda umat tidak tersalurkan karena dukungan suara yang telah diberikan kepada parpol islam yang tidak lolos ambang batas akan sia-sia.

Kelima persoalan di atas mampu memberikan penjelasan kenapa eksistensi partai islam kian tergerus dari pemilu ke pemilu. Jika partai-partai Islam tidak mengantisipasi dan mengevaluasi  permasalahan-permasalahan di atas maka bukan tidak mungkin di masa-masa mendatang partai Islam hanya tinggal sejarah!

Penulis adalah magister dari Universitas Indonesia dan aktif di Komunitas Penulis Maluku (KOPI Maluku)