“Pemerintah Kota Davao sepertinya menyadari betul pentingnya pariwisata bagi pendapatan kota, karenanya mereka memastikan Davao aman bagi para wisatawan. Menjadikan Davao berbeda dengan kota-kota lain, khususnya di Pulau Mindanao yang memang kerap dilanda konflik selama puluhan tahun”
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
Menghadiri Business Leaders Conference yang diadakan di Davao, Filipina, mengantarkan saya ke kota wisata itu. Setelah sebelumnya dari Jakarta transit di Kuala Lumpur dan Manila, saya dan rekan-rekan delegasi dari Indonesia tiba di Francisco Bangoy International Airport.
Davao adalah kota terbesar dan ibu kota utama di Pulau Mindanao. Kota ini merupakan pusat regional Region Davao. Saat memasuki bandaranya yang bersih, aroma wisata sudah terasa, berbagai cinderamata dan travel agent berjejer menawarkan jasa, menjadi pertanda itu.
Sebagai daerah destinasi wisata di Filipina, Davao adalah kota yang tak pernah tidur. Layaknya Bali, pariwisata telah menjadi andalan kota ini, tersedia berbagai fasilitas bagi wisatawan. Restoran, kafe, klub malam, live music, gym dan spa buka hingga pagi hari. Mungkin karena nyaman dengan biaya hidup yang tergolong murah, Davo terus maju menjadi kota wisata yang menjanjikan.
Pemerintah Kota Davao sepertinya menyadari betul pentingnya pariwisata bagi pendapatan kota. Karenanya mereka memastikan Davao aman bagi para wisatawan. Menjadikan Davao berbeda dengan kota-kota lain, khususnya di Pulau Mindanao yang memang kerap dilanda konflik selama puluhan tahun.
Guna menjaga dan menjamin keamanan, kepolisian di Davao hingga membentuk Davao Death Squad (DDS). Sebuah unit khusus polisi yang dibentuk untuk mencegah kejahatan, premanisme dan gangster di Davao. DDS bahkan diberikan kewenangan untuk menembak di tempat orang-orang yang dianggap preman dan meresahkan atau gangster yang mengganggu keamanan dan ketertiban.
Tak heran, bila Davao kemudian menjadi salah satu kota yang relatif aman. Davao menampilkan wajah yang lebih ramah dari daerah-daerah lain di Filipina. Mungkin karena itu pula kegiatan internasional di negara petinju Manny Pacquiao itu, banyak yang dilaksanakan di Davao.
Seperti biasa, saat berkunjung ke berbagai kota dan negara, khususnya dikawasan ASEAN, jalan-jalan di malam hari bersama para peserta lain, sekadar mencari tempat makan atau wisata kuliner yang enak, sudah menjadi jadwal utama. Apalagi di Davao, kendaraan umum tersedia 24 jam.
Tranportasi yang ada mulai dari tricyle (sepeda motor beroda tiga yang dimodifikasi menjadi angkutan umum), taksi hingga angkutan umum. Apalagi Luxury Hotel tempat kami tinggal berada dipusat kota, memudahkan kami untuk menjangkau berbagai lokasi di kota itu.
Salah satu tempat favorit para wistawan adalah Tores Road, yakni pusat hiburan malam di Davao, semua fasilitas hiburan tersedia. Ada pula kawasan red district, yakni San Pedro Road, di sini pengunjung bisa dengan mudah menemukan bar-bar yang menawarkan hiburan dengan harga terjangkau khususnya buat turis kelas backpacker.
Harga makanan dan minuman di Davao juga tidak terlalu mahal, berada dalam kisaran 40-300 Peso atau 11.000-70.000 Rupiah. Dengan modal 150 Peso, sudah bisa makan dan minum dan menikmati musik sepanjang malam.
Biaya hidup di Davao juga tidak terlalu jauh berbeda dengan sejumlah kota di Indonesia. Misalnya untuk biaya laundry, hanya 20-30 Peso per kilo, sementara tarif internet hanya dikisaran 10 Peso per jam.
Tapi yang menjadi penting dan menarik dari catatan perjalanan kali ini adalah, kota yang terkenal dengan buah-buahan dan makanan lautnya ini, benar-benar menjadikan hal itu sebagai potensi dan produk unggulan. Tak heran bila oleh-oleh utama yang mau dibawa dari Davao adalah makanan berbahan dasar buah dan hasil laut.
Manisan mangga misalnya, bisa dibuat dalam kemasan yang mudah ditenteng dan rasanya tetap sama seperti buah yang baru dipetik dari pohon. Bagitu pula dengan berbagai jenis ikan dan cumi yang telah diawetkan dan dikemas dengan bagus serta enak ditenteng.
Buah durian dan manggis yang memang banyak di Davao, juga diolah dan diberi kemasan yang siap dibawa wisatawan. Andaikan berbagai kota di Indonesia, seperti Kota Ambon yang bila musim buah tiba, buah kerap tak ada harganya dan dijual murah, belajar dari Davao tentu bisa menjadi solusi.
Ada lagi yang tak boleh ketinggalan bila ke Davao, adalah mencicipi salah satu kuliner khas-nya, yaitu Kinilaw Na Tuna. Ikan tuna yang sebelum disajikan, dipotong dan dibentuk seperti kotak dadu dan bumbunya terdiri dari rempah-rempah. Kuliner khas Davao ini dapat ditemukan di berbagai restoran di kota itu.
Hal lainnya yang menarik adalah, adanya regulasi berkendara pada pagi hari. Yakni dari pukul 06.00 hingga 10.00 semua kendaraan bermotor tidak diperbolehkan memacu kendaraannya lebih dari 20 KM per-jam. Sekalipun jalan dalam keadaan sepi. Ini tentu regulasi yang penting untuk mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas.
Mungkin karena sudah terbiasa, sehingga tidak menjadi persoalan bagi masyarakat setempat. Pada suatu pagi, saat buru-buru dan tak mau terlambat sampai ke lokasi conference, sopir taksi yang kami tumpangi sempat saya arahkan untuk lebih kencang membawa mobilnya, tapi sopir itu menolak, karena menurutnya, hal itu melanggar peraturan di kota itu.
Sepertinya, oleh-oleh khas Davao dari buah-buahan dan berbagai jenis ikan yang diolah dan dikemas dengan baik, serta peraturan berkendara yang dapat meminimalisir kecelakaan di jam-jam tertentu dapat diadopsi di tanah air. Khususnya di Kota Ambon yang sedang berbenah menjadi kota musik dan wisata, namun masih tinggi angka kecelakaan lalu lintasnya ini.
Selain terkenal sebagai kota kuliner laut dan buah-buahan, Davao juga dikenal memiliki bangunan dan budaya warisan dari Spanyol. Sehinga saat malam tiba, wisatawan akan disuguhi konser musik bergaya Spanyol di beberapa sudut kota oleh para seniman lokal.
Ada pula tempat di mana turis dapat melihat hasil karya para seniman Filipina, yaitu People’s Park. Di taman seluas empat hektar ini terdapat puluhan patung yang menggambarkan leluhur penduduk asli Davao.
Kota ini juga memiliki wisata alam yang tidak kalah menarik, yakni gunung Apo. Pemandangan alam di sekitar gunung itu, menjadi daya tarik bagi wisatawan dan para pecinta alam. Begitu pula bila ingin mempelajari atau melihat sejarah dari kota itu, bisa berkunjung ke Museum Davao yang buka dari pagi hingga sore hari.
Dari pihak hotel, saya dapat informasi bahwa waktu yang tepat untuk berkunjung ke Davao adalah pada bulan Agustus. Karena di bulan itu, setiap tahun pemerintah kota menyelenggarakan pesta rakyat, Kadayawan Festival.
Dalam festival itu dapat disaksikan berbagai pertunjukan, diantaranya seni tari, drama, musik, dan parade bunga. Di seputaran Davao ada pula sejumlah destinasi wisata yang tak kalah menarik untuk dikunjungi seperti Boracay, Chocolate Hills, dan Gereja San Agustin.
Menyaksikan suasana dan kemajuan di Davao, sebagai seorang putra timur, saya membayangkan Kota Ambon, dan juga kota-kota lain di Indonesia timur, seperti Ternate, Sorong, Jayapura dan lainnya, mestinya bisa dikelola seperti Kota Davao ini. Kota-kota ini memiliki potensi yang sama besar.
Ambon misalnya, selain banyak destinasi pantai yang menarik, buah durian dan gandaria yang melimpah ada musimnya, bisa diolah dan diberi kemasan yang menarik, temasuk berbagai jenis ikan atau hasil laut. Dengan begitu industri rumahan atau home industry tentu akan tumbuh dan berkembang.
Museum Siwalima pun bisa dijadikan ikon wisata, begitu pula wisatawan pecinta alam juga bisa dibuatkan jalur pendakian yang aman dan nyaman ke Gunung Salahutu, atau beberapa puncak ketinggian di Pulau Ambon. Pattimura Park dan Pantai Losari atau Mardika bisa dijadikan pusat seni dan kerativitas anak-anak muda.
Teluk Ambon pun dapat dikelola dengan optimal. Misalnya ada restoran terapung di atas Kapal Ferry yang mengitari teluk, serta Jembatan Merah Putih disediakan fasilitas bungee jumping dan flying fox sports. Semua ini mungkin saja dilakukan bila ada kemauan yang kuat dari berbagai elemen, pemerintah dan masyarakat.
Penulis adalah Direktur Beta Kreatif