Maluku Raya: Perlakuan Khusus ataukah Self Determination?

0
5842

Ironisnya, generasi Maluku hari ini lebih memilih mengikuti arus, sekalipun gelombang ketidakadilan terus menghempaskan mereka pada tepian kemiskinan dan ketertinggalan”

Oleh: Ikhsan Tualeka 

Percepatan atau akselerasi pembangunan Maluku semestinya bisa diupayakan, andai saja sebagian masyarakatnya merasa tak nyaman dengan kondisi yang ada. Ketidaknyamanan yang mampu merangsang logika berfikir kritis.

Iya, daya kritis akan mengemuka manakala realitas yang ada bisa dilihat dengan objektif, open minded dan tidak terpasung oleh indoktrinasi atau mungkin halusinasi yang dibangun di atas satu kata yang selama ini justru dapat meninabobokan: NKRI Harga Mati.

Satu problem mendasar adalah, banyak dari generasi muda Maluku yang memilih hidup tenang dalam kemiskinan dan ketertinggalan, tertidur pulas dengan perut kadang keroncongan, di rumah kumuh dan anak-anak kurus tak bersekolah atau kalaupun sekolah dengan standar dan mutu yang sangat rendah. Pasrah, meski itu bukan kondisi yang semestinya.

Mereka yang diam ini diantaranya karena memang tak punya daya dan kemampuan untuk memahami realitas yang sebenarnya. Mereka tidak melewati proses pendidikan yang bagus, akibat gagal difasilitasi oleh negara. Sebagian lagi justru terdiri dari kalangan intelektual tapi belum punya keberanian untuk mengambil sikap kritis secara terbuka.

Lantas apakah ini menunjukan sebagai satu bangsa, sub-etnik atau komunitas yang tak berdaya, pasrah, kalah dan menyerah? Bila belajar dari sejarah orang Maluku, entitas ini bukan bangsa yang mudah pasrah pada keadaan. Orang Maluku dikenal sebagai komunitas yang pantang menyerah alias pemberani, hingga muncul banyak pejuang dan kapitan.

Keberanian orang Maluku ini tercatat dalam banyak lembar sejarah, seperti Pattimura dan Monia Latuarima yang patriotik melawan penjajah Eropa. Dalam perang Korea tahun 50-an tentara Maluku jadi legenda saat dikirim membantu sekutu. Sejarah komando pasukan khusus Indonesia pun terinspirasi karena melihat bagaimana satu serdadu Maluku bisa menghadang atau berhadapan dengan banyak tentara musuh.

Kalau begitu, jika merupakan bangsa pemberani, kenapa orang Maluku, khususnya pada generasi hari ini lebih memilih mengikuti arus, sekalipun gelombang ketidakadilan terus menghempaskan mereka pada tepian kemiskinan dan ketertinggalan?

Jawabannya adalah, karena para intelektualnya termasuk mereka yang tercerahkan, lebih banyak memilih berada di zona nyaman, mengikuti prosedur dan regulasi yang cenderung tak adil, hasil formulasi oligarki di pusat kekuasaan. Sekalipun tahu bahwa diri dan komunitasnya dililit tali ketidakadilan, yang penting perut bisa terisi, keluarga aman, hidup ini sudah cukup, selesai lah segala urusan.

Padahal andai saja kalangan terpelajar yang tercerahkan ini mau bergerak dan mengupayakan standar kehidupan yang lebih baik, lewat keadilan distributif yang memang harus direbut dan diperjuangkan. Mereka dan saudara-saudaranya yang hidup di tanah Maluku, tentu akan hidup dengan kualitas yang lebih baik. 

Berjuang dalam konteks ini tak harus dengan memanggul senjata, tetapi dapat dilakukan dengan gagasan dan pemikiran kritis, dengan menggalang solidaritas kolektif, antara lain lewat media sosial, membuka tabir ketidakadilan. Agar pemangku kewajiban, khususnya pemerintah pusat dapat memahami kondisi faktual dan mencari cara terbaik dalam menyelesaikannya.

Namun ada yang bertanya, atau bahkan mencibir, kenapa selalu atau terus minta tanggung jawab dan menyalahkan pemerintah pusat? Kenapa Maluku sendiri tidak berbenah dan berlomba dengan daerah atau provinsi lain untuk maju dan berjaya?

Begini logika sederhananya. Maluku itu punya tantangan pembangunan yang lebih pelik dan kompleks. Daerah kepulauan dengan rentang kendali yang luas, minim infrastruktur transportasi dan komunikasi. 

Belum lagi soal fasilitas serta mutu pendidikan dan kesehatan yang rendah. Alokasi anggaran pembangunan yang relatif sedikit, jauh dari kebutuhan, pernah pula dihantam konflik sosial yang ikut menarik turun kualitas masyarakatnya.

Dengan keterbatasan yang ada, Maluku dipaksa atau terpaksa berkompetisi dengan daerah lain. Anak-anak Maluku meski secara sosial tumbuh tak normal, dibiarkan bersaing secara terbuka dengan anak-anak daerah lain. Ibarat disuruh balap atau lomba lari, Maluku masih di garis start, yang lain sudah di pertengahan jalan.

Contoh mudahnya begini, transmigran datang dari daerah lain yang mindset dan latar pendidikannya lebih baik, mendapat fasilitas dari Negara, kemudian mampu mengelola alam yang tersedia sehingga lebih maju, lantas kampung-kampung tetangga mereka dari penduduk asli dengan berbagai keterbatasan diminta bersaing dengan mereka. Tentu tak adil bukan? 

Atau begini, anak-anak muda Maluku dianjurkan dan didorong menjadi kreatif, inovatif, bahkan jadi entrepreneur, tapi apa adil atau realistis dengan standar, mutu serta fasilitas pendidikan yang ada? sementara kompetitornya dari daerah lain rata-rata sudah memiliki gadget atau laptop keluaran terbaru. Ini sedikit contoh, tentu ada banyak contoh dan fakta lain.

Dengan kondisi semacam ini, sudah saatnya ada upaya atau treatment berbeda dari negara atau pemerintah pusat kepada Maluku. Semacam perlakuan secara khusus atau tindakan afirmasi, lewat undang-undang dan anggaran khusus atau otonomi khusus, tanpa itu, provinsi yang tertinggal ini masyarakat aslinya akan terus miskin.

Menghadirkan satu tindakan afirmatif dari negara, kuncinya adalah, ada upaya serius atau gerakan sosial-politik yang dibangun oleh para intelektual tercerahkan, antara lain melalui berbagai kritik kolektif yang diupayakan dengan masif. Ikhtiar ini pun dilakukan dengan asumsi negara atau pemerintah punya kemampuan menangkap sinyalemen ketidakadilan yang telah berlangsung lama lewat protes yang mengemuka itu.

Namun jika negara yang memang telah dikuasai oligarki, hanya menggunakan logikanya sendiri dan kemudian tidak peduli dengan suara-suara dari anak kandung Republik ini, mungkinkah generasi Maluku hari ini perlu mengupayakan langkah perjuangan yang lebih strategis untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri atau Self Determination? Masing-masing kita punya jawaban atas pertanyaan itu.

Ambon, 27 Mei 2020