Kapitalisasi Isu Agama, Drama Politik, dan Korupsi Kekuasaan

0
1277

Oleh: Hariman A. Pattianakotta

Agama selalu menjadi isu yang seksi dalam politik. Mungkin karena ia menjadi bagian terdalam dari perasaan dan keyakinan, maka agama mudah dikapitalisasi.

Politik di mana pun tak imun dari isu agama. Di negara maju seperti Amerika, isu radikalisme dan terorisme menjadi jualan politik yang laris manis. Pun di Indonesia.

Semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, radikalisme agama mendapatkan ruang bernafas yang cukup leluasa. Karena itu, berbagai kasus kekerasan atas nama agama meningkat signifikan.

Di masa pemerintahan Joko Widodo, radikalisme agama tidak hilang, tetapi tiarap. Organisasi keagamaan yang dipandang ekstrim dan mengancam memang dibubarkan. Namun, eksistensinya tidak bubar.

Gerakan mengganti ideologi Pancasila tetap hidup. Bahkan, secara laten tumbuh di akar rumput. Karena itu, gerakan moderasi beragama dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui kementrian agama.

Kita mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo. Juga untuk berbagai karya pembangunan yang dilakukan dengan luar biasa hampir sepuluh tahun ini.

Kapitalisasi Isu Agama dan Drama Politik

Menjelang Pemilu 2024, Indonesia disuguhi drama politik yang cukup mencengangkan. Gibran, sang putra Presiden Joko Widodo, dinobatkan sebagai calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.

Entah apa yang “merasuki” pikiran Gibran, juga sang ayah, Joko Widodo. Sang putra yang baru memimpin kota Solo, masih minim pengalaman, kemudian dinobatkan sebagai calon wakil presiden. Itu pun setelah melewati proses yang alot di Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Dari tulisan-tulisan yang beredar di media sosial, konon itu strategi Joko Widodo untuk memutus langkah gerakan-gerakan agama yang radikal ekstrimis. Prabowo dipasangkan dengan Gibran, lalu Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, seorang dari tradisi Nahdlatul Ulama yang berseberangan dengan masa pendukung Anies, khususnya dari garis PKS.

Baca Juga  Punggawa Timnas U-16, Alfin Lestaluhu Meninggal Dunia

Tulisan tersebut terlalu “romantis” dan menjadi selubung palsu dari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Saya tidak menihilkan ancaman radikalisme ekstrimisme agama. Namun, saya juga menolak kapitalisasi isu tersebut. Dan kapitalisasi isu tersebut justru memperlihatkan ketidakmampuan negara dan pemerintah menghadapi kaum ekstrimis.

Deal-dealan politik yang berlangsung itu justru membuktikan adagium yang berlaku dalam dunia politik praktis: “Tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan.”

Sekarang Gibran dan keluarga Joko Widodo berseberangan dengan PDIP, Partai yang dulu mengusung mereka. Gibran sekarang berpasangan dengan Prabowo, sosok yang dulu menjadi lawan sang ayah dalam Pemilihan Presiden.

Dalam kubu pendukung Prabowo, ada pula PSI, partai yang kini dikomandani oleh putra bungsu Joko Widodo. PSI dulu begitu menentang Prabowo, sekarang malah merapat dan menjadi barisan pendukungnya.

Sedangkan di kubu Anies, kita melihat bagaimana akhirnya PKB bermitra dengan PKS, dua partai yang berbeda haluan politik walaupun sama-sama bernafaskan Islam.

Jadi, yang abadi memang hanya kepentingan. Drama politik yang membuat banyak pendukung Joko Widodo kecewa berat ini justru menegaskan hal tersebut.

Power Tends to Corrupt

Lord Acton dulu pernah bersabda, “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Sabda ini benar adanya.

Di masa Soeharto berkuasa secara absolut, kita melihat kesewenang-wenangan terjadi dengan begitu vulgar. Dinasti keluarga dibangun. Anak-anak Soeharto menguasai berbagai bisnis. Mereka mendapatkan privilege khusus.

Yang berbeda dengan Soeharto langsung dicap komunis. Aktivis yang kritis diculik. Soeharto menancapkan pengaruhnya di berbagai lini, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan, ABRI pun sempat ia kuasai.

Era Joko Widodo tentu sudah berbeda dengan dengan zaman Soeharto. Kita sudah berada di era teknologi informasi. Segala sesuatu sudah terbuka. Ini era buka-bukaan. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan.

Baca Juga  Soal Status Dua Warga Sabuai, Dosen Hukum Pidana Universitas Pattimura Minta Kejari Bula Hentikan Kasusnya

Demokrasi kita sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan di masa Soeharto. Dan ini wajar saja, sebab kita sudah melewati beberapa periode presiden selepas Reformasi. Masyarakat Indonesia pun sudah semakin kritis.

Namun, diakhir masa jabatan Joko Widodo, dengan melihat gelagat dan drama politik yang berlangsung, kita patut mengingatkan semua pihak supaya berhati-hati: Power tends to corrupt. Korupsi Kekuasaan dapat terjadi kepada siapa saja yang sedang dan yang akan berkuasa.

Karena itu, kita mesti tetap mengikuti alur drama ini dengan nalar kritis, sembari berharap bahwa kepentingan bangsalah yang terus dikedepankan, bukan dinasti atau kroni!

Penulis adalah pendeta dan pengajarÂ