Dari Budaya Kewel, Menuju Budaya Baca

0
4965

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Dalam satu forum diskusi, salah satu narasumber, seorang profesor mengatakan budaya kewel turut andil dalam menarik turun produktivitas orang Maluku. Duduk cerita ‘ngalor ngidul’, debat kusir tanpa arah, hanya habiskan waktu.

Namun statement itu disanggah oleh beberapa peserta, membuat perdebatan berlangsung panas. Mereka yang menyanggah berpendapat budaya kewel bukan satu masalah, karena justru dapat menciptakan keakraban sosial.

Oleh moderator, perdebatan dihentikan, tapi tentu menyisakan pro-kontra. Faktanya budaya kewel itu ada dan dilakukan oleh kalangan kita, sebagian besar masyarakat Maluku. Oleh karena itu sebenarnya perdebatan mengenai budaya kewel itu menjadi otokritik bagi kita semua.

Memang, tanpa disadari dan tidak terasa kita sendiri terkadang juga kewel, bahkan berkembang atau berpindah hingga ke media sosial. Yang menjadi pertanyaan, mengapa budaya kewel itu bisa muncul, sampai-sampai ada istilah ‘tukel’?

Kewel (dalam artian yang bebas) adalah berbicara tanpa arah yang jelas, atau yang penting ngomong atau bicara. Benar atau salah itu urusan belakang. Orang-orang di Jawa mengatakan itu asmuni (asal muni), ada juga yang mengatakan asbun (asal bunyi).

Dari istilah-istilah ini saja bisa dikatakan bahwa perilaku kewel itu tidak hanya dimiliki oleh orang Maluku, orang-orang lain di wilayah lain juga punya perilaku itu. Hanya saja ada dalam istilah yang berbeda.

Itu pula mengapa dalam ajaran agama juga melarang budaya kewel. Salah satu ajaran dikatakan bahwa berbicaralah yang bermanfaat kalau tidak diam. Artinya menurut ajaran agama, agar tidak kewel maka lebih baik diam.

Budaya diam daripada asbun ini yang kebanyakan dilakukan atau dipraktikkan di daerah-daerah lain di Indonesia seperti di Jawa. Sampai-sampai ada pepatah mengatakan “diam itu emas”.

KEWEL DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI KONTEMPORER

Dalam buku-buku psikologi kontemporer dijelaskan bahwa orang yang berbicara tanpa arah karena adanya ketidakseimbangan antara otak kanan dan otak kiri. Seperti diketahui bahwa otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan otak kiri.

Otak kiri mengatur pikiran-pikiran konkrit seperti berfikir sistematis, matematik atau terukur. Sedangkan Otak kanan mengatur pikiran-pikiran abstrak atau imajinatif, antara lain berpikir religius, seni dan sebagainya.

Baca Juga  Maluku Membangun di Tengah Pandemi

Dalam praktiknya, ada manusia yang otak kiri dan otak kanannya tidak seimbang. Bila otak lebih berat ke sebelah kiri maka orang itu biasanya berpikir sistematis dan kaku.

Di otak kiri, yang ada hanya sesuatu yang pernah dilihat, dibalik itu tidak ada. Mungkin ada, tetapi tidak memiliki kepekaan yang besar tentang keadanya. Orang yang terlalu berpikir rasional seperti ini bisa-bisa atheis atau tidak meyakini adanya Tuhan.

Sementara bila otak lebih berat di sebelah kanan maka ia akan cenderung berfikir abstrak dan imajinatif. Perilaku orang seperti ini pikirannya biasa meloncat-loncat tidak jelas dan cepat berubah.

Orang yang otaknya lebih berat ke kanan, perkataannya biasanya selalu membingungkan orang. Statement atau pernyataannya kerap membuat bingung, namun penuh dengan ide atau gagasan.

Sebagai anugerah Tuhan maka seharusnya kedua belahan otak ini harus diseimbangkan — harus ada keseimbangan otak kiri dan otak kanan. Bila kedua belahan otak ini seimbang maka pikiran-pikiran ataupun ucapan-ucapan seseorang akan penuh dengan ide namum sistematis pengungkapannya.

Kalau meninjau dari aspek sosio-ekologi, masyarakat Maluku memiliki ciri suka mengkonsumsi ikan yang banyak mengandung lemak omega tiga yang bermanfaat bagi pertumbuhan kecerdasan otak. Hal ini memang demikian karena negeri ini kaya dengan ikan.

Masyarakat yang suka mengonsumi sumber daya laut yang kaya kandungan garam atau yodium, akan mudah terpacu hormon adrenalin, sehingga cenderung membuat orang untuk berperilaku agresif. Ini yang membuat masyarakat di daerah kepulauan seperti Maluku cenderung menyukai seni, lewat menyanyi, joget, dansa atau menari dan berpesta.

Pola konsumsi dan berjiwa seni inilah yang mempengaruhi budaya masyarakat Maluku. Memiliki potensi otak encer namun agresif dan suka seni sehingga otak kanan lebih berkembang dan memiliki potensi yang bagus.

Namun, persoalan utama yang dihadapi oleh penduduk di provinsi seribu pulau ini adalah pendidikan. Fasilitas dan metode pendidikan di Maluku boleh dikata amburadul, jauh dari standar yang layak. Padahal dengan pola pendidikan yang bagus dan sistematis itulah yang sebenarnya akan menjadi ujung tombak untuk mengembangkan otak sebelah kiri dapat berjalan dengan baik.

Baca Juga  Gunakan Jetski Kapolda Menuju Tual dan Wilayah Terluar

Akibatnya, otak kanan bagus dan otak kiri tidak bagus, alias tidak ada keseimbangan antara otak sebelah kiri dan otak sebelah kanan inilah yang membuat orang Maluku kebanyakan mudah berimprovisasi, banyak bicara namun terkadang tidak sistematis. Ini namanya kewel menurut orang Maluku atau asmuni menurut orang Jawa dan Asbun menurut kebanyakan orang Indonesia.

DARI KEWEL MENJADI SUKA MEMBACA

Dengan mengetahui penyebab munculnya budaya kewel di Maluku, yang sejatinya merupakan potensi, maka upaya saat ini adalah mengendalikan budaya itu. Ini mesti dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan di Maluku, mulai dari fasilitas sampai metodenya.

Fasilitas antara lain gedung dan sarana prasarana serta guru-guru yang baik dan berkualitas. Metode pengajaran juga diperbaiki dengan menggunakan pendekatan yang dapat menggairahkan daya belajar siswa mapun mahasiswa, khususnya dalam liteasi atau budaya membaca.

Selain mutu dan fasilitas pendidikan yang perlu ditingkatkan, budaya membaca adalah salah satu lokomotif yang harus dihidupkan dan perlu terus digelorakan di Maluku. Hal ini juga menjadi indikator keberhasilan pembangunan.

Seperti Negeri Jiran Malaysia yang saat ini lebih maju, itu karena sejak lama mereka menjadikan “Bangsa Membaca Bangsa Berjaya” sebagai motto negaranya. Begitu pula dengan Jepang yang saat ini di kenal sebagai kampiun dibidang teknologi. Itu terjadi karena masyarakat Jepang sangat gemar membaca.

Ya, membaca sudah mendarah daging di Jepang. Urusan membaca mereka sangat unggul. Masyarakatnya tetap membaca walau berada di transportasi umum. Hampir tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi orang Jepang, dimanapun mereka selalu membaca.

Di Jepang ada juga Budaya Tachiyomi atau membaca gratisan di toko buku sambil berdiri. Buku-buku baru yang dipajang di rak yang biasanya disegel plastiknya, oleh mereka sengaja dibiarkan terbuka agar pengunjung mudah melakukan Tachiyomi.

Ada pula tradisi membaca 10 menit sebelum masuk kelas bagi siswa di sekolah. Ini diberlakukan sejak SD dengan reward dan punishment. Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama hingga membuat Jepang maju. Semua itu adalah contoh nyata, dengan demikian agar Maluku juga maju dan berjaya maka masyarakatnya harus gemar membaca dan mereduksi budaya kewel.

Dengan menjadi masyarakat gemar membaca dan kewel dikendalikan, maka akan melahirkan masyarakat Maluku yang produktif, seperti para tokoh Maluku di era pra dan pasca kemerdekaan. Sejarah telah mencatat tokoh-tokoh Maluku yang sukses di tingkat nasional maupun internasional karena kapasitas intelektual mereka.

Baca Juga  Maluku Butuh Arah dan Garis Sejarah yang Baru

EG.A. Siwabessy, mantan menteri kesehatan, ahli atom dan pendiri Badan Tenaga Atom Nasional. Siwabessy adalah intelektual nasional yang ketokohannya diakui oleh dunia internasional, dr. J.A. Latumeten ahli kesehatan bertaraf internasional, A.Y Patty tokoh pergerakan kebangsaan yang terkenal vokal dalam forum-forum nasional maupun internasional

Johannes Latuharhary yang merupakan menteri pada kabinet pertama Bung Karno. Perjuangan beliau adalah untuk persatuan nasional. Ia juga menjadi gubernur pertama Maluku. Terdapat pula tokoh-tokoh nasional lain seperti A.M Sangadji, penerbang Wattimena dan tokoh sejarah nasional yang juga dosen Universitas Indonesia Prof.Dr.R. Z. Leirissa. Dan tentu masih banyak lagi tokoh lainnya asal Maluku

Dengan demikian, jika ingin maju, angkatan muda Maluku saat ini mesti mencontoh perjuangan para tokoh-tokoh nasional itu. Mereka telah memberikan contoh belajar dengan keras untuk mengubah nasib bangsa ini.

Bukan dengan kewel. Kalaupun kewel, barangkali kewel yang masuk kategori ‘kewel positif’, terkendali, berbasis pada pengetahuan dan data, karena melewati proses pendidikan yang bagus dan berkualitas. Mereka para intelektual terdahulu itu berjuang bukan untuk kepentingan mereka, tetapi untuk negara dan bangsa serta demi kejayaan dan harga diri orang Maluku.

Penulis adalah Founder IndoEast Network