Belajar dari Pencapaian ‘Gelombang Baru’ China

0
3689

“Tantangan masa depan bisa dijawab oleh kaum terpelajar dan itu didukung oleh kemauan untuk berwiraswasta, menjadi hero bagi keluarga dan negara..”

Oleh: Ikhsan Tualeka 

China barangkali termasuk negara yang paling sering saya kunjungi, diantaranya untuk mengikuti konferensi. Selain forum formal, karena biasanya ada banyak rangkaian kegiatan, pengalaman berharga sesungguhnya adalah dapat bertemu secara informal dengan sejumlah pengusaha muda China atau China young entrepreneur, mendengar dan melihat langsung pencapaian mereka.

Pertemuan dan interaksi yang penting, karena belakangan entrepreneurship atau kewirausahaan di negeri tirai bambu itu sedang tumbuh dengan pesatnya. Belajar bagaimana China benar-benar memberikan perhatian bagi tumbuh dan berkembangnya pengusaha muda tentu penting bagi Indonesia. Apalagi Indonesia bersama sejumlah negara telah masuk dalam persaingan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dalam persaingan bebas, menghadapi dan menjalaninya tentu yang pertama dan paling utama adalah menyiapkan sebanyak mungkin pengusaha muda atau entrepreneurs. Terkait itu, catatan ini dibuat, agar kita dapat belajar dari negara tirai bambu itu, yang telah maju tidak saja kuantitas, tapi juga kualitas.

Mari kita lihat dan pelajari. Akhir Maret 2010 dunia dikejutkan ketika produsen mobil asal China, Geely mengumumkan akan mengakuisisi Volvo, salah satu perusahaan angkutan tertua dari Swedia. Dunia bahkan terbelalak ketika Lenovo yang dimotori para alumni University of Chinese Academy of Sciences (UCAS) kemudian mengambil alih dominasi raksasa komputer dari Amerika Serikat, IBM.

Apalagi ketika China mampu menciptakan processor yang lebih hebat dari Intel sehingga mereka secara mandiri bisa menghasilkan produk Magnetic Resonance Imaging (MRI) kelas dunia. Produk itu lahir dari dapur riset di UCAS.

China punya 17 juta mahasiswa yang mayoritas mengambil jurusan sains dan teknik. Tiap tahun tak kurang dari 325 ribu insinyur dihasilkan, mereka bahkan rela mengeluarkan USD 60 milliar atau setara dengan 780 triliun rupiah per tahun, untuk riset dan pengembangan. Saat ini, hampir semua laboratorium China fokus mendukung inovasi kaum entrepreneur dalam menghasilkan produk yang bagus dan murah.

Baca Juga  Protes Aksi Joget Sekda dan DPRD Maluku Tanpa Masker, Belasan Pemuda Datangi Kantor Gubernur Maluku

Kemajuan China sekarang tak lepas dari semangat kemandirian dari kaum terpelajarnya yang merupakan komunitas elite (karena hanya segelintir sarjana S1 dari total populasi). Tapi setiap kesempatan menjadi sarjana benar-benar dimaksimalkan untuk ambil bagian demi membawa peradaban China ke tingkat yang lebih tinggi.

China punya ‘Silicon Valley’ semacam kawasan industri teknologi di Qingdao. Hebatnya, kota nelayan ini juga punya Laoshan yang merupakan kawasan indah berhawa sejuk yang ditetapkan sebagai kawasan Industri High Tech. Di kawasan inilah berdiri berbagai perusahaan berteknologi tinggi yang melakukan inovasi di bidang Information technology (IT). Mereka terhubung dengan lebih dari 100 kampus terbaik di China dan beberapa lembaga riset.

Dari business software IT saja wilayah ini menghasilkan devisa lebih dari USD 40 miliar per tahun yang lebih besar dari pendapatan sektor migas Indonesia. Gaji seorang insinyur di Qingdao hanya 1/5 gaji insinyur di AS dan Eropa dengan kualitas kerja yang sama.

Namun biaya hidup di Qingdao juga murah, hal ini mengundang banyak perusahaan asing melakukan investasi dan inovasi produk dengan menggandeng insinyur Qingdao. Tentu mereka juga harus bermitra dengan pengusaha lokal. Di sinilah muncul sinergi hebat antara sumber daya manusia, market dan investor.

China tak punya kebun kelapa sawit tapi memiliki downstream atau industri hilir Crude Palm Oil (CPO) terluas di dunia. Mulai dari oleokimia, oleopangan, dan oleo non food/oleo non edible mencakup ratusan item produk dari ribuan industri hilir CPO dihasilkan negera itu. Seperti bahan baku consumer goods, bahan baku makanan, bahan baku kosmetik dan obat-obatan, serta bahan baku industri.

Indonesia yang punya kelapa sawit, tapi China yang dapatkan nilai tambah luar biasa. Itu semua berkat kehebatan visi China menjadi negara industri modern dengan dukungan riset. Nilai ekspor produk turunan CPO negeri itu lebih besar dari nilai penerimaan devisa Indonesia sebagai negara penghasil CPO. Ironis memang.

Pertumbuhan cepat China karena adanya paradigma baru setelah era Deng Xiaoping, yaitu lahirnya New Wave of Entrepreneurs (Gelombang Baru Kewirausahaan) dari kalangan kampus. Mereka terpelajar dan mudah menerjemahkan kebijakan pemerintah untuk melompat ke masa depan. Sebagian besar dari 1.000 orang kaya China adalah para sarjana alumni UCAS.

Baca Juga  Suara Minor Petani Perempuan di Tengah Pandemi Covid-19

Andaikan dulu para sarjana di negara itu lebih memilih jalur aman berkarir sebagai karyawan, atau pegawai pemerintah, mungkin sampai sekarang China masih terbelakang. Tantangan masa depan bisa dijawab oleh kaum terpelajar dan itu didukung oleh kemauan untuk berwiraswasta, menjadi hero bagi keluarga dan negara. Ini bukti budaya suatu bangsalah yang membuat bangsa itu kuat melewati putaran zaman.

Ini juga fakta yang patut menjadi bahan renungan kita bersama, anak-anak bangsa yang hidup di wilayah tropis, yang setiap saat menikmati ‘summer’. Indonesia dengan lautan, hutan dan ribuan pulau yang kaya, masih tetap miskin dan terus kalah dalam persaingan global.

Di ASEAN misalnya, separuh lebih populasi penduduknya tinggal Indonesia, tapi kita belum juga menjadi kampiun. Meski jumlah pengusaha di Indon‎esia mulai meningkat tapi faktanya masih jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Contohnya rasio entrepreneur Singapura 7 persen, Malaysia 6 persen, Thailand 5 persen, dari total jumlah penduduknya. Sementara Indonesia masih di bawah 3 persen.

Kalau rasio ini diletakkan dalam konteks nasional, tentu akan terlihat ada banyak daerah yang memiliki potensi alam yang besar tapi jumlah entrepreneur-nya masih jauh dari harapan, termasuk di Maluku. Padahal bersama daerah lain di kawasan timur Indonesia, Maluku kaya akan sumber daya alam, hingga memantik kolonialisme beberapa abad lalu.

Belum ada data resmi berapa sesungguhnya jumlah entrepreneur dari kalangan Putra Timur, tapi mudah dihitung sendiri, jumlahnya hanya segelintir. Kalaupun ada, lebih dominan adalah sebagai kontraktor proyek pemerintah.

Hingga hari ini anak-anak muda lebih tertarik menjadi aparatur sipil negara, atau menyibukan diri dengan aktivitas yang tidak bersentuhan langsung dengan pengembangan potensi daerah. Generasi terpelajar banyak yang nyatanya masih kurang kreatif dan minim inovasi. Kekayaan alam yang melimpah belum bisa menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Baca Juga  Menikmati Diperkosa: Cerita Getir dari Ukulam

Kondisi ini diperparah oleh tidak hadirnya negara, baik pemerintah pusat, maupun daerah. Visi dan orientasi pembangunan pemerintah, khususnya bagi pengembangan entrepreneur terlihat belum jelas. Misalnya di kepulauan Maluku yang kaya akan sumber daya laut, belum memiliki sekolah kelautan dengan standar tinggi, yang punya kaitan langsung dengan pengembangan teknologi dan industri kelautan.

Menyikapi ini, kita perlu paradigma baru yang dimotori oleh anak-anak muda. Belajar dari pencapaian China saat ini, tentu menjadi entrepreneur dengan fokus pada pengelolaan potensi daerah, bukan saja pilihan, tapi kewajiban. Bila kita tak mau digilas kemajuan negara lain di ASEAN.

Perubahan dan paradigma baru itu adalah dengan secara kolektif menjadi gelombang baru entrepreneur, dan itu harus dimulai, oleh generasi terpelajar saat ini. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan, sehingga punya nilai tambah secara ekonomis.

Seluruh potensi alam adalah peluang bisnis, asal ada kemauan yang kuat, serta sokongan dari pemerintah dan juga swasta yang telah maju. Melalui pendidikan, pelatihan, permodalan dan mempersiapkan akses terhadap pasar.

Semua upaya mesti dilakukan dengan simultan, saling menopang dan mendukung. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya mesti diarahkan untuk menjawab kebutuhan pengelolaan sumber daya alam.

Misalnya, untuk daerah yang potensinya adalah laut, maka prioritas pembangunan pendidikannya harus diarahkan pada pengembangan sektor kelautan, sehingga dapat melahirkan peneliti, profesional dan yang pasti adalah entrepreneur yang mumpuni dalam mengelola potensi lautnya.

Kita semua generasi hari ini tak mau sekadar membaca sejarah, tapi juga mau dan mampu menorehkan atau mencatat sejarah. Tercatat sebagai generasi yang sanggup mengubah tantangan menjadi peluang, dan mengelola potensi daerah sebagai tulang punggung ekonomi, menuju Bangsa yang lebih baik, maju dan sejahtera.

Penulis adalah pegiat perubahan sosial, aktif di Komunitas Penulis Maluku