Oleh: Ikhsan Tualeka
Judul tulisan berupa pertanyaan ini menarik untuk diulas, apalagi baru-baru ini beredar surat rekomendasi Gubernur Maluku, Murad Ismail untuk salah satu akademisi yang akan mencalonkan diri sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon.
Surat yang sontak memunculkan perdebatan publik. Memang surat itu berpotensi ‘digoreng’ ke sana ke mari, hingga membuat gaduh jagad maya dan fana. Sebagai hal yang relatif baru di Maluku, masing-masing orang tentu dapat memakai logika atau pengetahuan dan pengalamannya dalam menyikapi persoalan ini.
Di media massa termasuk media sosial, beragam komentar muncul, mulai dari mahasiswa, aktivis, akademisi, politisi, hingga bekas pejabat publik. Sebagian besar justru melihat surat itu dalam perspektif yang politis.
Apalagi tensi politik belakangan ini makin meninggi, dan sejumlah aktor politik terkesan seperti sedang mengintip dari ‘balik tembok’ sambil menunggu Gubernur Murad melakukan kesalahan. Dalam posisi seperti ini, ‘yang benar saja bisa salah, apalagi yang salah’, begitu kira-kira kata warganet.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah ini boleh? Tentu ada berbagai argumen yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyan ini. Misalnya kalau secara etik dinilai bukan menjadi persoalan karena tidak diatur, tapi bagaimana hal kalau ini dilihat secara etis misalnya. Termasuk pula perspektif lain dengan alasan yang membenarkannya.
Saya juga tidak ingin menjawab secara gamblang, juga mau sedikit keluar dari sejumlah argumen yang saat ini mengemuka di ruang publik. Apalagi bila perdebatan itu kadar politisnya lebih kental, ketimbang semangat memboboti isu ini dalam diskursus yang lebih objektif dan proporsional.
Saya mau mengentengahkan satu fakta menarik, atau konteks yang hampir serupa —sama-sama surat rekomendasi untuk calon rektor dari seorang Gubernur. Contoh yang satu ini mungkin luput dari perhatian masyarakat Maluku.
Pada tahun 2019 lalu beredar luas di media sosial, satu surat rekomendasi Calon Rektor Universitas Jambi (UNJA) Johni Najwan yang ditandatangani Gubernur Jambi Fachrori Umar, Minggu (8/9/2019). Rekomendasi ini turut menjadi diskursus warganet.
Surat dengan nomor S.800/2581/GUBJBI/IX/2019 yang ditujukan kepada Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menresdikti) Republik Indonesia dan tembusannya disampaikan ke Presiden RI di Jakarta ini adalah untuk dukungan menjadi Rektor UNJA.
Karo Humas dan Protokol Provinsi Jambi Johansyah membenarkan soal surat rekomendasi tersebut. “Benar, intinya siapapun kandidat yang meminta dukungan akan diberikan oleh pak Gubernur,” ungkapnya saat dikonfirmasi jamberita.com.
Tak terkecuali itu Jhoni Najwa. Bahkan, kata Johansyah, Prof. Dr Hariyadi yang juga kandidat Calon Rektor UNJA, Sabtu (7/9/2019) di Kabupaten Kerinci juga meminta dukungan kepada Gubernur Jambi.
“Pak Gubernur sangat mendukung siapa pun itu yang ingin menjadi Rektor, karena mereka adalah putra-putra terbaik Provinsi Jambi, contoh kemarin Pak Hariyadi yang kebetulan juga ada agenda di Kerinci, beliau sowan ke pak Gubernur, artinya ya tidak ada berpihak ke satu orang,” jelas Johansyah yang saya kutip dari jamberita.com.
Membaca kutipan berita di atas, tentu menjadi fakta bahwa rekomendasi Gubernur kepada calon rektor sejatinya bukan hal baru. Apalagi masih sebatas rekomendasi, dan kalau dibaca, baik itu dalam surat Gubernur Jambi dan Surat Gubernur Maluku poin-poin rekomendasi masih normatif.
Justru dalam konteks tata kelola pemerintahan, sesuatu yang tertulis itu jauh lebih elegan, ada pertanggungjawabannya secara administratif, dan ada dalam arsip, konsiderannya bisa dibaca dengan jelas, dinilai kadar objektivitasnya. Dibanding bisik-bisik yang tak transparan dan bahkan bisa lebih mudah dipolitisasi oleh pihak yang mau berproses atau yang meminta rekomendasi itu.
Bukankah tanpa surat rekomendasi pun sudah kerap atau lumrah terjadi dalam berbagai kontestasi, termasuk pula kandidasi rektor ada desas-desus atau isu satu kandidat didukung kepala daerah. Justru Rekomendasi secara tertulis adalah bagian dari transparansi, hal penting dalam tata kelola pemerintahan, yang mesti atau perlu diapresiasi.
Surat lebih jentelmen dari kebiasaan ‘mengintervensi’ secara informal, lewat telepon, bisik-bisik, atau ‘lobi setengah kamar’, hingga membeli pengaruh (money politic). Ada pepatah lawas yang bilang begini: Di mana ada bisik-bisik, di situ ada kebohongan.
Rekomendasi lewat surat lebih tertanggungjawab, terutama dalam konteks komunikasi antar Pentahelix, ketimbang pada banyak pengalaman sebelumnya, dimana sering disaksikan, meski tanpa surat secara formal, seorang kepala daerah justru lebih kencang ‘mengeksekusi’. Artinya, bukan soal rekomendasinya, tapi yang perlu dilihat atau kalau pun hendak dikritik itu adalah poin-poin alasannya.
Rekomendasi eksternal juga tak perlu dikhawatirkan, karena sifatnya tidak mengikat, sebab tak masuk dalam statuta Universitas. Rekomendasi juga tidak untuk mengatur ‘kamar orang lain’, tapi bagian dari cara membagikan pandangan atau penilaian kepala daerah. Diikuti atau tidak itu menjadi otoritas senat universitas (termasuk Yayasan) di kampus tersebut.
Bahkan dalam konteks yang lebih jauh, bisa saja karena orang yang direkom itu terpilih, kepala daerah yang memberikan rekom merasa punya tanggungjawab moral untuk mendukung sang rektor dengan berbagai program dan skema bantuan untuk sama-sama memajukan kampus tersebut. Atau kalau rekomendasi itu disimpan di laci meja dan tak dihiraukan pun tak menjadi soal.
Jadi urusan rekomendasi hemat saya, tak harus dilihat dari optik politik. Apalagi rekomendasi bisa diberikan pada lebih dari satu kandidat, serta yang punya hak suara dalam pemilihan rektor nanti tentu bukan sekelompok orang-orang yang mudah dicucuk hidungnya, untuk ikut begitu saja satu surat rekomendasi.
Sehingga tak perlu ada kepanikan dan penyikapan yang berujung kegaduhan dan dapat berdampak pada ketidakharmonisan hubungan, baik itu di internal universitas, maupun antara universitas dengan pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur. Belajar dari satu surat rekomendasi di daerah lain (Baca: Jambi) yang nyatanya dianggap biasa saja, tak begitu didebatkan hingga menguras energi publik. Mungkin karena masyarakatnya lebih responsif, bukan yang reaktif.
Ambon, 8 Agustus 2012