TABAOS.ID,- Pemerintah Provinsi Maluku meminjam uang 700 Miliar Rupiah. Dalam sejumlah rilis di media, Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Kasrul Serang menegaskan bahwa alasan pinjaman itu karena negara dan daerah mengalami keterpurukan, sehingga transfer daerah dari pusat pun terbatas.
Menurut Kasrul, PAD juga terbatas, sehingga perlu ada rasionalisasi anggaran untuk membiayai Covid-19 beserta dampaknya. Upaya ini Implikasinya adalah APBD menjadi sangat tertekan. Situasi yang memang terasa sulit, karena semua aspek terdempak Pandemi Covid-19 yang melanda.
Menanggapinya, Direktur Maluku Crisis Center (MCC) Ikhsan Tualeka mengatakan, dalam perspektif kebijakan publik, harus diakui, pemerintah memang telah melakukan berbagai kebijakan yang arahnya sebagai stimulus pergerakan ekonomi nasional untuk tetap hidup, tumbuh dan berkembang.
“Terakhir dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105 yang sudah direvisi dengan Nomor 179, menjadi bukti goodwill pemerintah dalam pemulihan ekonomi Nasional,” jelas Ikhsan.
Sehingga menurut Ikhsan, kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku melalui pinjaman daerah sebesar Rp. 700 Miliar melalui PT. SMI sebenarnya tidak menjadi persoalan dengan melihat kondisi saat ini. Karena memang ekonomi daerah dalam pertumbuhan yang lambat, dan perlu stimulant guna menggairahkan perekonomian daerah.
Namun dirinya menyayangkan prosesnya menabrak berbagai aturan dan mekanisme, sehingga menimbulkan kegaduhan publik. “Semestinya, kebijakan publik terkait APBD Perubahan 2020, sejak dari penyusunan dikomunikasikan secara lebih terbuka kepada publik, meskipun secara legal, menjadi hak pemerintah daerah dan DPRD, namun sudah sepatutnya dalam kondisi luar biasa seperti ini berbagai pihak dilibatkan,” urai Ikhsan.
Dirinya berharap, mestinya dalam menyikapi situasi semacam ini, setiap upaya harus dimulai dengan mengedepankan “sense of crisis” dari otoritas ekonomi. Pengakuan akan adanya kesulitan saat ini, dan berpotensi berlangsung hingga bertahun-tahun kedepan bukanlah konten komunikasi publik yang harus dihindari.
“Jelaskan ke publik, libatkan para stakeholder, karena APBD sebagai suatu bentuk kebijakan publik perlu diketahui dan dimengerti oleh masyarakat secara luas, apalagi jumlahnya tidak sedikit”, kritik Ikhsan.
Ditambahkan, sebenarnya dalam PMK Nomor 105 maupun yang sudah revisi dengan PMK Nomor 179 sudah menjelaskan syarat dan mekanisme yang harus dilalui oleh pemerintah daerah. Namun polemik yang muncul belakangan terkait pinjaman daerah sebesar Rp. 700 Miliar disinyalir karena ketidakpatuhan Pemerintah Provinsi Maluku terhadap syarat dan ketentuan yang terkandung dalam PMK Nomor 179 tahun 2020.
“Misalnya, pada pasal 4 PMK 105 atau juga dalam PMK 179 menegaskan bahwa untuk mengajukan permohonan pinjaman PEN Daerah dan atau Pinjaman Daerah yang diberikan oleh PT. SMI kepada Pemerintah Provinsi Maluku dalam rangka mendukung Program PEN, Pemerintah Provinsi Maluku harus memenuhi sejumlah kriteria dan persyaratan”, ungkap Ikhsan.
Ia menjelaskan, Poin a. Merupakan daerah terdampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19); b. Memiliki program dan/ atau kegiatan pemulihan ekonomi daerah yang mendukung Program PEN; c. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan d. Memenuhi nilai rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan Pinjaman Daerah paling sedikit sebesar 2,5.
Kemudian pasal 10 ayat 5, tambah Ikhsan, Kepala Daerah yang mengajukan permohonan Pinjaman PEN Daerah sebagaimana di maksud pada ayat (1), memberitahu-kan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
Kriteria-kriteria tersebut dalam tataran aplikasinya yang terkait dengan polemik pinjaman daerah Rp.700 Miliar terindikasi diabaikan oleh pemerintah Provinsi. Pertama, Pada point (a) sebenarnya menyiratkan kepada kita bahwa pinjaman yang diajukan semestinya peruntukannya adalah untuk menjadi buffer policy persoalan ekonomi terdampak Covid-19.
Misalnya masyarakat rentan, pengangguran dan persoalan sosial lain yang muncul akibat Covid-19. Sampai saat ini penjelasan detail atas peruntukan pinjaman daerah 700 Miliar yang berkorelasi dengan dampak Covid-19 oleh pemerintah daerah tidak ada.
Kedua, masih kata Ikhsan, pihaknya belum melihat ada sinkronisasi program daerah yang dikomunikasikan kepada publik sebagai solusi menangani Covid-19. Selama ini intervensi program pemerintah daerah terkait penanganan dampak Covid-19 lebih pada program-program nasional yang sudah pakem sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata aturan lainnya yang berlaku.
“Kemudian publik tidak melihat pemodelan program dan inisiasi program yang lahir dari pemerintah daerah Provinsi Maluku, yang tumbuh dan tercipta dari kebutuhan dan keresahan publik Maluku sendiri sejauh ini”, terang Ikhsan.
Selain itu menurut Ikhsan, semestinya pemerintah daerah melalui Bappeda memaparkan perencanaan program yang berkonsekuensi biaya dalam perspektif dampak Covid-19 kepada DPRD Maluku untuk selanjutnya dikomunikasikan ke publik, khususnya sejauh mana reasonable dan urgensi pemerintah daerah berhutang kepada PT. SMI.
Ketiga, abaian pemerintah daerah yang paling menyebabkan kegaduhan di publik Maluku adalah koordinasi dan komunikasi rencana utang pemerintah daerah yang tidak dikomunikasikan kepada DPRD. Padahal ketentuan itu jelas, baik di dalam PMK 105 dan atau 197 Tahun 2020, maupun UU 23 Tahun 2014 pasal 311.
Ikhsan menambahkan, bila alasan Ketua DPRD Maluku kalau surat pemberitahuan dari pemerintah Provinsi Maluku terkait pinjaman ratusan miliar itu sudah disampaikan Gubernur kepada DPRD Maluku, namun karena kendala di internal, terutama di Ketua Dewan dengan tugas-tugas yang ada kemudian terjadi miskomunikasi, akibatnya di pimpinan sendiri tidak ada yang tahu tentang keberadaan surat tersebut, adalah alasan yang mengada-ada.
“Ini menyangkut uang atau dana untuk publik yang nilainya tidak main-main, dan DPRD itu adalah lembaga kolektif, bukan personal, jadi pemberitahuan dari eksekutif ke legislatif itu harus dimaknai sebagai pemberitahuan kepada lembaga secara kolektif termasuk alat kelengkapan dewan di dalamnya, seperti pimpinan Dewan, komisi-komisi dan fraksi-fraksi. DPRD Maluku bukan milik orang per-orang,” tegas Ikhsan.
Olehnya itu dirinya mengungkap, bukan tidak beralasan kenapa publik mempertanyakan kebijakan pemerintah Provinsi Maluku yang terkesan tertutup atau tidak transparan. “Belum lagi kemana anggaran 700 Miliar itu akan dialokasikan tentu perlu dicermati dan dikontrol secara ketat oleh publik, dan pemerintah pun wajib mempublikasikannya”, pungkasnya. (T15)