Dokumen Murkele: Fenomena Agama Nunusaku (?)

0
8849

Oleh: Elifas Tomix Maspaitella

1. Dari Mana Labelisasi itu?

Salah satu bukti pengaruh agama wahyu pada saat masuk ke suatu wilayah adalah pola identifikasi diri atau labelisasi yang bertahan puluhan bahkan ratusan tahun. Jangka waktu yang panjang itu membuat orang-orang setempat, yang semula menganut agama asli/agama suku, tidak hanya meninggalkan cerita-cerita mitos mereka, tetapi menjadikan mitos agama wahyu sebagai sesuatu yang ada di dalam kehidupan mereka.

Di Maluku, seperti salah satu tulisan saya, Solohua Kasale Patai, mitos gunung suci dianut oleh sebagian besar masyarakat. Salah satu gunung yang cukup kuat, dan menjadi situs pertumbuhan agama asli di Maluku Tengah adalah Gunung Murkele.

Kita akan menelisik lebih lanjut mitos Gunung Murkele. Tetapi ada satu fenomena yang memang mesti diklarifikasi, yakni semacam pola labelisasi atau identifikasi masyarakat penganut agama asli, terhadap mitos mereka, dengan mitos suci yang ada dalam cerita agama wahyu.

John Ruhulessin, dalam Disertasinya, menyebut bahwa “Puncak gunung Nunusaku, puncak gunung kosmik, tidak saja dilihat sebagai titik tinggi bumi, tetapi juga merupakan pusat, titik dimulainya penciptaan manusia pertama. Firdaus bagi manusia Maluku adalah Nunusaku. Nunusaku diidentikkan dengan gunung Ararat. Nunusaku dilihat sebagai tempat penghukuman terakhir, tempat dimana kebenaran setelah penghakiman”.

Pola identifikasi atau labelisasi itu memperlihatkan bahwa telah ada kontak yang cukup intens antara masyarakat penganut agama asli dengan para pekabar injil (Guru Djemaat) yang bertugas di pedalaman Pulau Seram.

Menariknya ialah kontak itu menanamkan suatu pola labelisasi, di mana masyarakat setempat mengkaitkan seluruh kerangka mitos, bahkan lokasi-lokasi sakral di wilayah mereka dengan mitos dan lokasi sakral dalam cerita Alkitab.

Apakah mereka merelokasi mitos dan lokasi sakral dalam cerita Alkitab ke dalam mitos dan wilayah mereka? Jika demikian, apakah relokasi itu dilakukan oleh mereka, atau para penginjil? Tujuannya sudah bisa kita duga, yakni proselitasi, agar penganut agama asli menganut Kristen; yang ternyata mengakomodasi mitos mereka itu. Jika demikian, di sini muncul Tesis baru, bahwa kontekstualisasi Injil telah dilakukan dengan jalan labelisasi, atau identifikasi, sehingga masyarakat setempat merasakan menjadi bagian dari komunias agama wahyu.

Baca Juga  BMKG Prediksi Cura Hujan Tinggi Di Wilayah Maluku

2. Gunung Murkele

Keterangan mengenai Gunung Murkele ini saya angkat dari sebuah buku “klasik”, yang ditulis Z.M.A. Matulessy, yaitu “Pandu Ringkasan/Cuplikan Sejarah Nusa Ina”. Pada Kata Pengantar, diketahui tulisan ini rampung pada 31 Agustus 1992.

Diceritakannya bahwa:

Murkele” atau “Nurkele“, adalah sebuah gunung suci yang dimiliki bangsa tertua asli Alifuru Ina, yang hidup di Nunusaku, atau pada kawasan dari Manusa Manuwei di Seram Barat sampai Manusela di Seram Tengah. Sebenarnya, ada dua gunung yang terkenal, yaitu Murkele dan Pinaia (atau Binaya).

Murkele sendiri berarti “besar”, atau “Cahaya Terbit” (dalam bentuk tegak). Tinggi gunung ini adalah 2.750M, letaknya 3010′ LS, 120027′ 10,4″BT.

Gunung ini, dalam hamana (tuturan sejarah) orang Alifuru Ina, disebut sebagai “gunung dunia bertangga sembilan”, dan dianggap sebagai gunung suci. Menurut kepercayaan Sima-sima, Nusa Ina dan seluruh dunia semula dikelilingi laut. Lalu muncul bukit Hoale, yang terlebih dahulu mengambil tempat di Murkele, karena bila telah meninggalkan Manusela, maka gunung suci itu hilang dari pemandangan.

Gunung dunia ini digambarkan terdiri dari sembilan kepingan silinder yang dari bawah ke atas semakin mengecil. Gunung dunia ini berbentuk bundar. Tangga keliling itu masing-masing merupakan lingkaran sejati yang tertutup. Para penganut Sima-sima menyebutnya “Ohe” (tangga), atau “ha lea” (tangga matahari) bila dihitung dari atas ke bawah.

Masing-masing tangga memiliki anak tangga tertentu, dan merupakan tempat kediaman roh tertentu pula. Gunung itu disebut kekal seperti UPUA (Upu El, Eli, Elo Lanite, Upu Kahuresi Leha Benua/Bewana = Allah yang Esa).

Puncak gunung ini disebut “Nia”, yaitu suatu pemukiman indah dan besar dengan banyak rumah, dihuni oleh jiwa-jiwa yang baik (seperti gambaran Surga). Di sana UPUA berada di tengah-tengah mereka di dalam sebuah rumah panggung yang besar dan bagus (semacam istana di pegunungan).

Di sana leluhur menempatkan batu Nisan, yang disebut “Nusa Ama”, artinya “Pulau Bapa” (3 SM).

3. Kekayaan Agama Asli dari Murkele

Pada 7 Desember 2008, saya diundang Klasis GPM Seram Utara- Wahai untuk menyampaikan Materi Analisa Sosial, dengan tujuan agar dalam Persidangan Klasis dan Persidangan Jemaat di Seram Utara-Wahai, ada gambaran (secara metodologis) bagaimana menghasilkan program pelayanan Gereja dengan mengacu dari Kebutuhan Jemaat.

Baca Juga  Gubernur-Ketua KPK Hadiri Rakor Perbaikan Tata Kelola Aset PT. PLN di Provinsi Maluku

Pada bulan 20 Januari 2009, rekan-rekan Pendeta di sana berangkat ke Jemaat Maraina untuk menghadiri Musyawarah Pimpinan Paripurna Daerah (MPPD) Angkatan Muda GPM; kemudian dilanjutkan ke Jemaat Manusela untuk Sidang Klasis.

Sekembali dari sana, Pdt. Jondry Paays, mengirimkan SMS bahwa dia memiliki sebuah dokumen klasik dari Murkele, ada kain lusuh yang bertuliskan tertentu, dan cerita mengenai Kematian Musa, Bukit Nebo, Bahtera Nuh, Dua Loh Batu (10 Hukum Taurat), dll. Saya menduga bahwa ada dokumen seperti naskah Nag Hamadi yang spektakuler itu. Padahal, saat Pdt. Paays ke Ambon (3 Februari), ternyata yang ditunjukkan kepada saya hanya foto yang diambil dengan Kameranya: XENOX S630/Samsung S630.

Disitu, ada beberapa foto yang menunjuk tentang Dokumen-dokumen Murkele itu,  antara lain :

a. Kain Kafan. Menurut tua adat setempat, kain itu adalah kain kafan. Mereka membangun sebuah rumah di badan Gunung Murkele untuk yang secara khusus sebagai tempat penyimpanan kain kafan itu. Hanya tua adat yang bertugas khusus menjaganya yang bisa masuk dan memegang kain kafan itu.

Setelah dilihat secara detail, tentu dari hasil jepretan itu, ada bagian yang bertuliskan tertentu. Jenis aksaranya agak sulit dipastikan. Dari buku Z.M.A. Matulessy yang saya sebutkan tadi, ada ragam abjad Nunusaku, tetapi cukup sulit untuk melihat kemiripannya dengan semacam tulisan pada kain kafan itu (lht. Foto Murkele, Abjad Kerajaan Nunusaku). Artinya, ini masih sebuah misteri, yang mungkin bisa menjelaskan suatu fenomena tertentu.

b. Dua Loh Batu.

Ada pula foto yang menurut masyarakat setempat adalah dua loh batu, tempat Musa menulis 10 Hukum Taurat. Menurut cerita Pdt. Paays, siapa pun yang mencarinya tidak akan menemukan, kecuali ditunjukkan oleh kepala adat. Ada ragam tulisan tertentu, berupa ‘garis-garis’, dan memerlukan penelitian lebih lanjut

c. Kuburan Musa. Seperti halnya 2 Loh Batu itu, hanya kepala adat yang bisa menunjukkan tempatnya pula, baru bisa dilihat oleh orang biasa lainnya. Jika mengikuti keterangan Matulessy tadi, lokasi ini mungkin ada di silinder yang kesekian dari Murkele, yang mereka sebut sebagai Bukit Nebo. Kabarnya, dari punggung bukit ini, terlihat kawasan pesisir yang terbentang jauh di kaki bukit.

Baca Juga  Penempatan Guru Jadi Problem Peningkatan Kualitas Siswa

d. Puncaknya atau Kawasan NIA Menurut keterangan mereka, terdapat Bahtera Nuh. Kepastian itu mereka yakni, sebab kabarnya pula di hutan di Kawasan Murkele itu terdapat pohon Gofir yang digunakan untuk membangun Bahtera itu. Selain itu, sejak lama, orang dibuat terpesona pula dengan beraneka ragam bunga, pohon- pohon, bahkan fauna yang memang tampak aneh, termasuk beberapa kupu-kupu yang cukup unik.

4. Fenomena Agama Nunusaku (?)

Di Pedalaman Pulau Buru, orang-orang gunung di kawasan Danau Rana, menyebut agama asli mereka dengan sebutan “Manuntut”. Apakah Agama Nunusaku itu adalah suatu bentuk agama asli di Pulau Seram? Memang selama ini, nama-nama agama asli itu sudah tidak diketahui secara umum lagi. Paling tidak, Kakehan, juga kita sebut sebagai sebuah persekutuan agama yang dianut orang-orang Wemale dan Alune di Pulau Seram.

Dalam tulisannya, “Tribal religions di Indonesia”, Waldemar Stohr, menjelaskan bahwa suatu kelompok etnik tidak saja dapat dipahami sebagai atau diidentifikasi sebagai suatu kelompok manusia yang memikirkan tentang mereka sendiri sebagaimana mereka ada, di mana ada kebudayaan, bahasa, keturunan. Lebih dari itu, suatu kelompok etnik adalah suatu jaringan, dari ikatan atau interelasi kehidupan, interelasi atau jaringan-jaringan yang meliputi dewa-dewa, spirit atau roh, tanah dan fenomena-fenomena lain dari lingkungannya.

Pencarian akan bentuk Agama Nunusaku itu memerlukan penelitian mendalam, sebab ia tidak hanya harus masuk ke tataran simbolik, atau semacam bentuk ritus, tetapi harus turut mempercakapkan apa yang disebut juga sebagai ultimate meaning.

Setidaknya, dokumen-dokumen Murkele ini menugaskan kita untuk menelusuri jejak-jejak agama asli dari beragam kekayaan simbolik yang masih terpelihara oleh sebagian komunitasnya.

Penulis adalah pendeta dan intelektual Maluku