Oleh: Muhammad Faisal Saihitua
Sungguh menarik perhatian publik saat raksasa perusahaan digital Tiongkok, Bytedance, mengakuisisi 75 persen saham raksasa e-commerce Indonesia, Goto. Saham mayoritas yang diperoleh oleh Bytedance memberinya kuasa penuh untuk mengontrol jalannya bisnis e-commerce Goto di Tanah Air.
Bytedance bukanlah pemain biasa dalam dunia digitalisasi. Mereka memiliki platform media sosial TikTok yang sangat populer dan digandrungi oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Menurut data yang dirilis oleh We Are Social, pengguna TikTok di Indonesia hingga akhir tahun 2023 mencapai 106,51 juta orang. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh salah satu raksasa perusahaan digital terbesar asal China ini dalam melakukan ekspansi bisnisnya.
Selain gemar beraktivitas di media sosial, masyarakat Indonesia juga gemar melakukan belanja online. Data dari Statistic Market Insight mencatat angka aktivitas e-commerce atau belanja online di Indonesia mencapai 178,94 juta pengguna pada tahun 2022.
Meningkat sebesar 12,79 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 158,65 juta pengguna. Angka ini mendorong TikTok untuk meluncurkan TikTok Shop pada 17 April 2021, dan hasilnya penjualan pada platform ini sangat signifikan. Menurut Momentum
Works, pada tahun 2022, TikTok Shop menguasai 4,4 persen dari total pangsa pasar e- commerce di Asia Tenggara. Keberadaan TikTok Shop ini kemudian menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Hal ini wajar mengingat fenomena aktivitas ekonomi yang mencengangkan. Terlebih, sebuah platform media sosial seharusnya tidak dapat melakukan aktivitas jual beli secara langsung di platform tersebut.
Perihal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa media sosial hanya boleh digunakan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa, bukan untuk transaksi langsung.
Selain Permendag Nomor 50 Tahun 2020, melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), TikTok Shop resmi menutup layanan penjualannya pada 4 Oktober 2023.
Hal ini memiliki dampak pada dua sisi yang berbeda. Secara regulasi politik dan hukum, Pemerintah berhasil menegakkan keadilan dan kesetaraan ekonomi, namun disisi ekonomi, masyarakat dan pelaku ekonomi UMKM yang mendapatkan manfaat dari platform ini justru mengeluhkan keadaannya.
Dari perspektif keilmuan, hal ini dikenal dengan konflik antara teori keadilan distributif dan respons individu terhadap insentif ekonomi.
Menurut John Bordley Rawls, seorang filsuf moral dan politik Amerika dalam karyanya, A Theory of Justice, keadilan sosial adalah ketika ketidaksetaraan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika hal itu memberikan keuntungan kepada seluruh masyarakat, terutama yang paling rentan atau kurang beruntung.
Dalam konteks pemerintah menegakkan keadilan dan kesetaraan ekonomi, Rawls berpendapat bahwa tindakan tersebut harus menguntungkan sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah.
Dalam kasus di mana platform penjualan yang memberikan manfaat kepada pelaku ekonomi UMKM ditutup sebagai bagian dari upaya untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan ekonomi, hal ini dapat menimbulkan keluhan dari pelaku ekonomi yang terkena dampak penutupan platform. Situasi ini mencerminkan konflik antara keadilan distributif secara sosial dan kebutuhan ekonomi individu.
Konflik semacam ini juga dapat dipahami melalui perspektif ekonomi perilaku atau teori responsif ekonomi terhadap insentif. Ekonom seperti Richard Thaler dan Daniel Kahneman telah mengembangkan teori perilaku ekonomi yang menunjukkan bahwa individu tidak selalu bertindak secara rasional sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka.
Fenomena ini bagaikan berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, keadilan ditegakkan, namun di sisi lain, arus pertumbuhan ekonomi terbendung. Bagaikan aliran air, momentum ekonomi selalu menemukan jalannya.
Setelah Bytedance melalui platform TikTok Shop berhenti melakukan aktivitasnya, terdapat peluang bisnis yang terbuka lebar. Keadaan ini memantik perhatian raksasa e-commerce Indonesia, Goto. Goto menawarkan 50 persen saham kepada Bytedance, angka ini melebihi proposal Bytedance yang hanya sebesar 10 persen.
Isu ini kemudian menjadi sorotan publik, dimana terdapat kekhawatiran apabila pihak asing memiliki saham yang besar dan bisa dengan leluasa melakukan kontrol terhadap sumber daya yang ada di dalamnya.
Indonesia memiliki potensi talenta digital yang sangat mumpuni. Goto merupakan hasil merger antara dua startup raksasa yang sudah masuk dalam kategori unicorn, yakni Gojek dan Tokopedia.
Hal ini tidak terwujud tanpa melalui proses yang sulit dan panjang. Selain proses tersebut, sebuah ekosistem digital tidak dapat lepas dari ketersediaan talenta digital atau sumber daya manusia (SDM).
Talenta emas Indonesia memberikan harapan baru bagi bangsa dalam mengembangkan dan mencapai kejayaan ekonomi digital Indonesia di momentum Indonesia Emas tahun 2045.
Goto merupakan ‘mahakarya’ dari talenta emas Indonesia. Ini merupakan hasil karya yang patut dijaga dari sisi kedaulatan ekonomi dan dikembangkan dari sisi edukasi teknologi. Namun, harapan bangsa saat ini ‘terganggu’ dengan kehadiran Tik Tok atau Bytedance sebagai pemilik mayoritas sahamnya.
Sederet kekhawatiran pun muncul, bukan hanya sebatas terganggunya talenta digital Indonesia yang akan berkembang, namun juga kedaulatan negara menjadi kekhawatiran terbesar.
Shoshana Zuboff, seorang profesor, psikolog sosial, filosof, dan cendekiawan Amerika dalam bukunya, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power, mengatakan bahwa data merupakan elemen penting.
Zuboff berargumen bahwa kapitalisme pengawasan adalah bentuk baru dari kapitalisme yang bergantung pada pengumpulan dan analisis data pribadi untuk memprediksi dan memengaruhi perilaku manusia.
Dia menyarankan bahwa kapitalisme pengawasan merupakan ancaman terhadap otonomi manusia, privasi, dan demokrasi. Oleh sebab itu, suatu negara perlu menjaga kedaulatan negara melalui sumber daya yang paling vital.
Menjaga kedaulatan data membutuhkan peran yang signifikan dari berbagai stakeholder, baik Pemerintah, pelaku usaha, maupun peran berbagai elemen masyarakat, yang masing-masing memiliki peran yang saling menguatkan.
Aristoteles memandang negara sebagai entitas yang seharusnya menciptakan kondisi yang memungkinkan individu untuk mencapai kebahagiaan dan keadilan. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan ekonomi.
Sementara Adam Smith, yang dikenal sebagai bapak ekonomi modern, dalam karyanya, The Wealth of Nations, menyatakan bahwa negara seharusnya tidak terlibat secara langsung dalam bisnis atau mengendalikan ekonomi, tetapi seharusnya memberikan kerangka hukum dan aturan yang memastikan persaingan yang sehat dan melindungi rakyat dari eksploitasi.
Dua pendekatan baik klasik maupun modern yang memberikan landasan filosofis dalam memahami peran negara dalam kehidupan ekonomi.
Pada akhirnya, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap perlindungan data pribadi. UU no. 27 tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi perlu diaktualisasi dan disinkronisasi dengan baik melalui harmoni trias politika eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Negara harus menciptakan rasa aman bagi rakyat terutama dalam aktivitas ekonomi digital. Peluang bisnis dan pertumbuhan ekonomi yang terbuka lebar harus tetap berada pada koridornya.
Penulis adalah pengamat industri digital dan Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)