TABAOS.ID,- Sengketa batas wilayah antara Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dengan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), akibat dari pertentangan antara Batang Tubuh dengan Lampiran Undang-undang (UU) Nomor: 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), dan Kabupaten Kepulauan Aru di Provinsi Maluku’ telah diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Meskipun telah diputuskan, namun perdebatan masih saja terus terjadi, setelah keputusan berbeda dikeluarkan Mendagri.
Putusan Mendagri yang melawan putusan MK ini menyebabkan ribuan masyarakat di tiga desa Samasuru, Wasia dan Sanahu statusnya terkatung-katung. Dampaknya, bertahun-tahun mereka tidak memperoleh hak pelayanan dari pemerintah. Diantaranya tidak mendapat Dana Desa (DD) dan ADD, bahkan tidak bisa menyalurkan hak politiknya.
Kini mereka juga terancam tidak dapat mengikuti Pilpres dan Plileg pada 17 April mendatang. Kondisi yang berlarut-larut ini juga berdampak pada timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Daerah Maluku, Semuel Waileruny, SH,MH melalui rilisnya yang diterima redaksi tabaos.id, senin (18/2/2019) menjelaskan, sengketa antara kedua kabupten telah diputuskan melalui putusan MK Nomor 123/PUU-VII/2009 tanggal 02 Februari 2010.
Batang Tubuh UU tersebut menempatkan batas wilayah Kabupaten SBB dan Malteng berada di Sungai Tala atau Kali Tala. Sedangkan pada lampiran ditentukan batasnya di Sungai Mala.
Waileruny mengatakan, MK berpendapat sebagaimana pada halaman 101 baris 4 dari bawah s/d halaman 102 baris 5 dari atas, “Bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf b UU 40/2003 menyatakan, Kabupaten SBB mempunyai batas wilayah sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Seram Utara dan Kecamatan Amahai Kabupaten Malteng, dan Selat Seram.
“Khusus menyangkut Kecamatan Amahai, menurut MK, harus dimaknai Kecamatan Amahai sebelum adanya pemekaran wilayah Kabupaten SBB, karena kabupaten tersebut saat itu belum ada. Sehingga MK berpendapat bahwa batas wilayah Kabupaten SBB adalah di sungai Tala atau kali Tala atau Wai Tala,”ungkapnya.
Waileruny menjelaskan, sifat putusan MK ditentukan pada pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Penjabarannya lanjut Waileruny, ada pada pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang “MK” sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menentukan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Waileruny berpendapat, dengan adanya putusan MK 123, seharusnya Mendagri, Gubernur Maluku dan Pemerintah Kabupaten SBB mematuhinya, dengan cara menerbitkan putusan-putusan yang sejalan dan sejiwa dengan putusan MK.
Hal ini menurut Waileruny perlu dilakukan, agar masyarakat yang berada pada wilayah sengketa batas wilayah, memiliki ketenangan, dan hak-hak mereka untuk memperoleh pelayanan pemerintah dapat dinikmati. Demikian juga hak konstitusional mereka untuk mengikuti Pemilu dapat tersalur.
Namun kenyataannya, Mendagri telah melakuan perlawanan terhadap putusan MK, dengan cara menerbitkan Peraturan Mendagri (PERMENDAGRI) Nomor 29 Tahun 2010, tentang ‘Batas Daerah Kabupaten SBB Dengan Kabupaten Malteng Provinsi Maluku’ di Sungai Mala.
“Jadi putusan MK menentukan batas antara Kabupaten Malteng dengan Kabupaten SBB ada di Sungat Tala, namun PERMENDAGRI menentukan batasnya di Sungai Mala,”ucapnya.
Upaya untuk mengatasi masalah ini diakuinya, telah dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) melalui investigasi dan mediasi beberapa kali di Ambon, dan di Jakarta.
Mediasi dan invesitigasi kata dia, melibatkan berbagai pihak. Komnas HAM kemudian merekomendasikan kepada Mendagri untuk merubah PERMENDAGRI Nomor 29 Tahun 2010, agar sesuai dengan putusan MK.
Hasil mediasi ini juga telah ditindaklanjuti oleh Bupati Maluku Tengah (Malteng), sesuai surat Nomor 135.6/174 tanggal 10 April 2015 perihal ‘Penyelesaian Batas Daerah’, ditujukan kepada Gubernur Provinsi Maluku, untuk diteruskan kepada Mendagri.
Namun ternyata, Gubernur Maluku bersikap pasif dan Mendagri juga menolak untuk memperbaiki PERMENDAGRI Nomor 29 Tahun 2010.
Waileruny juga menuturkan, masyarakat yang berada pada batas wilayah sengketa juga telah berulang kali menyurati Mendagri, dan melakuan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Maluku yang diwakili Asisten I, Kepala Biro Pemerintahan, Kepala Biro Hukum dan Kepala Kesbangpol.
Pertemuan tersebut mendesak agar Pemerintah Provinsi Maluku menyampaikan agar mendagri merubah PERMENDAGRI, sehingga dapat mengakhiri sengketa hukum dan mengakhiri penderitaan masyarakat.
“Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa Mendagri berpegang pada putusan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan kasasi oleh Bupati Maluku Tengah (Malteng) terhadap Mendagri. MA mempertimbangkan bahwa kewenangan menentukan batas wilayah kabupaten bukan pada Pengadilan, namun pada Mendagri, sehingga gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima,”jelasnya.
Waileruny menilai, pertimbangan MA tersebut benar, namun kewenangan Mendagri untuk menentukan batas wilayah kabupaten, bukanlah kewenangan mutlak, namun kewenangan yang telah dibatasi oleh hukum, apalagi setingkat konstitusi.
Dengan demikian, keputusan Mendagri dibatasi oleh putusan MK 123, sehingga seharusnya Mendagri dalam menerbitkan PERMENDAGRI mesti berpedoman pada putusan MK 123 sebagai konsekwensi pelaksanaan Negara Hukum.
“Dapat dibayangkan, kejahatan yang telah berlangsung dari 2010 sejak pemerintahan SBY sampai pemerintahan Jokowi, telah melahirkan penderitaan masyarakat yang begitu berat. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Pusat sulit dipercaya akan melaksanakan hukum secara murni dan konsekwen bagi masyarakat Maluku.
Juga sulit dipercaya bahwa mereka akan menjamin rasa aman, dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Maluku, untuk menjaga tersalurnya hak-hak konstitusional masyarakat di Maluku secara benar,”tukasnya.
Sebagai Advokat yang berpihak pada rakyat, Waileruny menegaskan, dirinya berkepentingan untuk terus-menerus menyampaikan protes sekeras-kerasnya dan menyuarakan berbagai kejahatan lainnya. Hal ini dilakukan dapat diketahui sikap pemerintah terhadap rakyat Maluku.
“Saya hanya berharap, pemerintah dapat sadar dari kesalahannya,”pungkasnya. (T05)