“Saya membayangkan satu saat nanti, ada hari khusus makan Papeda atau Papeda Day. Satu hari dalam seminggu yang disepakati untuk semua rumah warga, termasuk tempat makan atau restoran wajib menghidangkan Papeda sebagai menu utama.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Satu hasil riset dari Universitas Pattimura yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp oleh seorang rekan dosen dari kampus itu, memperlihatkan kondisi ketahanan pangan di Maluku mulai mengkhawatirkan. Salah satu temuan menarik adalah karena makin hilangnya ‘selera’ atau minat masyarakat terhadap Sagu atau Papeda.
Makanan yang pernah menjadi menu utama ras Melanesia di Indonesia itu makin tergerus posisinya. Bila dulu saban hari orang Maluku makan Papeda, sedangkan nasi hanya mungkin seminggu sekali, sekarang berbalik, Papeda seminggu sekali, bahkan mungkin lebih jarang lagi.
Sejumlah anak muda Maluku bahkan mengaku sudah tak biasa makan Papeda. Hal ini antara lain juga dipengaruhi oleh hilangnya kebiasaan makan Papeda di rumah-rumah. Sebelumnya makanan pokok, sekarang hanya jadi makanan khas.
Satu ketika di restoran yang menyediakan makan khas Maluku, satu keluarga sedang duduk makan. Ada Papeda satu Sempe (baki besar dari tanah liat) juga turut dihidangkan, saat ibu dari keluarga itu hendak bale (menuangkan) Papeda ke piring putranya yang duduk paling pojok, terdengar suara, “Mama ni beta su bilang seng makan Papeda, paksa tarus, beta gali”.
Ekspresi yang dalam kadar yang lebih rendah mungkin pernah kita dengar atau saksikan terjadi di sekeliling kita, bahkan mungkin dilingkungan keluarga sendiri. Satu fenomena yang terjadi bukan serta merta, namun karena memang Sagu atau Papeda telah lama dimarginalkan.
Dalam konteks tertentu Sagu atau Papeda kadang dianggap sebagai makanan kelas dua, jatuh gengsi bila ada di atas meja makan dan orang lain sampai tahu. Sebaliknya di sejumlah keluarga, terutama yang pra sejahtera, nasi atau beras bila menjadi hidangan makan keluarga, dianggap sebagai prestise.
Ada cerita, satu keluarga kedatangan tamu, pas akan makan siang, sang tamu diajak makan, sebelum tamu ikut ke ruang makan, istri dari tuan rumah buru-buru bilang anaknya gadisnya yang lagi berdiri di depan meja makan, “Nona, angka Papeda tuh ka balakang, nanti orang lia katong kaya orang susah saa”.
Pernah pula, ini pengalaman waktu kecil, saat teman bermain sedang kumpul, ada yang sengaja menarik perhatian dengan menempelkan biji nasi di pipi atau dagu, lalu kemudian pura-pura tidak tahu. Nanti kalau ada yang mengingatkan, “Woe ada biji nasi di se pung dagu tuh ee”. Baru dagunya dilap dengan tangan sambil bilang, “Iyo ee ada nasi”. Menunjukan betapa bangganya makan nasi waktu itu.
Fenomena ini barangkali adalah semacam culture shock, hingga masyarakat menempatkan beras atau nasi lebih unggul dibandingkan Papeda dan tanaman umbi-umbian, yang sejatinya telah lama menjadi penyokong ketahanan pangan di Maluku, khususnya orang Melanesia. Proses ‘jawanisasi pangan’ yang terus bergulir hingga hari ini.
Padahal belajar dari tempat atau negara lain entitas pangan lokal kerap dijadikan dan diposisikan secara ‘terhormat’, menjadi menu makan yang membanggakan. Saya sendiri punya pengalaman yang berkesan dengan Papeda, dalam kesempatan di Brunei Darussalam.
Waktu itu dalam satu konferensi, tuan rumah menjamu peserta makan siang di salah satu komplek pertokoan di Bandar Seri Begawan. Katanya kami akan makan makanan spesial khas negara itu, dan ternyata hidangan spesial itu adalah Papeda.
Iya, kami ramai-ramai makan Papeda. Makanan khas Indonesia timur yang terbuat dari endapan tepung Sagu ini ternyata juga adalah makanan khas Brunei. Tapi punya istilah atau nama yang berbeda, di Brunei, Papeda disebut Ambuyat.
Ambuyat adalah makanan tradisional yang bukan hanya digemari oleh masyarakat atau penduduk setempat, namun juga banyak diminati oleh para turis yang berkunjung ke Brunei. Sampai-sampai ada istilah, tak lengkap rasanya ke Brunei kalau belum mencicipi hidangan yang satu ini.
Sama seperti Papeda, Ambuyat sebelum dihidangkan digulung untuk kemudian dicampurkan dengan sup ikan dan juga sambal. Rasanya benar-benar lezat, terlebih lagi bagi yang memiliki hobi makan makanan pedas.
Hal yang membuat Ambuyat unik adalah cara menyantapnya. Karena kita harus mengaduk dan menyendokkan bubur sagu tersebut menggunakan sumpit kayu atau bambu tebal yang di Brunei disebut Candas.
Alat ini di Maluku mirip atau disebut Gata Gata. Namun di Maluku hanya untuk mengaduk dan menuangkan Papeda ke piring, sementara di Brunei Candas dalam bentuk yang lebih kecil digunakan pula untuk mengait Papeda dari piring ke mulut.
Melihat bagaimana Ambuyat diperlakukan istimewa di Brunei, terbersit pemikiran atau obsesi kalau Papeda juga mesti dikemas dan diposisikan sebagai makanan yang istimewa pula, terutama di Maluku. Apalagi kalau makan Papeda juga dilengkapi dengan Candas atau Gata Gata kecil, biar terlihat lebih gaya.
Saya membayangkan satu saat nanti, ada hari khusus makan Papeda di Maluku. Satu hari dalam seminggu yang disepakati untuk semua rumah warga, termasuk tempat makan atau restoran wajib menghidangkan Papeda, atau makanan utama yang dimakan hari itu berbahan dasar Sagu.
Ini dapat menjadi langkah penting dan strategis, selain menghidupkan kembali pangan lokal yang dapat berkontribusi positif terhadap ketahanan pangan. Juga menjadi solusi atas ketergantungan warga terhadap beras atau nasi.
Selain ada hari makan Papeda, atau Papeda Day, semua instansi pemerintah yang mengadakan acara atau kegiatan, juga wajib menjadikan Papeda sebagai menu utama. Bahkan setiap tahun ada Festival Papeda, di mana dalam festival tersebut warga bisa berbondong-bondong datang membawa berbagai panganan berbahan dasar Sagu, untuk dilombakan dan dimakan bersama, seperti Makan Patita.
Bila ide ini berjalan, sehingga Papeda diangkat lagi dan menjadi kegemaran masyarakat, –tidak seperti fenomena saat ini kerap dianggap makanan pinggiran– tentu ekonomi warga juga ikut tumbuh dan berkembang. Hutan-hutan Sagu yang selama ini seperti tak bernilai, akan menjadi sumber ekonomi warga, seiring tingginya permintaan pasar.
Makin positif tentunya, karena Papeda atau Sagu juga dikenal memiliki kandungan nutrisi yaitu karbohidrat murni, masuk dalam kategori makronutrien yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah banyak. Sebagai bahan energi dan fungsi otak.
Papeda atau Sagu diketahui mengandung lemak jenuh yang rendah. Juga tak membutuhkan pupuk kimiawi sehingga tergolong makanan organik yang sehat dan ramah lingkungan.
‘Gengsi’ Papeda juga bukan hanya soal makanan, tapi juga tradisi. Sebagai bagian dari khasanah bahan pangan lokal, Sagu memiliki nilai budaya, nilai ekonomi, nilai solidaritas, hingga nilai konservasi. Makanan di era kekinian memang bukan lagi sebuah produk yang anonim; makanan mencerminkan hubungan ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.
Meski demikian, harus diakui Sagu atau Papeda sampai hari ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal, baik secara alami maupun budidaya. Padahal ada kajian yang menyimpulkan Sagu juga dapat mengatasi krisis energi, diantaranya sebagai bioetanol.
Itu artinya, Papeda atau Sagu sebagai pangan potensial dan juga dapat dikembangkan dalam berbagai produk turunan, sudah waktunya diberi proporsi. Sosialisasi makan atau konsumsi Papeda harus semakin gencar, baik itu di dalam maupun luar negeri.
Harapannya mampu membuka mata banyak orang bahwa makanan dari timur Indonesia ini tak kalah dengan makanan dari wilayah atau daerah lainnya. Sudah saatnya Papeda kembali ditinggikan, selain sebagai identitas kultural, yang jauh lebih penting lagi adalah untuk masa depan ketahanan pangan.
Ambon, 21 Januari 2021