“Lembaga perwakilan rakyat di berbagai tingkatan adalah hasil dari proses demokrasi prosedural. Tapi bicara demokrasi, tentu tidak saja membahas soal pemilu legislatif dan pemilihan presiden serta kepala daerah semata, tapi juga terkait dengan demokrasi yang lebih substantif.”
Oleh: Fatzah Tuankotta
Diberi amanah sebagai Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah tentu merupakan satu tanggungjawab besar. Karena memimpin suatu lembaga legislatif yang punya kewenangan strategis: legislasi, budgeting/anggaran dan pengawasan di level kabupaten.
Tentu saja ada berbagai dinamika dan pengalaman baru yang didapat selama memimpin lembaga tersebut sejauh ini. Namun ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan, setidaknya sebagai bahan bacaan untuk kedepan, lembaga perwakilan rakyat dapat tampil dengan kinerja yang lebih baik.
Lembaga perwakilan rakyat di berbagai tingkatan adalah hasil dari proses demokrasi prosedural. Tapi bicara demokrasi, tentu tidak saja membahas soal pemilu legislatif dan pemilihan presiden serta kepala daerah semata, tapi juga terkait dengan demokrasi yang lebih substantif.
Substantif yang dimaksudkan disini meliputi sejumlah variabel, terutama yang terkait terpenuhinya kebebasan sipil-politik, termasuk didalamnya adalah partisipasi. Cakupan yang pencapaiannya bisa dilihat dari berbagai hasil pemeringkatan atau penelitian.
Bila mau berkaca dari hasil Indeks Demokrasi Indonesia 2018, secara Nasional terlihat bahwa tiga dari empat variabel pada Aspek Kebebasan Sipil memiliki capaian indeks dengan kategori BAIK, yaitu: Kebebasan Berkumpul dan Berserikat (82,35); Kebebasan Berkeyakinan (82,86); dan Kebebasan dari Diskriminasi (91,77).
Hanya Variabel Kebebasan Berpendapat yang berada pada kategori SEDANG dalam capaian indek pada tahun 2018, yaitu 66,17. Namun pada sisi lain, capaian indek Variabel Partisipasi Politik dalam Pengambilan Keputusan dan Pengawasan (pada aspek Hak-hak Politik), berada pada kategori BURUK, yaitu hanya sebesar 54,28.
Penyebab utama dari masih buruknya kinerja Partisipasi Politik masyarakat tersebut adalah, karena sebagian besar masih diekspresikan melalui Demonstrasi/Mogok yang Bersifat Kekerasan. Capaian skor indikator ini pada tahun 2018 hanya sebesar 30,37 (sangat BURUK).
Sedangkan kekerasan tidak akan terjadi kalau fungsi Parlemen sebagai komunikasi politik berjalan. Kita bisa lihat bagaimana peran lembaga legislatif terhadap pembuatan regulasi yang dianggap kerap kali tidak mengajak rakyat untuk terlibat, pada sisi yang lain ketika kualitas sebuah kebijakan dipertanyakan, pemerintah justru tidak bisa memberikan alasan yang mendukung.
Itu artinya, dinamika aspirasi publik yang mengemuka, seperti demonstrasi yang sering kita saksikan terjadi di mana-mana, bisa menjadi bukti kalau memang ini bayaran yang mahal atas demokrasi itu sendiri. Sesuatu bisa dihindari andaikata dewan perwakilan rakyat secara kelembagaan di berbagai tingkatan, melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat dengan baik, sebagai jembatan aspirasi publik.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi setiap wakil rakyat yang telah dipilih oleh rakyat dalam mekanisme prosedural lewat pemilu. Wakil rakyat dituntut untuk bisa membaca aspirasi yang berkembang di masyarakat, untuk kemudian ditindaklanjuti dalam pengambilan keputusan bersama pemerintah atau eksekutif.
Dalam konteks lebih jauh, kendati secara prosedural, Indonesia telah cukup berhasil dalam menyelenggarakan pemilu, misalnya. Tetapi vote yang telah dihasilkan melalui setiap pelaksanaan pemilu tersebut, kadang tidak berbanding lurus atau belum menghasilkan voice atau aspiratif pada pasca pemilu karena lemahnya peran lembaga representatif.
Dalam narasi yang lebih lugas, kecenderungan ini dapat dilabeli dengan terminologi vote minus voice. Data IDI 2018 cenderung mengkonfirmasi kecenderungan ini, yang dapat diartikan bahwa hasil demokrasi pada tahap prosedural belum terjawab pada aspek demokrasi yang substantif.
Misalnya, konsistennya capaian indeks variabel pemilu yang bebas dan adil dengan kategori baik (95,48) tentu mengindikasikan bahwa secara prosedural Indonesia relatif telah berhasil menyelenggarakan pemilu yang demokratis sebagai sarana untuk menuai suara. Begitu pula dalam sejumlah capaian variabel lainnya.
Konsistennya capaian indeks variabel: Hak Memilih dan Dipilih pada kategori Sedang (75,77); dan Pemilu yang Bebas dan Adil dengan kategori baik (95,48), mengindikasikan bahwa secara prosedural Indonesia relatif telah berhasil menyelenggarakan Pemilu sebagai sarana untuk menuai vote.
Tetapi, pada sisi lain, fakta masih tetap buruknya capaian indeks variabel: Peran DPRD (58,92), mengisyaratkan bahwa sejatinya lembaga representatif masih lemah dalam menjalankan fungsinya, sehingga vote yang dihasilkan pada saat Pemilu tidak banyak terealisasi menjadi voice pada pasca Pemilu.
Hal ini ditunjukkan oleh, antara lain, konsistennya capaian skor dengan kategori buruk pada indikator: Perda Yang Berasal Dari Hak Inisiatif DPRD (40,35); dan Rekomendasi DPRD Kepada Eksekutif (20,80). Lantas bagaimana melihat indikator keberhasilan DPR? Jika mau jujur, realitasnya, masih kurang adanya check and balance di pemerintah, ditandai dengan tidak adanya kekuatan di oposisi.
Kurang adanya fungsi pengawasan yang membuat sistem pemerintahan kelihatan berjalan hanya sesuai keputusan pemerintah (eksekutif). Pada konteks yang lebih luas, data IDI tersebut, secara implisit mengindikasikan bahwa reformasi politik yang berlangsung sejauh ini, baru sampai pada upaya menghadirkan Lembaga Demokrasi.
Sementara, upaya penguatan kapasitas yang semestinya dimiliki agar dapat menjalankan fungsi institusi, relatif kurang mendapat perhatian yang serius. Atau dengan kata lain, reformasi institusi demokrasi sejauh ini masih lebih ditujukan pada upaya membangun “Citra Demokrasi” (Democratic Image).
Itu artinya, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Semua itu tergantung pada semua elemen demokrasi, seperti partai politik, pemilih utamanya organisasi masyarakat sipil, termasuk pula kami sebagai wakil rakyat, yang telah dipilih lewat mekanisme demokrasi prosedural.
Catatan singkat ini menjadi bahan reflektif untuk kita semua, sebagai warga negara, dalam melihat dan memaknai proses-proses demokrasi selanjutnya di masa-masa mendatang. Sehingga demokrasi tidak saja prosedural, tapi membawa perubahan dan kebaikan bagi masyarakat secara luas.
Penulis adalah Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Periode 2019 – 2024 dan anggota Dewan Pakar Kesatuan Masyarakat Adat Matasiri (Kemasama)