(Bagian Pertama)
“Dalam sistem popular vote, demografi politik yang tak begitu seksi secara elektoral, tentu tidak terlalu penting di mata para capres dan tim suksesnya.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Indonesia memang unik, termasuk sistem pemilu-nya. Meski memiliki beragam suku, tersebar di banyak pulau, ada pulau yang padat populasi, ada pula yang sedikit, namun sistem pemilihan presiden (pilpres) yang digunakan adalah mekanisme suara terbanyak (popular vote).
Sebuah sistem yang dapat berimplikasi atau setidaknya membuat daerah-daerah dengan jumlah populasi penduduk yang banyak jauh lebih diperhatikan, ketimbang daerah dengan demografi politik yang sedikit. Menyisakan ceruk masalah atau ketidakadilan.
Terang saja, sistem popular vote membuat kampanye politik dialogis, serta dana kampanye dan bantuan sosial jelang pilpres, lebih banyak menyasar daerah-daerah dengan populasi pemilih yang banyak. Sedangkan daerah yang berpenduduk sedikit hanya bisa gigit jari.
Realitas ini mudah disaksikan terutama pada masa kampanye. Para kandidat dan tim pemenangan rata-rata akan jorjoran serta lebih intens berkampanye di daerah padat penduduk, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera, dibanding menyambangi daerah-daerah dengan penduduk yang relatif sedikit.
Konsekuensi logisnya adalah, janji dan anggaran politik yang kerap mengiringi ‘roadshow’ calon presiden (capres) pun akhirnya tak begitu fokus atau tak ikut menetes di ‘less populated area’ ini. Demografi politik yang tak begitu seksi secara elektoral, tentu tidak terlalu penting di mata para capres dan tim suksesnya.
Dianggap ‘tidak penting’ itu juga dapat dilihat dalam prioritas pembangunan. Coba perhatikan daerah-daerah seperti yang Maluku Raya, Nusa Tenggara Raya dan Papua Raya, rata-rata di kawasan timur Indonesia yang dihuni ras Melanesia —relatif sedikit jumlah penduduknya— terus tertinggal karena ditinggal dalam proses pembangunan.
Secara politik elektoral, pemegang kekuasan pun tak perlu harus berbaik-baik atau mengambil hati dan meyakinkan masyarakat di daerah kecil populasi ini. Lebih fokus di daerah dengan populasi yang besar, menjadikan pembangunan selalu menunjukan kesan Jawa sentris yang kuat.
Dapat disaksikan, untuk urusan pembangunan infrastruktur transportasi di Pulau Jawa misalnya, ujung timur dan barat yang telah terhubung oleh jalan, kereta dan jalur penerbangan yang lengkap dan memadai, kini ditambah lagi dengan jalan tol. Betul-betul di-perhatikan.
Mempertegas bahwa daerah dengan jumlah pemilih yang signifikan selalu ada dalam prioritas pembangunan dari ‘political office’, pemangku kewajiban di tingkat nasional. Karena lebih menjanjikan atau menguntungkan secara politik elektoral.
Memang sistem pilpres yang bersandar pada popular vote dinilai lebih demokratis. Tapi untuk Indonesia, negara kepulauan dengan beragam etnik, serta realitas kemajuan daerah yang tidak merata, sepertinya tidak begitu cocok atau kurang relevan.
Soal ini, kita dapat berkaca pada Amerika Serikat yang dalam banyak hal kerap menjadi patron Indonesia dalam berdemokrasi, pun tidak menggunakan sistem popular vote ini, tapi memakai sistem electoral college dalam pilpres mereka. Hal itu tentu dengan berbagai pertimbangan yang matang.
Dengan sistem pilpres ala Paman Sam itu, tak otomatis negara bagian yang populasinya banyak menjadi dominan dan lebih diperhatikan, semua menjadi sama. Berbaik-baik dan menjangkau semua negara bagian adalah kunci bila mau terpilih menjadi kepala negara di Amerika Serikat.
Dengan sistem electoral college yang diperebutkan adalah jatah electoral votes yang tersebar di 51 negara bagian. Dengan sistem ini, suara yang kalah di negara bagian otomatis tidak akan dihitung, sebab berlaku sistem winner-takes-all. Itu artinya capres harus menang di lebih banyak negara bagian, jika mau tampil sebagai pemenang pilpres.
Dalam sejarahnya pun, sistem pilpres cara Amerika Serikat itu dipilih untuk digunakan setelah melewati debat panjang dengan memperhatikan berbagai pendapat yang berkembang. Saat itu, untuk mencari solusi, Kongres kemudian membuat Konvensi Konstitusi untuk memilih metode pilpres.
Pendapat pertama, presiden akan dipilih secara langsung oleh Kongres dan Badan Legislatif setiap negara bagian. Sistem ini mungkin mirip dengan pemilu di era Orde Baru di Indonesia. Pendapat ini kemudian ditolak karena dikhawatirkan mengundang tawaran politik ilegal yang dapat merusak keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di pemerintahan federal.
Pendapat lain muncul, yang mengusulkan pemilihan presiden secara langsung. Namun hanya sedikit delegasi yang setuju, karena ada keraguan terhadap kapasitas pemilih, sekaligus ketakutan bahwa tanpa informasi yang memadai terkait para kandidat dari luar negara bagian, masyarakat suatu negara bagian akan cenderung memilih ‘anak daerah’ yang berasal dari negara bagian mereka sendiri.
Terdapat pula kekhawatiran pilpres langsung hanya akan membuat negara bagian besar dan berpenduduk banyak mendominasi pemerintahan, kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang populasinya kecil. Kekhawatiran yang sepertinya terjadi dan kini dirasakan di Indonesia.
Dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It? Politisi David Barton, seperti ditulis Aqwam Fiazmi di tirto.id (2016), menjelaskan mengapa sistem ini yang akhirnya dipilih. Menurut Barton, sistem ini memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik dan menyeimbangkan kekuasaan antar negara bagian dan antar daerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda.
Walau tentu terdapat kekurangan, dan dalam praktiknya juga rumit, tapi faktanya sistem ini sudah berlaku 200 tahun, lebih teruji. Indonesia mungkin tidak harus mengadopsi mentah-mentah sistem electoral college punya Amerika Serikat tapi setidaknya perlu dipikirkan adanya perbaikan sistem pemilu yang lebih adil.
Pembenahan dan perbaikan sistem pilpres di Indonesia harus menjadi agenda utama agar semua daerah dilihat penting dan strategis secara politik elektoral. Dengan begitu semua daerah akan ada dalam prioritas pembangunan yang sama.
Dengan sistem pilpres yang lebih baik, pencari kuasa ‘dipaksa’ adil dalam perlakuan dan persentuhan dengan tiap-tiap warga negara di masing-masing daerah. Jika tak mau ditinggal dalam election atau pilpres.
Tidak seperti saat ini, betapapun dikecewakan, karena negara atau pemerintah kerap tak hadir dalam berbagai persoalan sosial yang dihadapi. Masyarakat daerah tak bisa protes secara prosedural dengan menjadi ‘hakim’ saat memilih kandidat dalam pilpres.
Dalam sistem popular vote, presiden atau petahana yang tidak menunjukan komitmen pembangunan terhadap daerah yang jumlah populasi sedikit, lantas mayoritas pemilih di daerah-daerah itu tidak memilih petahana pun tak akan berpengaruh signifikan bila petahana mendapat insentif elektoral dari daerah yang jumlah penduduknya banyak.
Meski syarat pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana dicantumkan dalam pasal 416 UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa pasangan calon terpilih tidak saja harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara yang diperebutkan dalam pilpres, juga harus memiliki sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Namun hal itu tidak akan signifikan, karena tetap saja daerah berpopulasi banyak yang menentukan siapa yang akan menjadi presiden.
Saatnya pemerintah dan para politisi, khususnya di parlemen nasional Indonesia memikirkan dan merumuskan solusi sistem yang lebih baik dan relevan. Antara lain dengan segera kembali melakukan amandemen UU Pemilu, dan menjadikan sistem pilpres tidak bersandar hanya pada popular vote semata, tapi juga pada representasi kemenangan di sebagian besar daerah.
Bila ada perbaikan sistem pemilihan yang lebih baik, semua daerah akan egaliter, sejajar dalam konteks hubungan relasi politik nasional. Dengan demikian begitu para capres juga akan mengatur porsi perhatian dan intensitas kunjungan yang sama ke semua daerah.
Ini perjuangan yang tidak mudah, tapi penting dan strategis agar semua daerah ada dalam posisi tawar dan perlakuan politik yang setara. Sehingga kedepan ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan akibat sistem pemilu yang diskriminatif tak lagi terjadi, setidaknya diminimalisir. (Bersambung)
Penulis adalah Founder/CEO IndoEast Network