Manifesto Politik, Maluku: No Justice, No Peace

0
6630

“Apakah Maluku Raya telah diperlakukan dengan adil dalam bingkai NKRI?”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Sebagai ilustrasi. Kalau dicermati, dalam unjuk rasa masyarakat, seperti di jalan-jalan  sejumlah kota di Amerika Serikat, menyikapi isu rasisme akibat terbunuhnya George Floyd pada tahun 2020 lalu, biasa terdengar slogan dan teriakan ‘No Justice, No Peace’.

Memang betul, tak ada damai tanpa ada keadilan. Di mana pun, bahkan sepanjang alur sejarah peradaban manusia, keadilan adalah prasyarat utama bila perdamaian ingin direngkuh. Sejarah kepahlawanan Pattimura pun adalah cerita perlawanan terhadap ketidakadilan.

Tak salah kemudian dalam dasar Negara Indonesia, Pancasila, kata keadilan disebutkan lebih dari satu kali, yaitu pada sila ke-2 dan ke-5. Namun keadilan meski mudah untuk diucapkan, tapi adalah barang mahal. Semakin mahal direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika pengambil kebijakan publik sudah tak adil sejak dari pikiran. Cerminan dari maindset yang tak mampu melihat dan mengelola realitas dengan adil.

Mari kita coba sedikit mendiskusikan perspektif keadilan ini dalam upaya pencapaiannya di Maluku Raya (Baca: Maluku dan Maluku Utara) secara proporsional. Atau setidaknya menjawab, apakah daerah kepulauan ini sudah diperlakukan dengan adil dalam bingkai NKRI?

Ada sejumlah argumen, paling tidak dari titik ini akan lahir kesadaran kolektif. Pertama, karakteristik wilayah. Luas wilayah Maluku Raya secara keseluruhan lebih dari 851.000 kilometer bujur sangkar, terdiri dari lautan sebesar 765.272 kilometer bujur sangkar dan daratan 85.726 kilometer bujur sangkar.

Jika dibandingkan, luas daratan dan lautan adalah 9:1. Namun dengan kondisi eksisting yang ada, sesuai regulasi, dalam penetapan alokasi anggaran untuk Maluku Raya tetap diperlakukan sama dengan daerah kontinental. Artinya dengan pola ini alokasi anggaran dihitung berdasarkan proporsi luas daratan.

Ini tentu merugikan kepulauan Maluku, yang hanya memiliki 7,6 persen daratan dari keseluruhan luas wilayah. Dengan demikian anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat disesuaikan dengan proporsi itu, padahal dibandingkan dengan kebutuhan dan tantangan pembangunan, tentu sangat tidak sebanding.

Kedua, kewenangan yang terbatas. Menjadi persoalan, dengan di ‘cap’ sebagai daerah kepuluan, karena faktanya potensi lautnya besar, nyatanya tidak berbanding lurus dengan kewenangan mengelola potensi itu. Sama seperti sejumlah daerah lain, kewenangan laut dibatasi hanya 12 mil dari garis pantai daerah terluar.

Baca Juga  Di Forum PBB, Diplomat Asal Maluku Tegaskan Papua Bagian dari Indonesia

Dalam kondisi ini apa yang bisa diharapkan oleh Pemerintah Daerah di wilayah Maluku Raya dalam menggenjot Pemdapatan Asli Daeah dari sektor kelautan hingga dapat mempercepat pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran. Menang dalam nama sebagai daerah luat yang kaya, tapi tak mendapat keuntungan yang signifikan.

Karena kewenangan yang terbatas itu pula, Maluku Raya hanya menjadi penonton atas hamparan kekayaan yang dimiliki. Kapal-kapal penangkap ikan luar daerah dan kapal asing yang datang hilir-mudik mengeruk hasil laut Maluku, tak jauh beda dengan zaman VOC saat mengambil rempah-rempah dari Spicy Island ini.

Dari berbagai sumber, tercatat lebih dari 40 triliun dibawa keluar dari laut Maluku setiap tahun, ini belum terhitung dari laut Maluku Utara. Ironisnya dengan postensi yang ada, tak ada satupun industri pengolahan ikan bertaraf besar di Maluku raya, sebagian besar pabrik pengolahan ikan itu justru berada di Sulawesi Utara.

Belakangan ada satu video viral yang mengungkap adanya industri pengolahan ikan dengan keuntungan fantastis di Nusa Tenggara Barat yang ternyata lebih dari 50 persen bahan bakunya didapat dari laut Maluku. Menegaskan kalau laut Maluku Raya hanya dijadikan semacam sapi perah, sebagai daerah penghasil dibiarkan lemah atau dilemahkan.

Artinya pula, dengan hasil laut yang dikelola di daerah lain, membuat protensi tenaga kerja, putra-putri Maluku Raya yang semestinya dapat diserap dari sektor ini, menjadi tak terakomodir. Ini juga baru cerita soal laut, belum soal mineral dan gas alam seperti Blok Masela yang akan dieksplorasi dalam beberapa tahun kedepan.

Ketiga, alasan historis atau sejarah. Sebagai daerah yang punya ‘split’ atau pencabangan sejarah politik dan hingga kini masih ada entitas masyarakatnya terus melakukan ‘perlawanan’ terhadap ‘Jakarta’, yang mungkin akan terus berlangsung karena punya alasan historis yang kuat, perlu segera ada upaya kompromi dan rekonsiliasi politik yang strategis.

Upaya ini penting selain agar dapat turut meredam polarisasi politik yang kian akut dan kontraproduktif. Rekonsoliasi politik yang diwujudkan dapat dijadikan momentum sehingga energi orang Maluku dapat dimaksimalkan untuk membangun maluku.

Baca Juga  Puluhan Burung Endemik Maluku Dilepaskan ke Habitatnya di Suaka Alam Sahuwai

Tarik menarik antara kelompok yang menjunjung NKRI harga mati, dengan kelompok yang tetap menginginkan Maluku menjadi negara sendiri, sebagian besar adalah diaspora Maluku di Belanda, dan juga ada di Maluku, harus bisa dijembatani. Maluku harus bisa ‘move on’ dari pertikaian politik sejak tahun 1950 dan melompat lebih jauh, karena semua potensi politik dapat menyatu dan tak terpasung beban sejarah.

Menggunakan logika upaya penyelesaian konflik vertikal dan bagaimana menjawab ketidakadilan di Papua dan Aceh, bisa jadi pendekatan yang sama dapat dilakukan terhadap situasi Maluku. Sehingga satu sisi ada kompromi politik, dan pada sisi yang lain akselerasi pembangunan dapat dilakukan melalui alokasi dana otonomi khusus.

Papua dan juga Aceh yang punya latar perlawanan terhadap pemerintah pusat, dipersuasi oleh ‘Jakarta’ dengan kebijakan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa (DI) Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Keluarnya dua UU itu lebih kental nuansa dan muatan politiknya. UU Nomor 18 misalnya, dalam klausul ‘menimbang’ menyebutkan bahwa, salah satu karakter khas yang alami dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan NKRI.

Kemudian untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi DI Aceh dipandang perlu memberikan otonomi khusus; bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi DI Aceh.

Demikian pula dengan UU Nomor 21, yang diberlakukan khusus untuk Papua. Pertimbangan politik menjadi sandaran utama pelaksanaan UU itu, yakni masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi HAM, nilai agama, demokrasi, hukum, dan budaya yang hidup dalam masyarakat adat, serta hak menikmati hasil pembangunan yang wajar.

Baca Juga  Dua Aktivis Lingkungan Pejuang Hutan Adat Sabui Jadi Tahanan Kejari, Begini Sikap MCC

Pertimbangan lainnya untuk Papua adalah, demi integrasi bangsa, dalam wadah NKRI, tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya melalui penetapan daerah otonomi khusus. Selain penduduk Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia.

Dijelaskan juga dalam konsiderans bahwa, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua, dinilai belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga mengakibatkan kesenjangan antara Provinsi Papua dengan Provinsi lain, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua diperlukan kebijakan khusus dalam kerangka keutuhan NKRI.

Membaca alasan perlakuan khusus terhadap Aceh dan Papua, dan melihat fakta ketidakadilan terhadap Maluku Raya selama ini, agaknya tidak berlebihan kalau Maluku Raya menuntut hal yang sama. Adanya perlakuan secara khusus dari pemerintah pusat, sehingga memiliki alokasi anggaran dan kewenangan yang lebih proporsional.

Ini bukan permintaan yang diajukan karena telah terjadi degradasi nilai-nilai kebangsaan, tapi karena ada keunggulan komparatif (Comparative Adventage) Maluku Raya. Keunggulan dari segi karakteristik dan potensi sumber daya alam, maupun latar sejarah yang kuat, yang bahkan akan terus menjadi beban sejarah bila tidak segara diurai lewat pendekatan politik yang lebih akurat dan bermartabat.

Catatan pendek ini bisa jadi adalah semacam manifesto politik mewakili setiap orang Maluku yang menginginkan rakyat Maluku sejahtera, lewat pendekatan dan perlakuan yang lebih adil dan beradab. Suara-suara yang bukan hendak mengemis karena Maluku bukan bangsa pengemis, hanya menuntut hak dan perlakuan yang adil. Tak ada kehidupan yang damai, tanpa adanya keadilan yang substantif.

Ambon, 15 Juni 2020

Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)