Perbuatan rekayasa tersebut, merupakan suatu bentuk tindakan pembohongan terhadap rakyat Indonesia terutama di bidang pendidikan masyarakat, dimanaperbuatan pembohongan terhadap rakyat indonesia ituadalah bagian dari proses pembodohan terhadap masyarakat Indonesia.
Oleh: Hendry Reinhard Apituley, SH.,MH
TABAOS.ID,- Konsep ini sengaja diangkat ke permukaan, karena dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, nama Jong Ambon sudah hilang dalam naskah pelajaran sejarah yang dipelajari. Padahal, sebelumnya, dalam pelajaran sejarah mengenai sumpah pemuda, Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes dan lainnya selalu disebut.
Heran kenapa dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir ini, hanya Jong Java dan Jong Celebes yang ditulis, sementara Jong Ambon tidak ada lagi. Apa yang salah disini, mengapa sampai Jong Ambon sudah tidak disebutkan dalam naskah sejarah belakangan ini. Padahal, dulu saat kita belajar sejarah nama Jong Ambon selalu disebut sebagai yang punya peran dalam melahirkan sumpah pemuda tersebut … “.
Paragraf singkat ini adalah komentar dari bapak Hendry M. Sopacua, Spd., SH., MH., yang pada saat itu merupakan pejabat Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga, Pemerintah Kota Ambonsebagaimana dipublikasikan dalamsurat khabar SUARA MALUKU yang terbit pada hari Kamis, tanggal 23 Oktober 2014, halaman 12, dibawah judul ‘Jong Ambon Bicara, Sambut Sumpah Pemuda 2014’.
Fakta I : Putusan = Sumpah (?)
Adalah suatu fakta sejarah yang membuktikandengan benar dan tak terbantahkan bahwa, padahari sabtu, tanggal 27 oktober 1928 sampai/dengan hari minggu, tanggal 28 Oktober 1928 – 91 tahun lalu (1928-2019) – pernah dilakukan suatu kegiatan yang bernama ‘Kongres Pemuda Kedua’, setelah sebelumnya dilakukan Kongres Pemuda pertama pada hari Jum’at, tanggal 30 april 1926 hinggahari minggu, tanggal 2 mei 1926 yang menghasilkan ‘Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ mengenai kegiatan pemuda Indonesia dalam bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya.
Kongres Pemuda II yang diketuai oleh Sugondo Djojopuspito dari organisasi ‘Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia’ (PPPI), dan yang dilaksanakan di gedung ‘Pemuda Katolik’ (Katholikee Jongelingen Bond) dan kemudian di gedung ‘Bioskop Jawa Timur’ (Oost-Java Biosccoop) dan kemudian lagi di gedung ‘Klub Indonesia’ (Indonesische Clubgebouw) atas prakarsa dan/atau gagasan PPPIitu,pada akhirnya menghasilkan:
Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanya Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober Tahoen 1928 dinegeri Djakarta ; Sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan didalam kerapatan tadi; Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini. Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan.
Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTUMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA. Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENDJOEN-DJOENG BAHASA PERSATOEAN,BAHASA INDONESIA
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannya :
KEMAOEAN, SEDJARAH, BAHASA, HOEKOEM ADAT, PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN. Dan mengeloearkan pengharapan, soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
Jika ditelaah berdasarkan isi dan/atau materi dari Putusan Kongres Pemuda II tersebut di atas yang dikutip dari dokumen asli Putusan Kongres Pemuda II sebagaimana terdapat pada Museum Sumpah Pemuda,jalan Kramat Raya, nomor : 106, Rukun Warga (RW) 9, Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta (10420) dan yang dikelola oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, maka jelaslah bahwa ‘judul’ dari Putusan Kongres Pemuda II tersebut di atas adalah ‘Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ dan bukan ‘Soempah Pemoeda-Pemoeda Indonesia’.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, ‘Sumpah Pemuda’ yang diperingati setiap tahun pada tanggal 28 bulan Oktober oleh bangsa Indonesia, ternyata tidak memiliki dokumen dan bukti sejarah yang otentik. Berdasarkan catatan dan dokumen sejarah diketahui bahwa hari Sumpah Pemuda yang diperingati sebagai peristiwa nasional itu, merupakan hasil rekonstruksi dan/atau hasil rekayasa dari ‘Para Bapak Pembangunan Bangsa’ yang didasarkan pada ideologi-ideologi dari generasi yang berbeda.
Rekonstruksi dan/atau rekayasa ‘Putusan Kongres’ menjadi ‘Sumpah Pemuda’ dilakukan oleh Prof. Mr. Dr. Mohammad Yamin –atas restu dari Presiden Republik Indonesia pada saat itu: Dr (HC) Ir. Sukarno– ketika Mohammad Yamin memegang jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo yang ‘pertama’ (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955).
Yamin menyebut ‘PUTUSAN KONGRESPEMUDA-PEMUDA INDONESIA’ yang dihasilkan melalui ‘KONGRES PEMUDA II’ sebagai ‘SUMPAH INDONESIA RAYA’ yang kemudian berubah lagi menjadi ‘SUMPAH PEMUDA’, 27 (dua puluh tujuh) tahun setelah Putusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia dihasilkan dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Suryanegara, Ahmad Mansur (2009) Api Sejarah. Bandung: Salamadai Pustaka Semesta, h. 509).
Perihal tersebut di atas, adalah sebagaimana yang dekemukakan oleh seorang sejarawan, pengajar dan ahli filologi Indonesia, dan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Medan, Sumatera Utara yaitu, Dr. Phil. Ichwan Azhari, bahwa: “Berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada 1 (satu) baris kalimat-pun ditulis kata Sumpah Pemuda, dan para pemuda juga tidak sedang melakukan sumpah pada saat itu.
Peristiwa 28 Oktober 1928, yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda adalah rekonstruksi simbolik belaka yang sengaja dibentuk kemudian setelah sekian lama peristiwa tersebut berlalu, yaitu adanya pembelokan dari kata ‘Poetoesan Congres’ menjadi kata ‘Soempah Pemoeda’. Jika teks asli Putusan Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 itu diteliti, maka tidak akan ditemukan kata ‘Soempah Pemoeda’ melainkan kata ‘Poetoesan Congres’”.
Bahkan dalam isi dan/atau materi ‘PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA INDONESIA’ tidak ditemukan satupun kata ‘SUMPAH’ atau kata ‘JANJI’ yang setingkat lebih rendah dari kata sumpah. Yang ada hanyalahkata ‘MENGAKU’seperti terdapat dalam kalimat : “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTUMPAH DARAH JANGSATOE, TANAH INDONESIA”; dan seperti yang terdapat dalam kalimat : “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA”; sertakata ‘MENJUN-JUNG’seperti yang terdapat dalam kalimat : “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENDJOEN-DJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA”.
Dalam hubungan dengan perihal ini pula, dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, Dr (HC) Ir. Sukarno dan Prof. Mr. Dr. Mohammad Yamin dalam proses pembentukan Indonesia sebagai suatu ‘bangsa’ (baru), telah melakukan tindakan politik chauvenistic, yaitu : ‘tujuan menghalalkan cara’. Dimana untuk mencapai tujuan pembentukan Indonesia sebagai suatu ‘bangsa baru’ (new nation), baik Sukarno maupun Yamin, telah dengan secara sengaja menggunakan cara ‘rekayasa’ (pemutar-balikan fakta) sejarah yang merupakan suatu perbuatan tidak patut dan/atau tidak layak.
Hal ini sekaligus juga merupakan suatu tindakan yang tidak mendidikrakyat Indonesia dalam kapasitas ‘mereka’ (Sukarno dan Yamin) sebagai ‘pendiri’ (Founding Fathers) Indonesia yang seharusnya dapat memberikan contoh dan teladan yang baik dan benar kepada rakyat Indonesia dan bukan sebaliknya. Perbuatan rekayasa tersebut, merupakan suatu bentuk tindakan pembohongan terhadap rakyat Indonesia terutama di bidang pendidikan masyarakat, dimanaperbuatan pembohongan terhadap rakyat indonesia ituadalah bagian dari proses pembodohan terhadap masyarakat Indonesia.
Fakta II : Posisi Jong Ambon
Jika ditelaah berdasarkan isi dan/atau materiPutusan Kongres Pemuda II tersebut di atas, maka adalah sangat terang dan jelas serta tidak dapat dibantah lagi bahwa, tidak semua organisasi pemuda dalam wilayah Hindia-Belanda pada saat itu yang terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II.Hanya terdapat 8 (delapan) organisasi pemuda yang terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II tersebutdi atas. Kedelapan organisasi pemuda itu adalah sebagaimana yang tertulis dalam teks asli Putusan Kongres Pemuda II tersebut di atas, yaitu:“Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia”.
Sedangkan beberapa organisasi pemuda lainnya termasuk organisasi pemuda Jong Ambon tidak terwakili secara sah dalam Kongres Pemuda II tersebut, meskipun terdapat beberapa orang pemuda Ambon yang hadir dalam Kongres Pemuda II dimaksud, tetapi kehadiran mereka itu adalah atas/nama pribadi dan/atau berdasarkan mandat dari organisasi pemuda lainnya.
Bukan berdasarkan mandat dari organisasi pemuda Jong Ambon, dan tidak atas dasar mandat dari rakyat Maluku (selatan) juga, seperti misalnya, Abdul Mutalib Sangadji dan Johannes Leimena yang kehadiran mereka ‘berdua’ (Sangadji dan Leimena) dalam Kongres Pemuda IIitu adalah sebagai pemuda Indonesia Terkemuka di pulau Jawa, dan bukan mewakiliorganisasi Jong Ambon dan/atau ‘daerah asalnya’ (Maluku (selatan).
Johannes Leimena yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II pada saat itu adalah dalam kapasitas sebagaipembantu IV pada Panitia Kongres Pemuda II dan tidak sebagai utusan yang memegang mandat untuk mewakili organisasi Jong Ambon, dan meskipun Leimena sendiri merupakan salah seorang anggota organisasi Jong Ambon tetapi kehadiran Leimena dalam Kongres Pemuda II tersebut tidak dapat secara serta merta dan/atau tidak dapat secara dengan sendirinya dan/atau tidak dapat dengan secara otomatis dianggap sebagai telah mewakili organisasi Jong Ambon.
Dengan demikian dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, oleh karena orang Maluku ‘tidak terwakili’ (unrepresented) secara sah dalam Kongres Pemuda II, maka orang Maluku tidak terikatpada Putusan Kongres Pemuda II apapun namanya, entah itu ‘Putusan Kongres’ atau ‘Sumpah Indonesia Raya’ atau ‘Sumpah Pemuda’. Sehingga tidak ada kewajiban moral maupun kewajiban hukum dalam bentuk apapun juga dari Putusan Kongres Pemuda IIyang dapat mengikat orang Maluku untuk tunduk pada Putusan Kongres Pemuda II tersebut.
Perihal ini harus dikatakan demikian sebab masih saja ada orang Maluku yang menundukan dirinya pada ‘PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA INDONESIA’ yang di-amini dan yang di-imani sebagai ‘SUMPAH PEMUDA’dengan alasan, bahwa :pelanggaran terhadap suatu ‘SUMPAH’adalah ‘DOSA BESAR’. Jika ditelaah dari sudut pandang fakta-fakta tersebut di atas, maka mulai dari sekarang ini, dan nanti seterusnya.
Bada lagi orang Maluku yang menundukan dirinya pada ‘PUTUSAN KONGRES PEMUDA II’, maka itu bukan lagi ‘DOSA BESAR’ tetapi itu adalah ‘KEBODOHAN TERBESAR’.Dalam hubungan dengan perihal ini juga, pertanyaan substantiveyang belum terjawab hingga saat ini – dan mungkin juga untuk seterusnya – adalah : “Siapakah yang telah melakukan perbuatan tidak bertanggungjawab dengan merekayasa ditempatkannyaJong Ambon dalam Kongres Pemuda II, sementara faktanya tidaklah demikian?”.
Fakta III : Tragedi Sumpah Pemuda
Sebagaimana diberitakan dalam harian umum RAKYAT MALUKU edisi hari Kamis, tanggal 29 Oktober 2015, halaman 1 dan 7bahwa, pada kegiatan upacara perayaan hari Sumpah Pemuda yang ke 87 (delapan puluh tujuh), tanggal 28 Oktober 2015, Dewan Pimpinan Daearah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD-KNPI) di Maluku yang diketuai oleh Victor Peilouw, melakukan revitalisasi Sumpah Pemuda melalui ikrar Sumpah Pemuda Jilid II.
Adapun ikrar Jilid II ini berbunyi: “(1) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, tetap setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI); (2) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, demokratis, adil, makmur dan sejahtera; (3) Kami putera dan puteri Indonesia berjanji dengan segenap jiwa dan raga, membangun Indonesia dengan memuliakan lautnya, dan berdiri teguh di daratannya, dengan pembangunan yang berwawasan cinta lingkungan”.
Akan tetapi, kegiatan tersebut di atas kemudian dilaporkan ke ‘Kepolisian Daerah’ (POLDA) Maluku oleh Hamzah Sangadji dalam kedudukan sebagai Wakil Ketua DPD-KNPI Maluku dengan tuduhan bahwa kegiatan tersebut adalah tidak sah karena dilakukan oleh DPD-KNPI yang dibentuk secara ‘melanggar hukum’ (ilegal), sehingga kegiatan upacara revitalisasi Sumpah Pemuda dan/atau kegiatan upacara Sumpah Pemuda jilid II itu adalah suatu kegiatan yang juga ‘tidak sah’ (ilegal). Hamzah Sangadji mengatakan bahwa, Victor Peilouw telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa penipuan, karena menggunakan atribut DPD-KNPI dan mengaku sebagai Ketua DPD-KNPI Maluku.
Ferry Kasale dalam kedudukan sebagai Wakil Ketua DPD-KNPI Maluku mengemukakan bahwa, Dr. Zeth Sahuburua, SH., MH., sebagai Wakil Gubernur Maluku, dan Richard Louhenapessy, SH., sebagai Walikota Ambon harus bertanggungjawab kepada pemuda Maluku atas kehadiran ‘mereka’ (Wakil Gubernur Maluku dan walikota Ambon) dalam pelaksanaan kegiatan upacara revitalisasi Sumpah Pemuda dan/atau kegiatan upacara Sumpah Pemuda jilid II yang dilakukan oleh DPD-KNPI ilegal tersebut.
Sebab secara legalitas, DPD-KNPI pimpinan Victor Peilouw tidak diakui sebagai pengurus DPD-KNPI Provinsi Maluku oleh ‘Dewan Pimpinan Pusat’ (DPP) KNPI di Jakarta. DPP-KNPI di Jakarta hanya mengakui DPD-KNPI provinsi Maluku yang diketuai oleh Bisri Assidiq Latuconsina dengan Anderson Parinussa sebagai Sekretaris DPD-KNPI provinsi Maluku yang legal. Bukti laporan polisi itu, bernomor: LP-B/350/X/2015/SPKT Kepolisian Daerah (POLDA) Maluku.
Semoga tulisan yang singkat dan sederhana ini dapat menjadi jawaban atas pertanyaan yang menggoda sekaligus mengganggu, tetapi juga menantang sejak 2014, 5 tahun yang lalu. Salam hormat voor Oom Pela dari nama.
Penulis adalah Dosen Pendidikan dan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon