TABAOS.ID,- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah menjerat banyak korban, bahkan setelah adanya revisi pada 2016.
Persinggungan antara ragam informasi sebagai wujud kebebasan berekspresi dengan soal pencemaran nama baik tampak begitu tipis. Kemudahan akses teknologi informasi telah memudahkan pesan bergulir secara cepat di masyarakat. Termasuk, jika pesan itu berkonteks opini dan kritikan.
Scholastica Gerintya dalam artikelnya menyebutkan bahwa Mayoritas kasus UU ITE terjadi bermula dari unggahan konten di media sosial. Platform Facebook menempati urutan teratas dengan jumlah sebesar 54,69 persen, sebagai media internet dalam kasus UU ITE.
Selanjutnya, ada Twitter yang mencapai 11,84 persen, dan Youtube sebesar 4,90 persen. Walau patut dicermati, laporan kasus sering memuat alat bukti lebih dari satu platform.
Ironisnya, UU ITE sendiri terbit sebagai upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik.
UU ITE juga muncul berbarengan dengan situasi demokrasi yang berkembang setelah masa Orde Baru di Indonesia. Namun, praktik yang acap kali terjadi, aturan yang ada justru mengancam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi. Tak heran apabila skor Freedom on the Net Indonesia terus menurun dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Revisi UU ITE pada 2016 tidak lantas membuat ancaman kebebasan berekspresi berakhir. Benar bahwa hasil revisi telah membuat adanya aturan tidak dilakukan penahanan selama proses hukum sampai dengan putusan in cracht. Juga soal “Right to be forgotten” (hak untuk dilupakan), yaitu kewajiban menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Dua hal itu tentu bermakna positif, mendorong asas praduga tak bersalah, serta beririsan dengan jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi.Namun, sekali lagi, sampai dengan hari ini, berdasarkan rekaman perjalanan kasus UU ITE, aturan tampak membuka peluang sebagai arena tarung, khususnya bagi pelapor dan terlapor. Serta terjadi dalam situasi debat dua kubu: antara kebebasan penyampaian informasi dan tuduhan pencemaran nama baik.
Menyikapi berbagai dinamika yang berkembang belakangan ini, Ketua Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan ( LP – KPK ) Komisi Cabang Kabupaten Kepulauan Tanimbar Jhon Solmeda kepada Media ini menyampaikan bahwa Di Kabupaten Kepulauan Tanimbar dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. UU ITE kerap menjadi santapan yang tidak asing lagi bagi para aktivis maupun kelompok masyarakat pegiat anti korupsi
Sebut saja salah satu oknum Anggota DPRD Aktif periode 2014-2019 inisial SHR yang belakangan di laporkan Bupati Kepulauan Tanimbar karna di anggap melakukan tindak Pidana Penghinaan kepada Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Tanimbar, di mana kasusnya kini dalam pengajuan Kasasi oleh Terdakwa.
Ada juga Surat Somasi kepada Ketua LP KPK Kabupaten Kepulauan Tanimbar Jhon Solmeda tanggal 19 Juni 2020 karna di tuduh meneruskan salah satu konten postingan dari Twiter milik @Pilatus2019 ke Whatsaap Grup Suara Rakyat Tanimbar dan Cahaya Tanimbar yang menyebutkan bahwa Di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Bupati mewakili Kontraktor Selesaikan Masalah material Warga yang Nunggak.
DAK sudah Cair 100% dan di simpan di Rekening Kontraktor. Kasusnya kemudian di laporkan Bupati ke Polres Kepulauan Tanimbar melalui Kuasa Hukum Pemda ( KL ) karna Solmeda tidak bersedia mengabulkan permintaan Pemda KKT saat itu untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka yang di tembuskan ke akun Twiter bapak Presiden RI, karna merasa Somasi tersebut sangat tidak beralasan.
Kasus lain, Pemda memberikan Somasi kepada salah satu awak Media Online HaluanIndonesia.co.id atas nama Melkianus Samangun pada awal Nopember 2020 karna menulis Berita dengan Judul : Anak Bupati Keptan Garap Proyek di Badan Jalan Nasional. Di ketahui bahwa Proyek Gapura Selamat Datang yang berlokasi di Perempatan Jln.Ir. Soekarno ini di kerjakan pada Tahun Anggaran 2020 dengan nilai Proyek Rp. 1,3 Milyar. Adapun isi Somasi tersebut Pemda meminta kepada oknum Wartawan tersebut untuk segera membuat klarifikasi dan permohonan maaf secara terbuka ke publik. Jika permintaan Pemda KKT tersebut tidak di gubris, maka Pemda akan menempuh jalur hukum.
Tanggal 24 Nopember 2020 kemarin publik kembali di hebohkan lagi dengan pemberitaan di Koran Ambon Ekspres yang berjudul Surat ke Presiden di Bocorkan, Bupati KKT Geram. Bupati dalam realisan berita menyampaikan bahwa setelah di lakukan Pemsus oleh Inspektorat Daerah KKT, pihaknya akan menyurati resmi kepada pihak Polres Kepulauan Tanimbar. Rully Aresyaman yang adalah salah satu Aktivis pegiat Anti Korupsi, sempat di sebutkan dalam pemberitaan media tersebut, karna di tuduh menyebarkan Surat tersebut ke Whatsaap Grup Cahaya Tanimbar.
Lanjut Solmeda, Dari rentetan peristiwa yang saya paparkan di atas, menunjukan bahwa Bupati sebagai Pemangku Kebijakan tertinggi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar ini sangat pro aktif dalam mengikuti setiap perkembangan di berbagai Media Sosial. Karna tidak butuh waktu lama untuk memberikan sanksi kepada masyarakatnya yang di anggap membuat pernyataan-pernyataan kritis dan tajam tanpa menawarkan Solusi kepada Pemerintah Daerah. Bahkan Bupati lewat Kuasa Hukum akan sangat responsif memperkarakan kasus-kasus tersebut ke Penegak Hukum.
Sebagai mantan Sekretaris DPD Partai NasDem Kabupaten MTB tahun 2016-2018 yang kala itu turut berjuang mengantar Pemerintahan yang duduk di kursi empuk saat ini, saya juga punya tanggung jawab moral untuk memberikan pikiran dan masukan kepada Pak Bupati maupun Pak Wakil Bupati untuk tetap KOMPAK dan teruslah berjuang menjaga amanah yang di titipkan masyarakat di sisa kira-kira 17 bulan usia Pemerintahan ini. Di sisi lain, saya sepakat jika itu haknya pak Bupati atau pun siapa saja yang ingin mencari keadilan lewat proses hukum, karna di jamin Undang-Undang. Apalagi jika terhadap dugaan pelanggaran UU ITE tersebut berdampak langsung kepada nama baik dan kehormatan beliau maupun Pemerintahan yang saat ini di pimpinnya.
Di sisi yang lain, saya yakin masyarakat luas akan merasa mendapatkan keadilan, jika Pak Bupati sesekali mengeluarkan Rekomendasi proses hukum kepada Pihak-pihak yang dengan sengaja mencuri uang rakyat. Baik itu terhadap Aparatur Pemerintah di Tingkat Desa, Kecamatan sampai tingkat Kabupaten, dan yang lebih utama Rekomendasi Proses Hukum terhadap para Kontraktor NAKAL dan gerbong besar di belakang Perusahaan-perusahaan Fiktif yang berhasil menyapu bersih paket-paket proyek sejak Tahun Anggaran 2018 dan 2019 dengan nilai proyek hingga ratusan milyar rupiah, namun pekerjaan sampai akhir tahun 2020 ini belum juga tuntas untuk di manfaatkan masyarakat.
Malahan upah kerja dan material lokal masyarakat yang di pakai untuk menunjang kegiatan proyek-proyek jumbo tersebut sampai ada yg sudah 2 tahun tak kunjung di bayarkan. Rujukan Peraturan Presiden ( Perpres ) Nomor 16 tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa.
Saya tidak mengklim bahwa Pelanggaran terhadap UU ITE itu tidak penting. Namun sebagai kepala Pemerintahan, hendaklah pak Bupati lebih bijak lagi dalam mengambil tindakan atau pun keputusan yang berhubungan dengan kebijakan Publik.
Jika bicara menyangkut dokumen rahasia yang sudah sering bocor ke publik, saya kira itu mesti menjadi bagian evaluasi penting pak Bupati. Bisa saja hal tersebut di lakukan ASN sebagai bentuk protes terhadap berbagai kebijakan yang di anggap keliru. Saya sendiri pernah mengalaminya, ketika ada dokumen Laporan dari Lembaga kami yang di tujukan kepada Yth. Bapak Presiden RI dan di tembuskan ke para penegak hukum di Jakarta, yang kemudian bocor dan sempat di mediakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, Termasuk pak Bupati sendiri saat itu mendapat salinan laporan. Tapi saya dan Lembaga tidak pernah membawa kasus itu sampai ke proses hukum. Tutup Solmeda. (T-07)