Komnas HAM: Kematian Balubun Tidak Wajar, Ada Apa?

0
1702
Mendiang Yanes Balubun (kiri) dalam satu kegiatan advokasi bersama rekan-rekan aktivis HAM Maluku.

TABAOS.ID, – Kasus kematian Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku Pembela HAM (Human Right Defender) yang meninggal secara tidak wajar membuat Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) akhirnya turun tangan melakukan pemantauan sekaligus menyelidiki kasus di Ambon.

Komisioner Bidang Pelapor Khusus Pembela HAM, Siti Noor Laila, mengatakan, dari hasil pemantauan dan penyelidikan pihaknya, ditemukan indikasi dugaan kematian Yohanes Balubun secara tidak wajar sehingga memerlukan keseriusan dan profesionalisme polisi untuk mengungkapnya.

“Komnas HAM telah melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait, mengumpulkan informasi dan data terkait kematian Yanes, dan juga melakukan rekonstruksi di TKP (tempat kejadian perkara). Dari informasi yang diperoleh, kami menilai kematian Yanes ada yang tidak wajar,” ungkap Noor Laila kepada pers di Ambon, Sabtu (11/6/2016).

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku itu ditengarai meninggal secara tidak wajar. Ia meninggal pukul 5 pagi pada 8 April 2016 di RSUD Dr. Haulussy, Kudamati Ambon. Dirinya sempat menjalani perawatan dalam keadaan tidak sadarkan diri setelah ditemukan warga pada Kamis dinihari sekitar pukul 01.00 hingga 01.30 WIT di kawasan Pule, Karang Panjang, Ambon.

Pembela HAM itu ditemukan warga setelah mendengar klakson panjang sepeda motor. Saat itu paha korban dalam posisi menekan klakson sepeda motornya. Sedangkan kepala korban mengeluarkan darah sangat banyak. Kesannya seperti korban mengalami kecelakaan lalu-lintas. Namun warga tidak melihat adanya goresan sepeda motor di aspal, sementara banyak darah bergelimang di selokan TKP.

Menurut Noor Laila, pihaknya menemukan beberapa saksi penting yang belum dimintai keterangan sebagai saksi oleh kepolisian. ”Kami minta kepolisian yang memiliki kewenangan dalam hal ini Polda untuk melakukan pendalaman terhadap kasus kematian Yanes, dan memanggil beberapa saksi yang ditemukan Komnas HAM, namun belum dimintai keterangannya sebagai saksi,” jelasnya.

Baca Juga  Hasil Identifikasi, Polisi Menemukan Bercak Darah Korban Nur Nabila di Dinding dan Jendela

Fakta penting lainnya adalah, pihaknya mendapat bukti bahwa sebelum Yanes meninggal, saat masih hidup sekitar tiga bulan sebelumnya dia mendapat tekanan atau ancaman. Yanes merasa ada pihak-pihak yang sering mengikuti dan mengawasi aktivitasnya, sehingga membuatnya sempat tidak nyaman.

“Ada situasi dimana Yanes belakangan sering mendapat ancaman, kemudian ada kematian yang menurut Komnas HAM tidak wajar. Karena itu Komnas HAM minta kepada Polda untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam dan secara profesional, untuk mendapatkan bukti-bukti keterangan saksi yang bisa memberikan petunjuk atas kematian Yanes,” tegasnya.

Dari riwayat hidupnya yang kerap melakukan advokasi serta pembelaan terhadap hak-hak masyarakat sipil, Komnas HAM lantas menempatkan Yanes sebagai Pembela HAM. Karena itu, kematiannya tidak bisa dipisahkan dengan kerja-kerjanya sebagai Pembela HAM.

“Ini sangat penting, karena itu kami minta Polda melihat pekerjaan yang dilakukan Yanes. Semestinya tanggungjawab pemenuhan HAM menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi selama ini Yanes sudah mengambil peran itu karena Negara belum hadir memberikannya. Pemerintah seharusnya memberikan apresiasi kepada pekerjaan-pekerjaan yang sudah dilakukan Yanes sebagai Pembela HAM, dalam hal ini disertai profesionalisme kepolisian dalam mengungkap kematiannya yang tidak wajar,” paparnya.

Ditegaskannya, Maluku bisa dikategorikan sebagai daerah rawan bagi para Pembela HAM. Sebab kematian tidak wajar yang dialami Pembela HAM di Maluku bukan saja dialami Yanes. Sebelumnya jurnalis Ridwan Salamun dan Alfrets Mirulewan pada tahun 2010, meninggal secara tidak wajar saat melakukan tugas peliputan. Namun proses penegakkan hukum belum memberikan kejelasan penyebab meninggal, termasuk mengungkap semua pelaku dibalik kematian mereka.

“Ini karena aparat masih belum sensitif terhadap persoalan Pembela HAM. Menurut saya kalau ini dibiarkan terus, akan menjadi pola pelanggaran HAM bagi para Pembela HAM di Maluku. Ini situasi yang berbahaya, kalau terus-menerus. Artinya masih ada ancaman bagi Pembela HAM yang lain, untuk bernasib sama dengan Yanes dan teman-teman lainnya,” katanya mengingatkan.

Baca Juga  Dugaan Pemberian Gaji Terpidana Korupsi, Tuhulele: Seluruh Direksi Bank Maluku Akan Dilaporkan

Semestinya, lanjut Noor Laila, Negara dalam hal ini pemerintah menempatkan Pembela HAM sebagai kelompok atau entitas yang harus mendapat penghargaan dan apresiasi karena banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan Negara. Untuk melakukan pemajuan dan perlindungan terhadap HAM adalah kewajiban Negara, tetapi selama ini sudah dilakukan para Pembela HAM.

Karena dedikasinya yang tinggi semasa hidup terhadap perlindungan HAM, Komnas HAM bersama kelompok masyarakat sipil di daerah Maluku akan mengusulkan Yanes untuk dianugerahi penghargaan HAM yang dilaksanakan The Gwangju Human Rights Award di Korea Selatan. Noor Laila mengatakan, ada situasi yang baik pasca kematian Yanes, dimana kelompok masyarakat sipil terutama para Pembela HAM makin memperkuat jaringan, serta melakukan kampanye bagi perlindungan Pembela HAM.

”Maluku agak berbeda dengan daerah lain, karena ini wilayah post konflik dan kemudian masih cukup kuat kekuatan-kekuatan yang tidak memberikan dukungan terhada perjuangan Pembela HAM. Situasi ini yang mesti mendapat perhatian khusus dari Komnas HAM. Selain wilayah Papua, Aceh, salah satu yang harus mendapat perhatian adalah Maluku, karena potensi konfliknya cukup tinggi, termasuk pelanggaran HAM,” tandasnya.

Apa yang dialami Yanes adalah kasus kematian Pembela HAM, yang bukan tidak mungkin mengakar pada berbagai kasus penegakan HAM yang dibela oleh dia melalui profesinya sebagai advokat maupun Ketua AMAN Maluku. Semasa hidupnya, Yanes telah banyak memperjuangkan hak-hak masyarakat. Ia kerap mengadvokasi dan melakukan perlindungan HAM terhadap masyarakat suku Noaulu di Pulau Seram sejak lama.

Dirinya bersama kekuatan masyarakat sipil dan masyarakat adat juga memperjuangkan Save Aru ketika wilayah hutan di Kepulauan Aru akan dikonversi menjadi perkebunan tebu oleh perusahaan konsorsium PT. Menara Group. Ketika ada upaya pembabatan hutan di daerah Taniwel (Seram Bagian Barat) dengan alasan akan dibangun perkebunan sawit, Yanes juga berdiri di depan bersama organisasi pemuda Taniwel dan sejumlah aktivis lingkungan menolak rencana tersebut.

Baca Juga  Diduga Meninggal Tak Wajar, Makam Dibongkar, Jasad Yanes Balubun Diotopsi

Yanes juga menyerukan Save Seram ketika PT. Bintang Lima Makmur mendapat izin konsesi HPH seluas 24.550 hektar hutan di selatan Pulau Seram. Banyak sekali perkara menyangkut hak-hak masyarakat pinggiran dan masyarakat adat yang dibela langsung oleh Yanes semasa hidupnya. Terakhir dirinya mengadvokasi kasus pembunuhan anggota Satgas TNI BKO Armed 13 Kostrad Praka Sardiawan oleh empat warga Tananahu di Kecamatan Elpaputih, Maluku Tengah.

Yohanes Yonatan Balubun, S.H., atau yang biasa dikenal dan dikenang para sahabat dengan nama Yanes Balubun atau dengan sapaan Bung Yanes, lahir di Ambon pada 8 September 1975, adalah sosok pejuang HAM dan Hak Masyarakat Adat dari Maluku yang diduga kuat telah “di-Munir-kan” pada tahun 2016.

Memulai kiprahnya sebagai pembela hak-hak dasar rakyat pada Jaringan Baileo Maluku yang juga aktif dalam mengupayakan resolusi Konflik Maluku 1999 – 2005, Yanes kemudian menjadi Koordinator Advokasi Lembaga HUMANUM dan menginisiasi pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku. Yanes juga dikenal sebagai perwakilan Maluku dalam Dewan Kehutanan Nasional (DKN).