Partai yang Terbuka dan Pemilih Rasional: Tantangan Pemilu 2024

0
495

Oleh: Hariman A. Pattianakotta

Tak lama lagi negara kita akan melaksanakan agenda besar demokrasi. Secara prosedural, Pemilu menjadi pesta penting kelangsungan demokrasi yang dijamin undang-undang.

Di situ rakyat akan menentukan hak dan kewajiban kewarganegaraannya. Rakyat menjadi penentu masa kini dan masa depan negara-bangsa.

Secara substansial, pesta demokrasi ini mesti didukung oleh kultur politik yang cerdas dan diarahkan untuk mewujudkan bonum commune. Ukurannya adalah keadilan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Semakin maju kultur politik demokrasi, maka semakin besar kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena mereka merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Di era Reformasi, Indonesia telah berada di track demokrasi yang tepat. Lembaga-lembaga pendukung dan penyelenggara demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP telah kita miliki.

TNI dan Polri sudah kembali ke posnya masing-masing untuk menjaga keutuhan dan keamanan negara. Berbagai peraturan dan regulasi yang menjamin kebebasan masyarakat dalam memilih pun sudah kita miliki.

Parpol yang Feodalistik Dibajak Oligarki

Salah satu pemain demokrasi yang masih harus terus dibenahi adalah partai politik atau Parpol. Gonjang-ganjing perdebatan soal sistem Pemilu proporsional terbuka atau tertutup menjadi contoh menarik yang perlu dibedah.

Indonesia sudah pernah hidup dalam pengalaman pahit demokrasi yang ajaib. Bahkan sebelum Pemilu yang katanya LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) berlangsung, siapa presidennya sudah kita ketahui. Karena itu, LUBER saja tidak cukup. Harus JURDIL (jujur dan adil) juga.

Supaya jujur dan adil, maka rakyat sebagai subjek demokrasi diberikan hak dan kewajiban untuk langsung memilih pemimpin. Pemilih tidak lagi memilih pemimpin seperti memilih kucing di dalam karung. Sistem pemilihan proporsional terbuka ini yang sekarang dianggap seperti membonsai peran Parpol sebagai pemain demokrasi.

Baca Juga  Kepala BNPB : Jangan Anggap Enteng Covid-19

Padahal, yang terjadi justru Parpolnya yang tidak belajar dan menata diri dengan baik. Mereka tidak melakukan kaderisasi berjenjang dengan benar. Mereka tidak legowo mengorbitkan kader-kader berkualitas.

Mereka justru yang mengambil jalan pintas dengan merekrut orang terkenal seperti selebriti dan memberikan panggung kepada orang berduit. Alhasil, banyak parpol yang dikuasai oligarki. Siapa yang berduit, dialah yang diprioritaskan.

Karena praktik politik sembrono itu pula, sekarang ada Parpol yang meminta supaya sistem Pemilunya berubah menjadi proporsional tertutup. Sejatinya, ini ajakan untuk kembali ke zaman batu demokrasi Indonesia di era Orde Baru.

Partainya yang gagal melakukan transformasi, tetapi sistem yang baik yang menjadi warisan Reformasi kini mau diubah menjadi seperti dulu lagi. Semoga MK tidak mengabulkannya.

Supaya demokrasi kita kuat, maka kultur demokrasi dan sistem kaderisasi serta tata kelola Parpol yang harus ditata ulang dan ditransformasi. Parpol harus terbuka dan didukung oleh seluruh anggota serta ditata secara transparan dan akuntabel.

Kalau Parpol bersih, pemerintah yang dihasilkan juga akan bersih. Namun jikalau Parpolnya korup, feodal, dan dikuasai oligarki, maka secara substansial demokrasi kita tidak akan tumbuh. Tercemar dan defisit, iya.

Masyarakat Sipil yang Kuat

Salah satu kekuatan penting lain dari demokrasi adalah masyarakat sipil, civil society. Kalau masyarakat cerdas, pemilih kita menjadi pemilih rasional, maka kultur demokrasi yang baik akan terbangun dan kuat.

Soalnya sekarang adalah masyarakat pemilih kita masih minim literasi politik. Bahkan, banyak yang menjadi apatis dan rentan menjual diri dalam transaksi money politics.

Tidak sedikit juga yang termakan isu politisasi SARA serta friksi mayoritas-minoritas. Politik kuantitatif mayoritas versus minoritas sudah pasti membuat yang minoritas tersingkir.

Baca Juga  Gubernur Murad Tinjau Pengecoran Masjid Terapung Al-Manafi di Malra

Minoritas ini bukan hanya dalam soal agama, tetapi juga suku dan ras. Inilah kelemahan masyarakat sipil kita, sebagai akibat dari lemahnya literasi politik.

Sebagai contoh, saat ini pemilih sudah digiring untuk membatasi pilihan pada Ganjar, Prabowo, dan Anies. Bahkan, sudah banyak pemilih yang bertanya, siapa yang patut dipilih.

Hal yang serupa terjadi juga di daerah. Orang langsung secara emosional mau memilih Si A atau Si B sebagai gubernur, bupati atau walikota, Padahal, kandidat yang dijagokan itu belum bicara apa-apa mengenai visi, misi, strategi, dan program untuk memajukan negara dan daerah.

Ironisnya, para pemilih sudah ngegas, bahkan gontok-gontokan. Inilah contoh pemilih emosional sebagai cerminan lemahnya masyarakat sipil kita.

Supaya demokrasi kita tumbuh, serta keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi goal demokrasi dapat terwujud, maka kita mesti membangun masyarakat sipil dengan pendidikan politik yang baik.

Kalau pemilih kita cerdas dan rasional, maka kita tidak hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni, tetapi juga membuat kultur demokrasi kita semakin sehat.

Kita berharap semoga Parpol dan masyarakat sipil kita semakin sehat untuk membawa Indonesia maju dan sejahtera dalam berdemokrasi.

Penulis adalah Pendeta Universitas Kristen Maranatha, Bandung, dan Dewan Pakar Perkumpulan Nasional Senior GMKI