Menenun Harapan dengan Nilai

0
1036

Oleh: Hariman A. Pattianakotta

Tiba juga kita di penghujung tahun 2023. Beberapa saat lagi tahun ini akan menjadi sejarah yang meninggalkan banyak kenangan.

Di tahun 2023 kita mulai membesarkan asa setelah dunia dilanda pandemi. Epidemi global itu meluluhkan tatanan lama. Dunia terdisrupsi, dan kita mulai menata kehidupan yang baru.

Digitalisasi memperbesar harapan untuk dunia yang lebih baik. Dunia yang tanpa sekat. Digitalisasi mengalirkan perubahan dengan sangat cepat.

Memang, tak semua siap. Ada banyak yang ketinggalan kereta, sebab yang beradu kini bukan hanya antara yang lemah versus yang kuat, tetapi juga antara si lambat dan si cepat.

Tak perlu telaah akademik yang njelimet untuk menemukan siapa pemenang. Yang cepatlah yang akan menang. Yang menguasai teknologi dan arus informasi lah yang menentukan jalan sejarah.

Kita mensyukuri kemajuan peradaban teknologi digital dewasa ini, tetapi sekaligus kita meratapi ironi sejarah yang memilukan saat drone atau pesawat tanpa awak serta peluru kendali meluluhlantakkan Ukraina dan Palestina.

Jatuh korban bukan hanya ada di pihak para serdadu yang berperang, tetapi warga sipil, perempuan dan anak-anak. Mereka mati dalam ketakutan. Terkubur dalam reruntuhan. Mereka kehilangan hidup dan dignity sebagai manusia.

Ternyata, sangat tidak cukup kita menjadi beradab dengan teknologi dan digitalisasi. Tanpa hati, tanpa cinta, tanpa moralitas dan etika, manusia justru semakin buas. Kekuasaan semakin jahat. Manipulasi dan kejahatan justru tampak begitu vulgar dan bengis.

Ambivalensi Indonesia

Di satu sisi ada kemajuan, namun di sisi lain terjadi kemunduran. Wajah yang ambivalen itu terlihat di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Tahun ini Indonesia menikmati berbagai prestasi. Mampu bertahan dalam gempuran pandemi Covid-19. Pemerintah pun memperbesar harapan akan keadilan sosial melalui banyak investasi. Kesenjangan Jawa dan luar Jawa coba diatasi dengan membuka Ibu Kota Nusantara (IKN).

Baca Juga  Tuduhan Melanggar UU IT, Sidang Risman Solissa Hadirkan Saksi Pelapor

Namun, ada cacat demokrasi di penghujung tahun 2023. Politik kekuasaan dan nepotisme politik menyeruak. Dan hal ini bukan masalah biasa. Etika dan moral itu bukan hal sepeleh.

Tanpa etika dan moral, tak akan ada demokrasi yang otentik. Hukum akan menjadi alat politik manipulasi. Ekonomi pun akan dikuasai para bandit. Alih-alih, kesejahteraan dan keadilan akan terwujud, kita malah akan melahirkan kaum borjuis yang rakus.

Borjuis yang tamak ingin terus naik. Mereka mau maju. Mereka terlihat progresif, tetapi mereka menyepelekan moral. Mereka tidak berpegang pada etika. Mereka melupakan sejarah. Mereka terhipnotis dengan indahnya kekuasaan. Mereka rapuh di hadapan harta dan takhta.

Meminjam yang dikatakan oleh Rhenald Kasali, borjuis yang tamak itu tampak menarik seperti strawberry. Terlihat meyakinkan, tetapi lembek! Itu tampak dalam milenial Indonesia yang kini mulai banyak bicara mengenai bonus demografi dan kiprah orang muda. Sayang, banyak yang tuna sejarah. Bahkan, nuraninya tumpul, sehingga meremehkan etika dan moral demi ambisi.

Sejatinya, Indonesia tidak akan tiba di era keemasan tanpa etika dan moral. Indonesia emas hanya akan menjadi slogan jika values, nilai-nilai, menjadi pemanis bibir belaka; bukan menjadi spirit dan way of life.

Menenun Harapan dengan Nilai

Melihat situasi terkini di penghujung 2023, ada banyak orang yang menjadi pesimis. Pesimisme itu alarm sejarah. Itu tanda bahwa ada hal penting yang mesti dibenahi. Sebab tanpa itu, keputusasaan dan bencana sosial yang akan berulang. Dan, hal ini jauh lebih berbahaya dari bencana alam.

Karena itu, kita harus mengakui realitas sejarah yang ada. Kurang dan lebihnya, kemajuan dan kemundurannya. Kejujuran ini penting supaya masa depan bisa dimasuki dengan keterbukaan dan kesiapan.

Baca Juga  Cari Inovasi Milenial, Pertamina Gelar Kompetisi PFMuda Foundation

Ambil contoh realitas di Papua yang terus membara, walau tidak terekspos dan tertutupi riak politik di Jakarta menjelang Pemilu. Di negeri yang kaya ini, orang asli Papua tetap miskin. Pembangunan infrastruktur jalan memang di lakukan di sana, tetapi orang asli Papua tetap tidak mampu hidup dengan rasa hormat dan keadilan.

Mereka tetap terpinggirkan, walau banyak dana digelontorkan ke sana. Siapa yang menikmati dana-dana itu? Semua ini harus dievaluasi dan dengan berani diperbaiki.

Harapan memang harus terus kita bangun. Pembangunan demi keadilan dan kesejahteraan harus kita lanjutkan dan tingkatkan. Tetapi bukan hanya dengan menggelontorkan banyak uang. Keadilan itu bukan hanya terkait dengan membangun sarana fisik. Bukan juga dengan memekarkan daerah baru atau dengan membangun ibu kota yang baru.

Mental manusia Indonesia itu jauh lebih penting. Moral bangsa ini yang harus ditegakkan dan diberi perhatian. Habitus sebagai manusia beretika yang harus dibudayakan. Dan, pemimpinnya yang harus memberikan contoh dan membangun sistem.

Kalau pemimpin busuk, maka negara akan hancur. Kita akan kehilangan masa depan, sebab kita kehilangan keteladanan dari para pemimpin yang tidak teguh berpegang pada nilai-nilai luhur.

Tugas para pemimpin di pusat dan daerah adalah memegang teguh dan mewujudkan nilai-nilai etik moral dalam penegakkan hukum, dalam menjalankan investasi, mengelola uang negara, membuat dan melakukan regulasi dan kebijakan, serta menjalankan pendidikan demi manusia Indonesia yang berkarakter.

Kita pun berharap para ekonom, pengusaha, orang-orang kaya Indonesia tidak lagi sekadar menambah harta, tetapi memperkaya diri dengan nilai, supaya hidup menjadi lebih berguna dan berdampak.

Rakyat jelata pun demikian. Jangan bermental instan. Jangan menghalalkan segala cara demi uang. Teruslah bekerja keras dan bekerja cerdas, dan hidup jujur berbasis nilai-nilai etis. Dengan cara ini mungkin kita tidak akan menjadi orang yang kaya secara materi, tetapi kita akan hidup terhormat dan bernilai.

Baca Juga  Bahaya Stunting Mengintai Kabupaten Seram Bagian Timur

Mari merajut masa depan dengan nilai.

Selamat menutup tahun 2023 dan menyambut tahun harapan yang baru, tahun 2024.

Tuhan sayang dunia ini, dan Tuhan kiranya memberkati Indonesia kita!

Penulis adalah Pendeta Universitas Universitas Kristen Maranatha, Bandung