“Ketidakdisiplinan dalam sepak bola Indonesia tidak hanya terjadi di lapangan hijau. PSSI juga tidak disiplin mengatur dirinya sendiri. Alih-alih mengatur tata kelola sepak bola yang disiplin dan bermutu, PSSI justru sibuk mengatur dirinya sendiri”
Oleh FAJAR JUNAEDI*
BETAPAPUN juga PSSI di masa yang akan datang ini mestilah menumpahkan minat yang lebih besar untuk memperbaiki disiplin dan mutu sepak bola kita. Mutu pemain-pemain kita cukup baik, sebab itu dapat disempurnakan dengan disiplin dan latihan teknik yang tepat.’’
Demikian Mohammad Hatta menulis dalam buku peringatan ulang tahun ke-30 Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang terbit pada 1960.
Hatta, sang proklamator kemerdekaan, tentu tidak sedang bermimpi. Sepak bola Indonesia pada masa itu merupakan kekuatan besar di Asia Tenggara, bahkan Asia. Para pemain sepak bola Indonesia menghipnotis jagat sepak bola dunia. Ramang, pemain berbakat dari PSM Makassar, adalah salah satunya.
Tata kelola sepak bola juga berada di jalur tepat saat Hatta menulis dalam kata pengantar yang diberi judul PSSI 30 Tahun itu. PSSI dipegang oleh figur yang memiliki integritas dalam mengelola sepak bola nasional.
Maladi menjadi ketua kehormatan PSSI, di samping posisinya sebagai menteri penerangan. Saat masih muda, Maladi adalah pemain sepak bola aktif yang berposisi penjaga gawang. Dua klub Perserikatan asal tanah Mataram, PSIM Yogyakarta dan Persis Solo, pernah diperkuatnya.
Saat Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama dihelat pada 1948, Maladi menyaksikan bagaimana para pemuda yang berbeda laskar perjuangan, suku, agama, ideologi, dan partai politik bisa bersatu dan berkompetisi secara fair play. Solo yang menjadi tuan rumah PON adalah wilayah pertarungan berbagai laskar pemuda bersenjata, laksana wild west dalam film Hollywood. Olahraga menyatukan para pemuda bersenjata melalui PON.
Hampir setengah abad setelah Hatta menaruh optimisme tentang sepak bola Indonesia yang disiplin dan bermutu, prestasi sepak bola Indonesia justru terjun bebas. Yang terbaru tentu saja adalah hasil minor yang didapatkan timnas dalam kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia.
Tim nasional Merah Putih dikalahkan Malaysia dalam pertandingan penuh emosi bagi para suporter yang datang, dengan skor 0-2, pada Selasa (19/11). Hasil minor yang menempatkan Indonesia di posisi terbawah grup G tanpa mengemas satu pun poin. Hasil memalukan yang menempatkan Indonesia sebagai negara Asia Tenggara dengan prestasi terburuk, berada di juru kunci tanpa meraih satu pun poin sampai pertandingan kelima yang dijalani.
Dua gol yang disarangkan pemain Malaysia disebabkan kurangnya disiplin pemain Indonesia. Bek tim nasional, Yanto Basna, membuat blunder kala bermaksud melindungi bola di kotak penalti sendiri.
Bola yang berusaha dilindungi kapten tim nasional Indonesia itu justru berhasil direbut pemain Malaysia, Safawi Rasid. Tendangan ke pojok gawang oleh Safawi Rasid mengempaskan perlawanan Indonesia.
Apa yang ditulis Hatta dengan disiplin dan mutu sepak bola kembali aktual. Ketidakdisiplinan menjaga bola akhirnya menghukum tim nasional Indonesia.
Ketidakdisiplinan dalam sepak bola Indonesia tidak hanya terjadi di lapangan hijau. PSSI juga tidak disiplin mengatur dirinya sendiri. Alih-alih mengatur tata kelola sepak bola yang disiplin dan bermutu, PSSI justru sibuk mengatur dirinya sendiri.
Seringnya PSSI mengadakan kongres luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, dalam perspektif manajemen modern, menunjukkan adanya hal yang salah dalam tata kelola sepak bola kita. Elite PSSI, tampaknya, lebih menikmati pertarungan memperebutkan kursi ketua dan komite eksekutif daripada permainan di atas lapangan hijau.
Secercah asa sebenarnya terus bersinar dalam sepak bola kelompok umur. Tim nasional U-16 berhasil melaju ke putaran final Piala AFC U-16 yang dihelat di Bahrain pada 2020. Tim nasional kelompok umur, mulai U-16, U-19, U-21, hingga U-23, sudah tiga kali berhasil merengkuh juara Piala AFF, dua kali menjadi runner-up SEA Games, dan tiga kali melaju ke putaran final Piala Asia sepanjang sepuluh tahun terakhir.
Meski demikian, prestasi kelompok umur seharusnya tidak membuat kita terlena. Sebab, faktanya, tim nasional senior belum mampu berprestasi. Ketidakdisiplinan dan kurangnya pemahaman taktik menjadi penyebab kegagalan migrasi prestasi dari kelompok umur saat berada di tim nasional senior.
Ketidakdisiplinan juga terjadi dalam kompetisi kita. Operator liga kerap mengganti jadwal liga secara mendadak. Bahkan, kerap terjadi, tim tamu sudah datang dan pertandingan ditunda.
Tentu saja, perubahan jadwal pertandingan sangat merugikan klub, pemain, dan suporter. Klub dan suporter tamu harus mengeluarkan anggaran lebih untuk mengganti tiket perjalanan dan penginapan. Pemain pun kesulitan dalam recovery.
Setali tiga uang dengan federasi dan operator, klub juga abai pada kedisiplinan. Abai terhadap hak pemain masih terus terjadi. Kontrak pemain diputus sepihak pada detik-detik akhir jeda transfer sehingga pemain tidak bisa mencari klub pengganti.
Yang lebih memprihatinkan, gaji pemain telat dibayar beberapa klub. Dalam tata kelola sepak bola modern, tentu saja ketidakdisiplinan dalam menggaji pemain seperti itu hampir tidak bisa dimaklumi.
Benar tulis Hatta empat puluh lima tahun yang lalu bahwa untuk meningkatkan prestasi sepak bola nasional adalah dengan meningkatkan disiplin dan mutu sepak bola. Pengabaian terhadap disiplin telah membuat sepak bola kita kian merosot prestasinya.
Bangsa Indonesia pun tertunduk malu dengan kekalahan demi kekalahan yang terus terjadi. Rasa malu yang bermula dari ketidakdisiplinan para pemangku kebijakan dalam mengelola sepak bola Indonesia. (*)
*) Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan peneliti budaya sepak bola.