Oleh: Olifia Hukunala
Berbagai riset menunjukan bahwa kaum perempuan merupakan kelompok paling rentan (vulnerable group) terhadap berbagai krisis seperti perubahan iklim dan lingkungan, politik demokrasi dan sosial, termasuk krisis Virus Corona atau yang lebih dikenal dengan Pandemi Covid-19.
Peran perempuan khususnya petani dalam masa pandemi ini benar-benar mendapat tantangan luar biasa, terlepas dari tugas domestik yakni tanggung jawab terhadap pemenuhan gizi anak, pendidikan, kesehatan dan membantu meningkatkan ekonomi rumah tangga.
Ternyata perempuan tidak hanya sekedar berkutat pada tugas domestik namun peran perempuan sangatlah vital, terutama yang berporofesi sebagai petani, karena justru mendedikasikan dirinya bagi pemenuhan kebutuhan banyak perut manusia kemudian menjawab tuntutan ketahanan pangan nasional saat ini.
Pandemi covid-19 cukup mempengaruhi berbagai segi kehidupan manusia di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia sebagai negara terdampak. Data terakhir per 20 april 2020, jumlah kasus positif covid-19 yaitu 6.760. Yang meninggal 590 dan yang dinyatakan sembuh kian mulai bertambah yakni 747.
Hal ini penting untuk kita memberi apresiasi kepada gugus tugas penanganan, terutama para dokter dan tenaga medis lainnya termasuk pula semua elemen yang berjuang di garda terdepan melawan dan memutus mata rantai penyebaran virus berbahaya tersebut, Mereka adalah pejuang kemanusiaan.
Di tengah situasi negara yang tengah berkecamuk dengan wabah global tersebut, ternyata mereka yang tetap bekerja memperjuangkan kehidupan tidak hanya pemerintah, tenaga medis, tetapi juga untuk kaum perempuan berprofesi petani yang tetap bekerja keras memenuhi kebutuhan pangan yang saat ini menjadi fokus pemerintah untuk memastikan ketersediaan pangan bagi masyarakat.
Lantas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana nasib para perempuan petani sebagai garda terdepan yang berusaha menyediakan pangan? Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 bahwa terdapat 8.051.328 petani perempuan. Pada tahun 2017 sektor petanian merupakan salah satu sektor yang paling menyerap paling banyak pekerja perempuan, selain sektor pertanian, perikanan dan kehutanan paling tinggi menyerap tenaga kerja perempuan sejumlah 13,7 juta jiwa.
Data tersebut menunjukan secara jelas bahwa petani perempuan turut andil dalam pembangunan nasional, terkait kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Sedangkan kita tahu bersama bahwa taraf hidup petani kita masih dibawah rata-rata atau dengan kata lain masih dibawah garis kemiskinan.
Apalagi kaum perempuan dalam berbagai sektor baik ranah publik, maupun privat, masih terstigma sebagai kaum dengan pendapatan menengah kebawah atau kaum miskin. Kenyataan pahitnya bagi perempuan petani, dengan potret krisis akibat pandemi Covid-19 yang kian tak pasti mereka justru berjuang memastikan ketersediaan pangan bagi keberlanjutan hidup sesamanya.
Nasib buruk akibat dampak virus corona tidak saja dialami perempuan petani yang memiliki usaha rumah tangga tani, namun juga para buruh tani perempuan sebagai pekerja upahan, kondisi ekonominya makin tidak pasti, apalagi dengan himbauan pemerintah yang tegas menganjurkan masyarakat untuk tetap stay at home.
Kondisi ini yang paling tidak menguntungkan, sebab buruh tani nasibnya tidak seistimewa driver ojol (ojek online) dan Pegawai Negeri Sipil yang tanpa bekerja pun diberi subsidi. Dengan sendirinya mengurangi bahkan lebih mirisnya tidak ada pendapatan bagi yang berprofesi sebagai buruh tani. Dapat dibayangkan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga?
Anjuran pemerintah untuk stay at home merupakan langkah positif untuk mencegah penyebaran virus corona, tapi disisi lain ini bukan perkara mudah bagi perempuan berprofesi petani sebab tuntutan jutaan perut warga negara yang harus terisi membuat mereka untuk harus tetap berada di lahan pertanian untuk memastikan kebutuhan pangan nasional.
Pernahkah hal itu terlintas di benak Pemerintah? Apa yang terjadi dengan kondisi pangan nasional apabila mereka tetap tinggal dirumah sesuai anjuran Pemerintah? Ini seperti buah Simalakama bagi kaum buruh perempuan petani.
Jika mereka berada di lahan pertanianpun, apakah mereka diberi Alat Pelindung Diri (APD) sebagai bentuk kewaspadaan memutus mata rantai penyebaran Covid-19? Semua ini merupakan pertanyaan eksistensial bagi pemerintah untuk memastikan kaum buruh perempuan tetap aman dan bekerja bagi kepentingan nasional.
Kebijakan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan diberbagai daerah zona merah semisal Jabodetabek dan beberapa daerah diluar itu, sesuai amanat UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan kemudian dalam masa kedaruratan yang berkaiatan dengan pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan perarutan pemerintah nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Selanjutnya Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden No. 11 tahun 2020 Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Desease. Tidak hanya Kekarantinaan kesehatan yang dilakukan untuk menjawab kondisi emergensi kesehatan masyarakat, tetapi pemerintah juga wajib menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakat selama masa krisis Covid-19.
Pada titik inilah, kaum buruh perempuan petani menjadi garda terdepan.
Krisis covid-19 dapat dikatakan sebagai situasi yang sifatnya abnormal, karena terjadi secara tiba-tiba dan mengancam berbagai aspek kehidupan global termasuk Indonesia, karena itu, upaya penanganannya juga haruslah bersifat abnormal pula.
Hal itu dapat dilihat misalnya di aras pemerintah pusat, Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional mengalokasikan anggaran penanganan pandemi covid-19 hingga Rp. 405,1 Triliun.
Belum lagi regulasi tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ataupun pemerintah daerah diinstruksikan untuk memotong APBD guna penanganan wabah tersebut, dan lain sebagainya. Semua ini sebetulnya merupakan kebijakan yang sifatnya abnormal dan tidak biasa.
Namun dalam posisi itu, nasib dan keselamatan petani perempuan agaknya tak terpikirkan, padahal sekali lagi mereka tengah berjuang untuk menjaga pasokan pangan nasional, khususnya dalam masa krisis pandemi Covid-19 tersebut.
Karena itu, intervensi negara terhadap keselamatan kaum perempuan petani yang beraktivitas di ruang terbuka (lahan pertanian) terutama industri-industri pertanian, yang rentan terhadap Covid-19 menjadi sangat penting sebagai bentuk kepedulian negara kepada mereka.
Hal itu tentu terkait beberapa hal yang perlu didorong melalui kebijakan politik anggaran jangka pendek sejalan dengan instruksi pemerintah dalam penggunaan anggaran baik di level pusat maupun daerah untuk penanganan Covid-19, antara lain.
Pertama, pemerintah perlu memastikan kesehatan dan keselamatan (safety) para perempuan petani agar tetap sehat dalam situasi pandemi seperti ini, terutama dalam hal meningkatkan imun tubuh, asupan gisi petani dan upaya menjaga tubuh agar tetap aman.
Kedua, Perlu muatan kebijakan berkaiatan dengan pendapatan petani, agar mereka tetap survive secara ekonomi, memastikan hak- hak kaum petani perempuan tetap terjamin untuk menghindari kejahatan para rentenir dan Free Rider yang mencoba memanfaatkan situasi pandemi sebagai lahan bisnis untuk meraup keuntungan.
Ketiga, pemanfaatan pangan lokal harus menjadi prioritas apabila pasokan beras menjadi langka. Dengan demikian, petani lokal, khususnya kaum perempuan petani dapat diberdayakan. Contohnya di Maluku terdapat pangan lokal seperti Sagu. Jenis pangan lokal ini jika dimanfaatkan secara baik, dapat membantu minimal warga Maluku dalam memenuhi pasokan makanan selama masa krisis pandemi covid-19, begitu pula daerah lainnya.
Ketiga hal ini terkait pula dengan situasi pasca pandemi covid-19 yang sangat mungkin terjadi krisis ekonomi dan jika para petani perempuan tidak diberi perhatian, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kesulitan terutama berkaitan dengan pangan.
Dengan demikian, dalam situasi krisis pandemi covid-19 seperti ini, pemerintah pusat dan daerah tidak saja harus menguras energi memikirkan penanganannya secara medis, tetapi juga memastikan ketersediaan pangan nasional ataupun daerah yang tetap stabil. Dan karena itu, para petani perempuan harus pula diprioritaskan.
Penulis adalah Wakil Ketua Bidang OKK Dewan Pimpinan Nasional-Perempuan Tani HKTI.