Viralnya Video Gubernur Murad Ismail dan Upaya Character Assassination

0
11840

Oleh: M. Ikhsan Tualeka, S.IP, M.I.K

Baru-baru ini publik terutama warganet dikagetkan dengan satu video Gubernur Maluku, Murad Ismail dengan pakaian dinas lengkap terlihat marah pada seseorang yang belakangan diketahui adalah staf humas dan protokoler dari kantor kepresidenan.

Sontak video itu viral dan mendapat beragam komentar. Apalagi sejumlah Channel YouTube terkesan memberikan framing yang ‘provokatif’ pada video tersebut, dengan menulis diksi ‘Gubernur Maluku Ngamuk, Ibu ini Menantang Gubernur, Gubernur Lawan Mama-Mama di Poka’ dan sejumlah narasi negatif lainnya.

Warganet atau netizen yang saat itu belum tau apa latar dan konteks masalah di balik insiden dalam video itu pun berkomentar miring dan menghujat, wajar saja karena ada semacam framing atau persepsi yang ingin dibentuk, kalau Gubernur Murad marah-marah terhadap warga yang notabene adalah perempuan atau mama-mama.

Situasi yang mengemuka ini harus diakui adalah dampak atau konsekuensi logis dari semakin majunya teknologi digital, di mana informasi berseliweran dari mana saja dan oleh siapa saja. Masyarakat atau warganet punya kebebasan untuk itu, menyebarkan atau menerima satu konten informasi, selama tidak melanggar kebebasan orang lain.

Apalagi yang diposting adalah sesuatu yang menyangkut aktivitas pejabat publik. Tentu sah-sah saja, sebagai satu informasi, atau bahan masukan dan mekanisme kontrol, selama itu berdasar pada fakta, bukan rekayasa apalagi fitnah.

Namun yang menjadi persoalan adalah bila ada yang sengaja merekayasa kemudian menyebarkan satu konten informasi dengan tujuan memprovokasi, membohongi publik, atau hendak membangun persepsi buruk terhadap seseorang atau satu kelompok, atau menyebarkan fitnah dan hoaks.

Seperti dalam penyebaran video Gubernur Murad yang kemudian viral itu. Kejadian dalam video itu sendiri memang benar-benar terjadi, tapi baru disebarkan video tersebut (padahal kejadian dua tahun lalu), dalam momentum yang bersamaan dengan sejumlah polemik yang tengah dibesar-besarkan oleh salah satu media lokal, (ada atau tidak, hubungannya) patut diduga ada upaya pembunuhan karakter atau character assassination.

Betapa tidak, video tersebut seolah-olah ingin memberikan pesan kalau Gubernur marah-marah pada warga, apalagi perempuan, di siang hari pada bulan puasa. Itu barangkali target utama disebarkanya vidoe itu pada bulan Ramadhan ini. Karena di-posting dengan tidak dijelaskan kapan dan dimana kejadian dalam video itu, menunjukan ada motif upaya penyesatan dan penggiringan opini publik atau framing.

Framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian sengaja dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu. Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu tersebut dapat berkaitan dengan penulisan fakta yang sumir atau sengaja dikaburkan.

Baca Juga  Menyoal Akses Literasi, Potret Ketidakadilan di Maluku

Terutama ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa yang dipilih dan bagaimana aspek tersebut ditulis. Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian diksi atau kata, kalimat, gambar atau foto, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak

Selain motif freaming atau penggiringan opini, terlihat juga ada Mens Rea (istilah hukum bagi seseorang yang punya niat melakukan kejahatan) khususnya dalam postingan di Channel YouTube. Di mana ada yang sengaja menulis judul, “Gubernur Maluku Ngamuk Ibu ini Menantang” dan “Gubernur Ngamuk, Gubernur Lawan Mama-Mama di Poka.” Ada kesan atau upaya pembunuhan karakter.

Apalagi kemudian video itu, baik itu dalam bentuk konten original, atau pun dalam link YouTube diedarkan secara masif di media sosial termasuk di hampir semua whatsapp grup komunitas orang Maluku, semacam ada operasi yang sistematis. Respon negatif pun menguat. Sampai di titik itu, target penyebar video bisa dikatakan sukses.

Baru setelah ada klarifikasi dari warga atau saksi di tempat kejadian, termasuk dari Sekda Provinsi Maluku dan juga dari kantor kepresidenan, bahwa itu adalah peristiwa lama, tahun 2019, saat kunjungan presiden terkait gempa Maluku. Sebagai tuan rumah bagi datangnya Presiden, tapi terhalang ruang geraknya mendampingi kepala Negara itu, menjadi wajar Gubernur marah.

Opini pun berbalik, warganet yang tadinya menghujat, setelah mengetahui konteks dan latar kejadian yang sebenarnya, menjadi memaklumi, rata-rata kemudian menghapus postingannya. Bahkan yang menyebarkan di Channel YouTube pun dengan cekatan menghapus kontennya, walau jejak digital selalu ada.

Atas kejadian penyebaran konten yang patut diduga adalah satu agenda setting, dan karena sudah pula menjadi satu peristiwa hukum, terutama berkenaan dengan pelanggaran UU IT, maka pihak yang merasa dirugikan bisa saja menempuh jalur hukum, terutama terkait pelanggaran Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Pasal tersebut menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 

Terlepas dari konteks hukum, peristiwa ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua para pengguna sosial media, untuk lebih berhati-hati, cek and ricek atau tabayyun sebelum menyebarkan satu info, Jangan jempol lebih cepat dari otak, dan tanpa sadar kita sudah menjadi perpanjangan tangan penyebaran hoax dan fitnah, bahkan turut membunuh karakter seseorang.

Coba bayangkan kalau ternyata hal yang kita share di media sosial itu ternyata adalah dari sebuah kebohongan. Atau coba bayangkan kalau kalau yang kita share adalah berita atau informasi yang dibuat dengan sengaja untuk “menggiring opini publik” demi memuluskan kepentingan politik atau bahkan upaya ‘jahat’ dari pihak – pihak tertentu, akan fatal dan bahkan bisa berujung penjara. Cerdaslah bermedia sosial.

Penulis adalah Ketua Bidang Networking Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Perusahaan Media Online Indonesia