Tidak Ada Pilihan, Mahasiswa Papua Memilih Golput

0
1854
Komite Boikot Pemilu 2019 yang terdiri dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Ambon, dan Individu pro demokrasi menggelar aksi Boikot Pemilu 2019

TABAOS.– Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) Dan Pemilihan Legislatif (Pileg) PADA hari Rabu, 17 April 2019 Mendatang, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk review Pembebasan Nasional (Pembebasan), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Ambon, Dan Individu pro demokrasi DAPAT menggalakkan untuk golput.

Menurut mereka, golput adalah pilihan yang paling masuk akal dalam pemilu kali ini. Hal tersebut karena rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang tak ada bedanya dengan pemilu sebelumnya. Mereka menilai, tak ada program-program yang mampu menjawab tuntutan rakyat atas permasalahan demokrasi maupun kesejahteraan.

“Golput adalah pilihan yang paling masuk akal dan itu menjadi sikap kami dalam pemilu 2019 ini,” kata Koordinator Aksi Anchong Nurdin.

Anchong mengatakan golput muncul karena dua pasangan capres dan cawapres lahir dari sistem politik yang melahirkan kebijakan-kebijakan tidak pro-rakyat. Menurut mereka, kedua pasangan capres dan cawapres satu bariaan dengan para pelanggar HAM, anti kebebasan berpikir dan berpendapat, memecahbelah masyarakat dengan memainkan sentimen agama, dikendalikan militer, dan memiliki kepentingan kapital.

“Deretan hal tersebut memperkuat alasan kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu berarti mendukung masuknya militer dalam kehidupan sipil dan mendukung penindasan sistematis terhadap rakyat pekerja, ” katanya.

Menurut mereka, pada Pilpres 2014 rakyat memilih Jokowi-JK karena tidak mau memimpin Prabowo yang memiliki catatan soal HAM dan Orde Baru. Saat ini rakyat berharap Jokowi menjalankan agenda-agenda progresif dalam janji kampanyenya, termasuk menyelesaikan kasus-kasus gagal HAM. Tapi menerima lima tahun berkuasa, Jokowi memenangkan ingkar janji. Menurut mereka, rakyat berubah jadi korban agenda pembangunan.

Terkait pemerintahan rezim Jokowi-JK, alasan golput juga latar belakang belakang capres 02, Prabowo Subianto. Mereka menilai Prabowo tidak bebas dari kasus yang terjadi di masa Orde Baru yang memimpin Soeharto.

Baca Juga  PJ. Sekda Sadali Ie Resmikan Bagan Apung Fiberglass Program Sosial BI di Negeri Morela

Menurut mereka, dalam permasalahan HAM, keduanya sama. Diskriminasi dan kriminalisasi kelompok minoritas dan aktivis, penyitaan buku, pembubaran kegiatan terus berjalan sepanjang pemerintahan Jokowi. Juga tak ada kemajuan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Misalnya permasalahan yang terjadi di Papua juga tak bisa dihiraukan. Puluhan-bahkan ratusan ribu rakyat Papua dibunuh, disiksa, ditangkap, diperkosa, dipenjara tanpa ada proses hukum yang jelas.


“Memilih salah satu tak akan menghentikan pelanggaran HAM dan tak akan berdampak positif terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM,” ujar Anchong.

Selain itu, menurut mereka dalam pemilihan ini, ada borjuasi dengan kekuatan kapital yang besar serta militer dan sisa-sisa orde baru yang terlibat dalam tim pemenangan Jokowi maupun Prabowo. Sehingga, terlibat militer dan sisa-sisa orde baru di kedua kubu cukup menunjukan bahwa siapapun yang terpilih nanti tak akan ada yang serius mengadang militer dalam berpolitik.

Mereka menegaskan, sikap golput juga sebagai gerakan yang tidak berakhir pada hari pencoblosan 17 April 2019. Mereka berencana menciptakan panggung-panggung tempat rakyat dapat berkumpul, berdiskusi, dan bicara tentang tuntutan-tuntutan mereka sendiri. Menurut mereka, persoalan rakyat hanya akan selesai bila rakyat sendiri yang berkumpul bergerak, membangun kekuatan politik alternatif (tanpa melibatkan unsur reaksioner) untuk menciptakan jalan keluar bagi permasalahan-permasalah rakyat.
“Kami akan terus memperjuangkan agenda-agenda rakyat,” kata Anchong

Mahasiswa yang tergabung dalam Komite Boikot Pemilu 2019 itu menentukan sikap golput dalam Pemilu 2019, melawan militerisme, menentang pembungkaman ruang demokrasi dan kriminalisasi yang berekspresi yang meminta bantuan di publik, dan menggerakkan politik alternatif. (T01)