Perlu Kacamata Berbeda, Sopi Sebuah Prospek Industri Maluku

0
18959

Oleh: Olifia Hukunala

Beberapa bulan terakhir aksi pihak keamanan melakukan razia terhadap para penjual sopi di Kota Ambon dan sekitarnya. Seperti diberitakan, polisi sita 400 liter miras tradisional saat razia di dermaga penyebrangan Maluku (sumber Https//regional. Kompas.com 2019/02/12).

Untuk sekian kalinya aksi ini menuai pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat. Bagi masyarakat yang menjadikan sopi sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anak, tetapi juga mereka beranggapan pula bahwa sopi memiliki nilai kultural secara historis dalam praktik budaya orang Maluku.

Tetapi pihak keamanan dan sebagaian masyarakat justru menaruh persepsi buruk terhadap sopi sebagai sumber penyebab masalah di masyarakat, dikarenakan orang yang mengkonsumsi sopi sering mabuk, tidak sadarkan diri dan cenderung berbuat onar dimasyarakat. Adapun dukungan datang dari presure group, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang (GMKI) Ambon melakukan aksi demontrasi sebagai bentuk dukungan untuk melegalkan sopi. Hal ini tentunya menjadi menarik dan mengundang diskursus untuk sebagian kalangan.

Maluku adalah salah satu daerah yang dikaruniai Sang Pencipta berbagai kekayaan alam, baik diperut bumi (sumber daya alam Langka), maupun alam yang nan indah sebagai potensi pariwisiata. Tak heran jika orang Maluku sering tepuk dada, kalau kita punya kekayaan alam, tambang emas, minyak gas abadi (Blok Masela), yang lebih layak dan mesti diperjuangkan bukan sopi.

Di sini saya tidak membicarakan sopi dalam perspektif teologi, karena bagi saya ranah teologi bukan basic saya, yang kedua hemat saya kalau melihatnya dari perspektif teologi maka sopi sudah pasti bertentangan dengan agama-agama samawi baik Islam maupun Kristiani, wilayah tersebut merupakan wilayah hitam–putih itu, sekaligus tidak bermaksud mengabaikan unsur tesebut, silahkan saja bagi siapa pun yang berkeinginan untuk menulis dalam perspektif itu.

Dalam tulisan ini saya ingin melihat sopi dalam perspektif ekonomi dan politik, bagaimana menjadikan sopi selain memiliki nilai secara ekonomis terdapat nilai kultural yang mesti dijaga, dihormati bukan dirazia, tumpas, musnahkan sesuka hati oleh pihak–pihak tertentu. Sopi seharusnya dilindungi oleh negara melalui produk politik yakni sebuah regulasi. Pertanyaan sederhana disini adalah mengapa sopi harus dilegalkan? kalau saja dilegalkan seperti apa outpunya? Sopi perlu dilihat dari kacamata yang berbeda

Sopi, atau moke adalah sekian nama dari nama lokal untuk minuman Khas tradisional secara turun temurun oleh masyarakat yang ada disekitar Maluku dan Nusa tenggara Timur (Elcod dkk 2013). Sedangkan kata sopi sendiri berasal dari belanda, Zoopje yang berarti minuman alkahol cair (Latif 2009). Sopi sebagai minuman tradisional beralkahol yang diproduksi secara turun temurun oleh masyarakat dimaluku melalui proses fermentasi secara tradisional dengan bahan dasar adalah saguer nama lain sageru, tuak.

Baca Juga  Bolong-Bolong di 2020, Pemkot Ambon Nunggak Bayar TPP

Sopi bagi masyarakat maluku memiliki nilai kultural, karena tidak dapat dipungkiri sopi sebagai atribut pelengkap upacara dan prosesi- prosesi adat, perkawinan, panas pela dll. sopi sebagai alat rekonsiliasi pasca konflik, selain itu pula sopi sebagai mata pencaharian guna menyambung hidup bagi sebagaian masyarakat maluku.

SOPI  Vs SAKE

Sumber gambar : media intenet dan diolah oleh penulis

Secara makro, kita dapat belajar dari Jepang sebagai negara industri, jepang berhasil dalam pembangunan industri baik manufaktur, teknologi, mengantarkan jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang kuat di Asia. Jepang Dengan kekuatan ekonomi yang disektor padat karya (Manufaktur) dan teknologi lantas tidak menjadikan jepang lupa terhadap tradisinya.

Salah satu dari tradisi yang tetap dirawat adalah melalui  minuman tradisional jepang yang berhasil dikembangkan adalah sake. Sake merupakan minuman alkahol hasil fermentasi berbahan dasar beras, itu mampu diubah melaui produksi menggunakan teknologi menjadi minuman alkahol dan diakui oleh pemerintah Jepang, menjadikan sake sebagai minuman kelas dunia, bahkan sake mendapat penghargaan secara berturut – berturut (baca: Annual  Japan Sake Award).

Hal terbalik justeru terjadi di negeri kita betapa sopi dijadikan objek razia pihak kemamanan, ditumpas musnahkan ke tanah. Bukan main yah, dalam benak saya jika sake Jepang bisa mengapa sopi tidak bisa? atau kah aparatur negara kita yang tidak berpikir kreatif, mestinya sedikit lebih agresif untuk sebuah inovasi.

Sopi sebagai komoditas lokal yang perlu dikembangkan menjadi salah satu icon di sektor industri parawisata, belajar dari Bali, terlepas dari budaya yang kental dengan cenderung ke Agama Hindu 84% dari jumlah penduduk Bali (sumber: BPS). Keberhasilan pemerintah kabupaten Tabanan Bali mengembangkan sektor pariwisata sebagai leading sektor bagi pembangunan melalui PAD, yang cukup berhasil dengan tampilan budayanya sebagai icon untuk menarik wisatawan manca negara (Wulandari dan Traindru 2014). Jangan heran jika bertanya ke para  bule atau turis mereka lebih mengenal Bali, bukan Jakarta atau kota lainnya.

Pentingnya Peran State Actor dan Masyarakat

Maluku adalah daerah potensisal selain SDA,  diperut bumi, maluku tak kalah indah dengan bali yang menawarkan berbagai seduhan laut, pantai gunung yang menjadi surga di bumi  tanah  raja-raja, namun para touris hanya datang dan menikmati itu secara gratis tanpa faedah ke masayarakat kecil. Seharusnya ada take and give. 

Memungkinkan sopi sebagai komoditas bernilai yang mesti dibeli oleh wisatawan adalah bagian dari cara menghidupakan ekonomi masyarakat kecil (penghasil sopi). Di sini saya ingin memberi tawaran bahwa seandainya nanti sopi dilegalkan, sopi menjadi komoditas selain memiliki nilai secara cultural, sopi juga menjadi komoditas lokal kekhususan Maluku menjadi icon untuk mengembangkan parawisata, misalkan setiap tahun pemerintah kota ambon melaksanakan kegiatan Darwin-Ambon dengan mendatangkan Touris mancanegara Australia ini sudah berjalan puluhan tahun menjalin kerjasama.

Baca Juga  Isu Gempa Dan Tsunami, Warga Pulau Buru Kembali Naik Gunung

Hal yang sama  terjadi dikabupaten Buru Selatan, Kabupaten Buru selatan adalah salah satu dari kabupaten dimaluku yang mekarkan pada tahun 2008, kabupaten dengan julukan Negeri “Lolik Fedak Fena” itu berusaha mengembangkan sektor pariwisatanya melalui  kegiatan wonderful Sail Tifu, (Baca: Wonderful Sail teluk Tifu 2018) dan beberapa kegiatan lainnya sebelum itu.

Namun kita tidak tahu output dari Darwin-Ambon  dan Sail Wonderful Bursel-Tifu, dll, seperti apa? Apa dampaknya bagi masyarakat kecil? apakah masyarakat kecil diberdayakan? padahal ekonomi masyarakat didaerah ini masih ada pada kategori lemah, dan sebagian masyarakatnya menjadikan Sopi sebagai mata pencaharian untuk kehidupan sehari- hari dan kebutuhan pendidikan anak – anak mereka.

Maksud saya, kalau saja sopi dilegalkan, pemerintah dapat  mengembangkan sopi dalam bentuk industri pengolahan dengan menggunakan standar dan ukuran kadar alkahaol dari BPOM dengan demikian lebih layak dan berkualitas, diberi label Itu menjadi kekhususan Maluku. Dan proses produksi, distribusi dapat diatur melalui peraturan daerah tersebut, misalnya melalui Home Industri maupun melalui pihak ketiga (Swasta).

Legalkan Sopi untuk Industri Ramah Lingkungan

Untuk sebagain besar masyarakat Maluku yang mengganggap sopi bukan satu mata pencaharian yang layak dipertahankan oleh masyarakat dikarenakan maluku adalah daerah yang memiliki potensi kekayaan alam baik, berupa tambang emas, migas, (Blok Masela) nikel, dan potensi perikanan yang konon diperjuangkan sebagai lumbung ikan nasional. Benar bahwa Tanah kita memang subur, dianugerahi Tuhan, berbagai potensi dan kekayaan alam, namun tanpa sadar pengelolaan sumber- sumber daya alam tersebut tidak sedikit melahirkan para rentenir, dan free rider (Penumpang gelap tanpa keringat, namun saku penuh duit).

Kita justru  terperangkap dalam kemalasan, sikap acuh tak acuh, masa bodoh, cenderung mengejar sesuatu secara instan dengan mendapat hasil yang banyak. Tanpa memikirkan generasi selanjutnya.

Istilah  “untung nama ilang belanja”  adalah bukti kita pengidap penyakit “makan Puji” akut (mau di puji, di sanjung – sanjung, padahal kondisi realitas dilapangan begitu miris) . Maksud saya disini adalah, jika sopi di legalkan oleh negara (pemerintah daerah) berpikir bagaimana mengembangkan dalam bentuk industri hilirisasi akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat setempat, juga memberi berupa pajak sekaligus dapat dikembangkan sebagai salah satu dari leading Sektor dan sumber PAD.  Hal ini dapat terjadi kalau visi dari State Actor (eksekutif – legislatif) futures oriented, kretif dan inovatif.

Tak dapat dipungkiri bahwa salah satu ciri dari negara  dunia ketiga adalah cenderung  eksploitatif terhadap natural resource, yakni negara pengidap penyakit belanda akut. Deautch Deases jenis penyakit ini tidak akan sembuh selama cara berpikir kita masih terjebak dalam pola pemikiran sempit, eksploitatif terhadap alam.

Baca Juga  Mungkinkah Ras Melanesia Jadi Presiden di Indonesia?

Cara berpikir picik seperti itu sudah saatnya dibuang jauh-jauh. Jika kita ingin generasi selanjutnya masih menikmati kekayaan sumber daya alam yang sama dan tetap terawat dengan baik, maka membangun dengan dengan mengandalkan sumber sumber daya alam yang bersifat endogenous lebih baik untuk menyelamatkan alam, lingkungan dan generasi akan datang ketimbang eksplotasi kekayaan sumber daya alam berupa tambang emas, nikel gas, minyak, dll adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan pengelolaannya tidak sedikit menimbulkan eksternalitas negatif bagi keberlanjutan lingkungan hidup, konflik maupun masalah sosial lainnya yang terjadi akibat eksploitasi alam.

Bukankah kekayaan alam saat ini adalah pinjaman dari masa yang akan datang yang mesti dijaga, dirawat dikelola dengan baik? melestarikan sopi melalui regulasi oleh negara adalah bentuk penghargaan terhadap sopi sebagai unsur budaya yang kemudian dapat bermanfaat secara ekonomis bagi masyarakat dan sebagai prospek  industri yang ramah terhadap lingkungan.

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham Developmentalism sebagai Rule of the State (Jomo K.S 1999), jika dilihat dari cara negara mengintervensi kekuatan pasar. Urusan pembangunan bahkan negara turut ikut campur dalam mengatur mekanisme pasar. Hal ini negara berkewajiban untuk mengatur masyarakat melalui sebuah produk politik  yang bernama undang – undang atau Perda. Wujud kehadiran negara yakni menjamin keadilan dalam distribusi sumber pendapatan bahkan memberi kepastian hukum akan kepemilikan (Property Right ). Sopi adalah bagian dari kearifan Lokal (Endogeneous). Sopi mesti dilegitimamsi melalui produk politik- perda. 

Melalui Perda tersebut, diharapkan output-nya adalah agar pemerintah daerah dapat mengatur bagaimana Sopi dari para penghasil sopi tradisional sampai ditangan para pengelola yang menggunakan teknologi untuk diproduksi hingga pengaturan bagaimana distribusi dan penetapan harga sopi yang lebih layak agar dapat menguntungkan masyarakat kecil (pengrajin sageru, tuak) bahkan pemodal yang mengelola sopi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi daerah dalam bentuk pajak bagi daerah. Pun sopi juga tidak dikonsumsi secara bebas dan berkeliaran lingkungan masyarakat, mesti diberi Sanksi hukum.

Meminjam kata Daoed Joesoef (2014) tujuan dari suatu pembangunan tidak hanya berorintasi pada  how to Have more tetapi juga how To be more. Dalam artian bahwa mestinya dari sebuah strategi pembangunan tidak hanya berorinetasi pada bagaimana memiliki, tujuan akumulasi capital tetapi juga bagaimana membuat manusia dan budayanya lebih bermartabat.

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Kosentrasi Ekonomi Politik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional Jakarta.