Oleh: Paman Nurlette
Sebagaimana diketahui pada tahun 2023 ini, masa jabatan 17 Gubernur di Indonesia akan berakhir. Dari jumlah tersebut, ada empat Gubernur termasuk Gubernur Maluku, yang tidak menjabat sampai lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Pengurangan masa jabatan kepala daerah merupakan konsekuensi dari masa transisi. Itu sebabnya, bukan hanya kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018, yang dilantik 2019 menjabat sampai 2023, tapi juga kepala daerah hasil pemilihan 2020, yang dilantik 2021 berakhir di 2024. Mereka ini tetap diganti oleh penjabat sampai terpilihnya kepala daerah definitif.
Secara yuridis normatif pemotongan durasi kekuasaan dan penggantian kepala daerah hasil pemilihan 2018 dan 2020, berdasarkan amanat norma Pasal 201 Ayat (5), (7) dan (9), yang termaktub secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Menurut ketentuan Norma Pasal 201 Ayat (5) yang menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.
Kemudian Ayat (7) menyebutkan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024”.
Selanjutnya bunyi Ayat (9) “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), diangkat pejabat Gubernur, penjabat Bupati dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak Nasional pada 2024.
Namun, menurut ketentuan Norma Pasal 162 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Lantas bagaimana memahami dua norma hukum yang dianggap kontraproduktif seperti disebutkan di atas. Perlu diketahui di alam hukum kita mengenal terminologi hukum normal dan hukum tidak normal, serta salah satu varian lain adalah hukum transisional.
Masa jabatan dan masa transisi
Norma Pasal 201 yang terkandung dalam Undang-undang Pilkada, menggambarkan sekarang sedang terjadi masa transisi dan perubahan hukum terkait Pilkada serentak Nasional. Secara konsepsi terjadi perubahan hukum, maka jangan kita bicara hukum normal yang lama dan hukum normal yang baru, karena sebuah perubahan hukum membutuhkan adanya transisi.
Dalil argumentasi hukum pengisian masa jabatan kepala daerah termasuk Gubernur Maluku oleh penjabat di tahun 2023 dan 2024. Karena saat ini merupakan masa transisi dan sebagai konsekuensi dari peraturan yang telah diputuskan, maka diperbolehkan penggantian sejumlah kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir atau tidak genap lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam masa transisi melihat norma yang satu beda dengan norma yang lain, atau aturan hukum yang lama bedah dengan hukum yang baru. Sederhananya, kalau hukum normal yang lama sebagai norma satu, dan hukum normal baru sebagai norma dua. Maka norma hukum yang berlaku di masa transisi sekarang merupakan norma satu setengah, sehingga bedah dengan keduanya.
Muncul pertanyaan kritis ialah apakah boleh, kepala daerah hasil pemilihan 2018, yang dilantik di tahun yang sama menjabat normal tetap 5 tahun. Sedangkan Gubernur Maluku dan kepala daerah hasil pemilihan 2018, yang baru dilantik 2019 hanya menjabat 4 tahun lebih. Begitu juga kepala daerah hasil pemilihan 2020, yang baru dilantik 2021 menjabat hanya tiga tahun lebih. Maka secara hukum boleh, karena merupakan transisi menuju yang permanen.
Kendati demikian, peraturan yang mengatur mengenai kepala daerah tidak menjabat sampai lima tahun atau kepala daerah hasil pelantikan 2019 dan 2020 akan berakhir 2023 dan 2024 hanya berlaku sekali ini saja. Untuk berikutnya tetap berlaku masa jabatan kepala daerah normal lima tahun. Karena sekarang masa transisi sehingga masa jabatan kepala daerah boleh berbeda, apalagi hanya bersifat sementara.
Kebijakan memformulasikan penyelenggaraan Pilkada termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 201 bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (Einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.
Sehingga pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota bersamaan dengan periodisasi pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak Nasional.
Analisis norma dan kompensasi sebagai perlindungan hukum
Masa jabatan Gubernur Maluku tidak sampai 5 (lima) tahun sebagai akibat dari lambatnya proses pelantikan atas pemberlakuan Norma Pasal 201 Ayat (5). Mestinya saat itu, Gubernur Maluku setelah mengetahui aturan hukum dan ingin memperoleh masa jabatan normal, maka mendorong pemerintah pusat untuk melakukan percepatan pelantikan sesuai tahun pemilihan.
Adanya pengaturan mengenai masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 2018, akan berakhir pada 2023 telah diatur secara eksplisit dalam Norma Pasal 201 Ayat (5) Undang-undang Pilkada. Sehingga dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud dianggap telah diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut ritual politik Pilkada pada 2018 lalu.
Dengan kata lain, pengurangan atau pemotongan durasi masa jabatan Gubernur demikian sudah diketahui secara pasti oleh kepala daerah waktu itu.
Norma Pasal 201 Ayat (5) dan (7) secara eksplisit mengandung frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” dan “hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024”. Itu artinya, norma tersebut menegaskan berakhir masa jabatan Gubernur hasil pemilihan 2018 dan 2020 terletak pada tahun pemilihan bukan pelantikan.
Apabila menelaah secara kritis lagi norma Ayat (5) dan (7) tersebut, tidak menyebutkan frasa “masa jabatan” tapi “masa menjabat”. Dengan demikian, masa jabatan Gubernur harus berakhir mengikuti masa menjabat. Logika hukum nya, tidak mungkin masa menjabat Gubernur telah disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang Pilkada berakhir pada 2023, tapi ingin memegang jabatannya selama lima tahun sampai 2024, dengan berdalil menggunakan Norma Pasal 162 Ayat (1), karena baru di lantik pada tahun 2019.
Norma hukum Pasal 162 Ayat (1) harus dipahami secara tekstual dan kontekstual. Gubernur Maluku memegang jabatan normal selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, apabila pelantikannya bersamaan dengan tahun pemilihan, agar jangan menabrak Norma Pasal 201 Ayat (5). Tetapi pelantikannya di tahun 2019, maka masa jabatannya di masa transisi tetap berakhir mengikuti masa menjabatnya di 2023.
Berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai implikasi dari tidak terpenuhi masa jabatan kepala daerah sampai 5 (lima) tahun. Maka undang-undang telah mengantisipasi secara jelas terhadap oknum kepala daerah yang terkena dampak pemotongan masa jabatan, agar diberikan kompensasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Norma Pasal 202 Ayat (4) menyebutkan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.
Pemotongan masa jabatan Gubernur oleh Negara di masa transisi bukan sebuah pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminatif, melainkan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan Pilkada 2024 secara serentak Nasional. Sebab, Norma Pasal 201 Ayat (7) pernah di uji di Mahkamah Konstitusi oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara dalam perkara nomor 18/PUU-XX/2022.
Namun, oleh hakim MK Saldi Isra menyebutkan pemotongan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia.
Sebagai hak politik maka terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (Derogable Right), yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh Negara berdasarkan alasan-alasan yuridis sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam ketentuan Norma Pasal 28J Ayat (2) UUD NRI 1945.
Menelaah pernyataan Mendagri dari asfek Negara hukum
Narasi Mendagri beberapa hari yang lalu di Ambon, bahwa masa jabatan Gubernur Maluku berakhir pada Bulan April 2024 mengikuti tahun pelantikan.Tentu memantik aneka tanggapan dan ragam pendapat dari publik Maluku. Banyak pihak bertanya apakah dalil argumentasi, yang disampaikan memiliki kekuatan hukum mengikat dalam konteks Negara hukum?.
Menurut hemat penulis argumentasi yang disajikan oleh Mendagri merupakan pernyataan politis, bukan dalil argumentasi hukum yang sahih serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena Norma Pasal 201 Ayat (5) telah mengunci frasa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.
Secara hierarki derajat ketatanegaraan atau Kedudukan Undang-undang jauh lebih tinggi bila dibandingkan organ-organ Negara, apalagi seorang pembantu Presiden. Sehingga Pemerintah dan DPR termasuk Presiden dan para Menteri harus tunduk dan patuh terhadap perintah Norma Pasal 201 Undang-undang Pilkada. Dalam Negara hukum Mendagri tidak boleh melanggar Undang-undang.
Konsepsi Negara hukum atau “Rechtsstaat” sebagaimana dirumuskan dalam Norma Pasal 1 Ayat (3), yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam Negara hukum itu yang diidealkan harus dijadikan panglima dalam dinamika ketatanegaraan adalah hukum bukan politik.
Karena prinsip Negara hukum ialah “the rule of law, not of man”. Yang menegaskan Pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai wayang dari skenario sistem yang mengaturnya.
Dalam Negara hukum pernyataan Mendagri tidak otomatis menganulir, apalagi merubah ketentuan Norma Pasal 201 Ayat (5) (7) dan (9). Pernyataan tersebut, juga tidak bisa dijadikan Legal Matrix untuk melegitimasi eksistensi masa jabatan Gubernur Maluku sampai April 2024. Kecuali Pemerintah dan DPR telah melakukan revisi terhadap Undang-undang Pemilu, untuk mengubah ketentuan yang ada.
Jadi, Presiden maupun Mendagri dalam melakukan tindakan hukum administrasi pemerintahan harus berdasarkan hukum, dan tidak boleh melanggar aturan hukum. Namun demikian, pernyataan Mendagri bukanlah berdasarkan satu dalil argumentasi hukum yang kuat, namun bisa jadi hanya narasi politis untuk menyenangkan hati Gubernur Maluku semata.
Penulis adalah Direktur Eksekutif masyarakat pemantau kebijakan publik Indonesia