Oleh: Hariman A. Pattianakotta
Orang yang idealis apakah juga orang yang produktif? Vice versa, apakah orang yang produktif juga idealis?
Pertanyaan tersebut memancing refleksi. Menurut saya, orang yang idealis adalah orang yang produktif! Walaupun, idealisme itu tak selalu harus ditakar dengan jumlah produktivitas.
Namun, orang yang idealis adalah orang yang aktif berproduksi. Dia merawat semangat untuk terus menghasilkan dampak melalui karya-karyanya.
Produktivitas itu tak selalu berupa barang atau uang. Dalam bidang ekonomi, barang dan uang memang menjadi tujuan. Namun, dalam dunia yang terdisrupsi dewasa ini, kita menangkap ada proses shifting dalam perilaku usaha dan ekonomi.
Dahulu dalam mengembangkan bisnis, paradigma yang dipakai adalah owning economy. Paradigma ini terobsesi dengan pengumpulan dan kepemilikan harta. Semakin banyak, semakin sukses. Karena itu, terjadi monopoli dan kesenjangan yang luar biasa.
Sekarang, milenial mengembangkan sharing economy. Mereka membangun jejaring, membuat platform yang mempermudah pertemuan produsen dan konsumen. Resultannya, semua happy, karena mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan lebih cepat dan harganya pas. Semakin cepat, murah, dan efektif.
Artinya, sharing economy itu menawarkan akses yang terbuka untuk semua. Kalau kita punya akses yang terus terbuka, kenapa harus takut dan melakukan penumpukan dan monopoli? Hidup berjejaring itu jauh lebih nikmat, sebab di dalamnya ada komunitas yang saling membutuhkan dan mendukung.
Jadi, produktivitas itu bukan melulu tentang kita menghasilkan apa dan berapa banyak, tetapi juga soal sharing and caring untuk kebaikan bersama atau bonum commune. Ini sebetulnya yang menjadi tujuan. Kita terlibat dan sejahtera bersama, dan di situlah kita menemukan kebahagiaan yang otentik.
Karena itu, market place dan berbagai platform bisnis digital dikembangkan secara inovatif untuk memberikan akses dan layanan yang cepat, murah, dan berkualitas, sehingga kesenjangan terkikis dan distribusi keadilan terjadi untuk semua.
Idealisme dan produktivitas yang demikianlah yang harus terus dipupuk. Bukan demi menumpuk harta dan memuaskan nafsu serakah, tetapi menghasilkan hidup yang berdampak dalam relasi-relasi sosial dan ekologis yang seimbang.
Tentu tidak mudah membangun dan menjaga keseimbangan. Apalagi, dalam konteks ekonomi dan politik. SAE Nababan, mantan ketua PGI dan Ephorus HKBP, pernah menulis buku Teologi Keseimbangan saat Indonesia bergumul dalam konteks Orde Lama.
Lalu, kegigihan dan komitmennya memperjuangkan keadilan dalam konteks Orde Baru membawanya berhadapan dengan militer dan Soeharto yang tiran.
Nababan memilih jalan yang tidak mudah. Ia tidak berkompromi dengan penguasa yang hanya berorientasi untuk melanggengkan kekuasaan. Idealisme untuk menghadirkan keseimbangan atau keadilan sosial itu ia rawat dengan nalar kritis dan komitmen yang teguh.
Idealisme yang demikian seharusnya dimiliki oleh mereka yang ingin terjun dalam dunia politik praktis.
Partai-partai politik seyogianya menjiwai perjuangan mereka berdasarkan idealisme yang kokoh. Tidak berlaku pragmatis dan oportunis. Apalagi, hanya menjual-jual sentimen agama.
Partai yang hanya menjual isu agama, sebaiknya tidak dipilih. Mereka ini tidak memperjuangkan demokrasi yang substantif dan berkeadilan.
Mereka hanya berkepentingan untuk mendapatkan suara dan kursi. Karena itu, kemarin mereka bicara A, berseberangan dengan tokoh tertentu untuk hal yang prinsip, hari ini mereka menjilat ludah sendiri.
Karena itu, generasi milenial Indonesia harus kritis. Orang mudalah yang menjadi penentu di hari kasih suara nanti, karena secara kuantitatif menjadi pemilih terbesar. Kita harus berdiri dengan kebenaran. Kita harus memegang teguh prinsip, dan memperjuangkannya.
Kalau dalam dunia bisnis milenial berhasil mendisrupsi ekonomi konvensional, dalam politik milenial juga harus mampu mendisrupsi politik konvensional yang hanya berorientasi pada kekuasaan.
Milenial harus mampu menempatkan orang yang tepat sebagai pemimpin politik untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Kata Sabam Sirait, politik itu suci. Pandangan ini benar, dan kita harus merawatnya dengan idealisme yang produktif dan jiwa yang lurus demi bonum commune. Jangan sekadar ingin produktif, tetapi terjebak dalam pragmatisme yang menghalalkan segala cara.
Dalam konteks politik elektoral, ini bukan soal menang-kalah, tetapi tentang menghidupi values dalam jejaring organisasi politik yang berkeadilan dan mensejahterakan.
Dan hal tersebut membutuhkan proses, nafas panjang, siap tidak populer, rela berada dalam posisi oposisi, dan ini sama-sama penting dan terhormat dengan yang duduk di kursi kekuasaan.
Artinya, di luar kekuasaan pun kita bisa tetap kritis-konstruktif dan produktif. Kita bisa tetap berkarya dan berkontribusi bagi negeri. So, teruslah merawat idealisme dan produktivitas.
Penulis adalah Pendeta GKP yang bertugas sebagai Pendeta Universitas Universitas Kristen Maranatha