JE Sahetapy tentang Kondisi Bangsa, Catatan Buya Syafii Maarif

0
1529

“Bahwa banyak orang yang bermuka merah akibat tonjokan Sahetapy, tentu semuanya itu adalah urusan mereka yang terkena tembak, bukan urusan si penembak.”

Jika kultur Indonesia (Mandar, Sulsel) Islam telah melahirkan seorang Lopa atau nama lengkapnya Profesor Dr Baharuddin Lopa (27 Agustus 1935-31 Juli 2001) sebagai pakar hukum dengan nyali rajawali, dari rahim kultur Indonesia (Saparua) Kristen telah muncul seorang Sahetapy dengan nama lengkap Prof Dr Jacob Elfinus Sahetapy, SH, MA (6 Juni 1932 –).

Lopa yang lebih muda telah pergi untuk tidak kembali dalam usia 66 tahun, sementara Sahetapy dalam usia menjelang 80 tahun masih tetap menerjang segala bentuk kebobrokan hukum dan politik Indonesia sampai detik ini. Kedua pakar hukum ini adalah manusia saleh menurut agamanya masing-masing. “Resonansi” kali ini akan memusatkan perhatian pada pandangan tajam dari anak bangsa kelahiran Saparua (Maluku) ini.

Sahetapy lahir dari seorang ibu bernama Constantina Athilda Tomasowa dengan ayah Aspenas Adriaan Sahetapy. Keduanya guru, tetapi Sahetapy harus mengalami broken home karena ibu dan ayahnya berpisah saat si kecil belum paham benar apa makna perceraian orang tua. Pernah terbesit niat untuk jadi pendeta, tetapi dilarang ibunya.

Karena harus menghadapi bermacam rintangan seperti pendaratan pasukan Jepang di Indonesia pada 1942, Sahetapy baru bisa menyelesaikan sekolah rakyat (SR) pada usia 15 tahun. Dari sang ibulah, Sahetapy mengenal apa makna nasionalisme dan apa pula arti pembelaan terhadap nasib rakyat kecil. Dengan demikian, peran ibu bagi Sahetapy demikian penting dalam pembentukan karakternya pada usia dini.

Kendala dalam perjalanan hidup Sahetapy datang silih berganti. Akibat pemberontakan RMS ( Republik Maluku Selatan), Sahetapy harus meninggalkan kampung halamannya untuk bergabung dengan abangnya, AJ Tuhusula Sahetapy, yang sudah berada di Surabaya. Di kota pahlawan inilah Sahetapy merampungkan pendidikannya sehingga mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Airlangga.

Baca Juga  Catatan Kritis Terhadap Opini WTP Pemerintah Provinsi Maluku

Ketika ada tawaran untuk jenjang S-2 di Amerika Serikat, Sahetapy memanfaatkannya untuk kuliah di Universitas Utah di Salt Lake City, Utah, dalam bidang hubungan bisnis dan industri. Pulang dari Amerika malah menjadi penganggur karena golongan kiri pada era Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966) menuduhnya sebagai agen Amerika, sebuah tuduhan yang dialami banyak tokoh ketika itu.

Setelah badai berlalu, Sahetapy kembali menjadi dosen di almamaternya. Pada 1979 bahkan terpilih menjadi dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Setahun sebelumnya, di universitas yang sama, Sahetapy telah mempertahankan disertasinya dengan judul Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana.

Sahetapy mempunyai karir cemerlang di ranah hukum dan politik, tetapi di atas itu semua, sahabat kita ini adalah seorang pendidik bangsa yang lurus, konsisten, dan tak punya rasa takut dalam menyampaikan pandangan dan pendapatnya. Di ranah birokrasi pernah membantu Gubernur Mohammad Noor di Jawa Timur sebagai anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian).

Dalam politik pernah menjadi anggota DPR mewakili PDIP. Sebagai pendidik pernah jadi guru besar tamu di Leiden dan Universitas katolik Leuven, Belgia. Keterlibatan dalam berbagai organisasi hukum dan kemasyarakatan domestik terlalu banyak untuk disebutkan disini. Karena itu, tak perlu direkamkan di sini. Kita langsung saja mengutip dan mengomentari pandangan-pandangannya tentang kondisi bangsa, hukum, dan politik yang semakin hari semakin parah.

Bahwa banyak orang yang bermuka merah akibat tonjokan Sahetapy, tentu semuanya itu adalah urusan mereka yang terkena tembak, bukan urusan si penembak.

Tentang masalah korupsi yang sudah menggurita, Sahetapy mengatakan ini, “Jangan menggunakan nama Tuhan [dalam melakukan korupsi]. Ada pepatah mengatakan, meskipun kebohongan lari secepat kilat, sewaktu-waktu kebenaran akan mengalahkannya. Ini bisa dilihat tahun 2014 atau tahun-tahun berikutnya.“

Baca Juga  Ketangguhan Mahina Matasiri, Cermin Masyarakat Adat yang Menjaga dan Merawat Kebudayaan

Bagi Sahetapy kebenaran tak mungkin dikalahkan selama-lamanya oleh kekuatan apa pun. Tertindas sementara bisa saja berlaku, tetapi ia akan muncul kembali untuk menghancurkan segala bentuk kepalsuan dan kebohongan. Keyakinan semacam ini sebenarnya bersifat universal, dapat ditemui pada semua unit peradaban sejak ribuan tahun lalu, tetapi mereka yang berakal singkat tidak mau hirau dengan fenomena yang pasti muncul sepanjang sejarah.

Komentar Sahetapy yang lebih baru berkaitan dengan BBM, “Para anggota DPR ini kenapa ribut-ribut, mengapa tidak membahas UUD 1945 Pasal 33 saja. Saya yakin ini semua, kenaikan BBM bersubsidi adalah per naikan BBM bersubsidi adalah per Illust mainan konglomerat hitam, termasuk orang bule untuk mengacau Indonesia.“ Terbaca di sini nasionalisme kental Sahetapy yang sudah dipompakan ibunya sejak usia kanak-kanak.

Jika tak salah, ungkapan “konglomerat hitam“ pertama kali dilontarkan oleh ekonom Kwik Kian Gie untuk menunjukkan kegeramannya atas kelakuan mereka yang tak punya malu merusak sendi-sendi keadaban dan moralitas bangsa Indonesia.

Lontaran Sahetapy yang lebih tajam lagi adalah dengan mengibaratkan Indonesia sebagai “Rumah Sakit Gila yang dihuni sebagian orang yang sudah `gila’ (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan). Sebagian penghuni sudah setengah `gila’ karena keinginan, ambisi yang ambisius tidak tercapai sehingga berperilaku dan berpikir yang tidak lagi rasional.“

Dilanjutkan dalam kalimat yang cukup menggelikan, “Rumah Gila itu terus diawasi oleh kekuatan besar yang telanjang. Dan Sang Raja, seperti dituturkan di dunia Barat, berkuda keliling tanpa busana, dan semua kawula tunduk dengan perasaan malu dan gemas. Raja mengira mereka menghormatinya, padahal mereka tunduk karena tidak sanggup melihat ketelan jangannya.“

Inilah cara pakar hukum Sahetapy dalam usia menjelang 80 tahun semakin geram dan prihatin menonton kelakuan buruk dan busuk yang tengah berlangsung dengan semarak dan telanjang di teater politik dan hukum Indonesia. Di mata Sahetapy, moralitas dan fatsun politik sudah “hilang tak berbekas seperti disambar kilat.“

Baca Juga  Malu-Malu Tapi Mau Menuju Pilkada Malteng

Untuk mengukuhkan dasar pendapatnya, Sahetapy tidak lupa mengutip ungkapan bersayap Mahatma Gandhi yang legendaris itu, “The things that will destroy us are politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, science without humanity, and worship without sacrifice.“

(Saya terjemahkan: “Hal-hal yang akan mengembalikan hancurkan kita adalah politik tanpa prinsip, kesenangan tanpa suara batin, kaya tanpa kerja, pengetahuan tanpa karakter, ilmu tanpa kemanusiaan, dan pemujaaan tanpa pengorbanan).

Sebagian besar butir-butir ini tidak sukar untuk didapatkan dalam perpolitikan dan di ranah hukum Indonesia sekarang ini.

JE Sahetapy menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris (aktif), bahasa Jerman dan bahasa Perancis (pasif). Dengan modal bahasa yang kaya ini, Sahetapy punya akses yang luas terhadap khazanah ilmu dan peradaban, sebuah modal yang tidak dimiliki oleh sebagian besar pakar hukum Indonesia.

Akhirnya, kita tentu sangat beruntung punya seorang Sahetapy di saat dinding-dinding kekuasaan tidak lagi bisa ditembus oleh kata-kata kiasan yang sarat simbol, pakar hukum kelahiran Saparua ini telah menembusnya dengan bahasa langsung, tajam, dan tepat mengena sasaran. Dalam usia yang sudah lanjut itu, Sahetapy tetap garang karena “urat takutnya sudah lama putus.“

Maka, tidak salah jika publik menyebutnya sebagai “penjaga nurani hukum dan politik“ Indonesia. Selamat berulang tahun ke-80, Profesor!

Tulisan Buya Syafii Maarif ini turut menandai ulang tahun ke-80 Prof.Sahetapy. Sumber Koran Republika, Selasa, 8 Mei 2012