Demokrasi Warung Kopi

0
960

Oleh: Subhan Akbar Saidi

Instrumen politik telah dimainkan. Hampir tiap hari aneka isu menjadi topik utama di warung kopi. Kekuasaan dan politik bagian penting yang dikunyah tanpa henti.

Begitulah wajah demokrasi hari ini “Demokrasi Warung Kopi.” Fenomena berkumpul dan minum kopi menjadi ruang egaliter dan ekspresi pemikiran di warung kopi.

Setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya. Namun, jarang ditemui pembahasan asal muasal kopi yang diseruput.

Bagaimana masa depan petani kopi di Maluku? Sudah sejahtera atau belum? Berapa pendapatan mereka dalam setahun? Diskursus soal itu hampir tidak ditemui di warung kopi.

Padahal merekalah penyumbang gagasan dan ide yang sebenarnya, hingga akhirnya muncul wacana di warung kopi.

Pemerintah dan publik hendak membahas kesejahteraan para petani khususnya petani kopi di Maluku daripada hanya sekedar menyeruput kopi di warung kopi.

Ujungnya, angka kemiskinan yang bersumber dari desa dapat dihentikan. Jadi, data diatas menunjukan persentase kemiskinan di Maluku masih dalam jurang yang curam.

Kemiskinan bukan takdir yang jatuh dari langit. Ia diterbangkan ke angkasa dari kebijakan dan diskurus publik yang rapuh.

Aneka Ragam Masalah

Saat saya mengikuti beberapa forum yang diadakan oleh pemerintah daerah. Paparan Kepala Bappeda selalu membuat audiens terkesima.

“Maluku perlu mengikuti jejak pemerintah Maluku Utara yakni memanfaatkan SDA agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan,” ucapnya.

Realitas sosial hari ini menunjukan kita hidup di ruang praktis. Kita melewati proses yang singkat tanpa paham realitas dibelakangnya. Seluruhnya menggema di warung kopi.

Bahkan, saat Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku merilis persentase penduduk miskin di Maluku September 2021, distribusi kemiskinan paling banyak di pedesaan dengan jumlah yakni 245,97 ribu orang, sementara perkotaan jumlahnya hanya 49,02 ribu orang.

Baca Juga  Pemprov Maluku Lakukan Perubahan Terkait SE Larangan Mudik Lebaran, ini Syaratnya

Artinya, kualitas pekerjaan yang diciptakan di desa masih rendah sehingga tidak memberikan insentif pendapatan yang memadai.

Persoalannya adalah, pengelolaan SDA di sektor ekstraktif biasanya tidak sepadan dengan masa depan lingkungan yang memadai. Exploitasi SDA alam kerap diikuti dengan aneka masalah lingkungan yang berkepanjangan.

Bandingkan dengan pengelolaan di sektor yang terbarukan. Pengelolaannya selalu dilakukan secara kontinu tanpa merusak lingkungan.

Mestinya, pemerintah daerah menyasar beberapa komoditi unggulan lainnya, salah satunya kopi.

Di Maluku sendiri kopi lokal yang mampu menjawab pangsa pasar adalah Kopi Tuni. Mapan secara historis dan memiliki diferensiasi produk.

Masalah lain, saat warung kopi menjalar di Maluku khususnya Kota Ambon belakangan ini, pasokan kopi lokal di warung kopi masih relatif rendah.

Sebagian Warung kopi baik coffee shop maupun cafe tradisional dipasok oleh kopi yang bersumber Dari Jawa, Toraja (Sulawesi), Gayo (Aceh), lampung, dan Papua.

Tak kalah genting, konsumsi kopi lokal di Maluku. Presentasi penjualan kopi lokal (kopi tuni) dalam periode 2021 dengan pendapatan, yakni Rp 29.014.753 (Sumber:Koperasi Seribu Negeri Kopi Maluku).

Angka ini masih terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan beberapa komoditi kopi yang berada di luar Maluku.

Sementara, berdasarkan International Coffee Organization (ICO), pertumbuhan rata-rata konsumsi kopi di Indonesia berada di atas rata-rata dunia pada umumnya.

Tahun 2021, pasokan kopi nasional mencapai 795 ribu ton, sementara tingkat konsumsi naik menjadi 370 ribu ton.

Data diatas sekaligus menjawab hasil analisa yang dilakukan oleh kementerian pertanian yang memprediksi konsumsi kopi secara nasional terus tumbuh sekitar 8,2 persen selama periode 2016-2021.

Aneka ragam masalah dan prospek di atas, memperlihatkan bahwa pantulan peningkatan konsumsi secara nasional hampir tidak terpancar dalam balut masyarakat Maluku.

Baca Juga  Bagaimana Kabar Kasus SPPD Fiktif 2011 Pemkot Ambon

Rasanya, kita perlu merekonstruksi kembali arah kebijakan pemerintah daerah sehingga sektor yang belum tersentuh dapat digalak-an.

Hanya saja pada penyusunan riset KPJU (Komoditas/Produk/Jenis Usaha) unggulan UMKM di Provinsi Maluku, produk seperti kopi tidak masuk dalam skala prioritas.

Jejak Kopi Tuni

Maluku memiliki jejak sejarah kopi yang tidak kalah penting. Penyebaran tanaman kopi di Maluku berlangsung sejak zaman VOC.

Namun pembukaan lahan kopi di Maluku tidak semulus di daerah lain. Masyarakat dengan keras menentangnya.

Jika ditinjau dari kajian masa kolonial (hongitochten), ternyata salah satu butir

Proklamasi Haria pada tahun 1817 oleh rakyat Maluku dibawah kepemimpinan Pattimura yakni, menolak menanam kopi yang didatangkan melalui pulau jawa.

Alasanya, Haria dan beberapa pulau lainnya telah memiliki kopi sendiri dan memilih tidak menyetorkan ke Belanda saat itu.

Implikasinya, bentuk dan kualitas kopi tuni di Maluku berbeda dengan kopi di Indonesia pada umumnya. Itulah sebabnya, saat pagelaran Festival Coffee Duni beberapa tahun lalu, Kopi tuni menjadi salah satu produk yang dipamerkan.

Begitupun saat digelarnya KTT G20 di Bali. Kopi tuni menjadi Cinderamata untuk pemimpin dunia saat itu.
Technopolis Yunani.

Hanya saja, keikutsertaan dalam beberapa event nasional hingga internasional, kopi tuni belum mampu bersaing dengan pesaing kopi lainya di pasar bebas.

Pemimpin akan datang hendak meng alokasi APBD ke sektor yang produktif (Perkebunan kopi). Jika ini dilakukan maka nisbah kesejahteraan akan didapatkan.

Begitupun obrolan di warung kopi. Figur potensial mesti diikuti dengan pengelolaan sektor potensial yang mapan. Jika ini tidak dilakukan, maka jeritan masyarakat miskin akan menjadi ritual yang dirayakan setiap harinya.

Penulis Merupakan Alumni INDEF School Politic and Economy, Aktif dalam Mollucas Corruption Watch dan terhimpun dalam Komunitas Kopi Maluku