Memperkuat Masyarakat Adat di Kepulauan Maluku dalam Pusaran Konflik Sumber Daya

0
954

Oleh: John Ruhulessin

Ini hanya beberapa catatan awal studi yang saya lakukan. Dalam studi saya temukan bahwa posisi dan eksistensi masyarakat adat terbukti adalah subyek hukum konstitusional. Termasuk secara inheren, holistik, integral dan berkelanjutan termasuk hak ulayatnya sebagai satu kesatuan hak asasi.

Sementara berbagai produk kebijakan publik yang dijadikan acuan manajemen pemerintahan dan pembangunan dalam kaitan dengan praktek alih fungsi sumber daya lahan/hutan (daratan), sumber daya pesisir dan laut serta kawasan kepulauan (pesisir dan laut) masih belum relevan.

Termasuk dan terutama pula sumber daya kapital masyarakat adat itu sendiri, sebagai bagian utuh integral kapital komunitas masyarakat adat, cenderung direduksi dan ditempatkan selaku objek/sasaran dalam manajemen pemerintahan pembangunan dan intervensi pelaku ekonomi.

Dalam posisi seperti itulah, menempatkan masyarakat adat, suka atau tidak, senang atau tidak, disadari atau tidak, mereka ditempatkan pada pusaran konflik sumber daya serta rentan selaku korban kutuk sumber daya (masyarakat adat jadi korban, mereka mempunyai sumber daya, potensi sumber daya yang kaya, tapi ternyata mereka miskin- korban kutuk sumber daya)

Kondisi seperti inilah yang oleh The Habibie Center (The Habibie Center 2014), ditegaskan berkaitan dengan Hak Atas Pembangunan sebagai sebagai Hak Asasi Manusia. Juga, Aprilia Restuning Tunggal dkk, bahwa Pembangunan, Kebebasan dan Hak Asasi Manusia, adalah Etika Pembangunan.(Tunggal.n.d).

Kenyataan menunjukan pula bahwa aktor pelaku kebijakan publik dan investor/pengusaha melalui kebijakan dan implementasinya dalam praktek alih fungsi sumber daya lahan/hutan (darat) serta pesisir dan laut (kepulauan) kerap ikut menjadi sumber dalam pusaran konflik.

Termasuk pula pembiaran dan atau sengaja ikut terlibat dalam proses terwujudnya kondisi kutukan sumber daya (resources curse) sebagai akar struktural kemiskinan, kejahatan kemanusiaan, lingkungan hidup dan pelanggaran HAM.

Baca Juga  “Perempuan” Aktor Kunci Dalam Peradaban Manusia

Perlu Mediasi Kultural Non-Litigasi

Dalam konteks posisi masyarakat adat serta pihak pelaku kebijakan publik dan investor/ pengusaha seperti itu, menurut hemat saya, diperlukan keterbukaan para pihak agar difasilitasi dan dimediasi dalam rangka pemecahan masalah bersama melalui ‘Join Problem Team’ lintas Stakeholders.

Selain itu sebagai bagian dari Advokasi Non Litigasi, alur dan proses mediasi didayagunakan juga dalam rangka penguatan kapasitas negara/pemerintah dan investor/ pengusaha, yang menurut Wallis dan Dollery melalui faktor institutional capacity, technical capacity, administrative capacity, dan political capacity (Wallis, Joe san Dollery, 2001) menjadi penting dan strategis.

Bahkan hak asasi masyarakat adat, serta Community Capital, korban kutuk sumber daya, sudah semestinya dijadikan tools kebijakan publik, sensitif dan responsif atas kegagalan negara melibatkan komunitas masyarakat adat sebagai subjek Hukum Konstitusional dan pemilik Hak Ulayat.

Menurut Philippe Hanna dan Frank Vanclay (Human Rights, 2013) para pihak dalam proses mediasi merasakan pentingnya hak asasi manusia, posisi masyarakat adat, dan konsep persetujuan berdasarkan informasi objektif (kesadaran diri).

Cultural Ethics Leadership

Masih menurut Wallis dan Dollery, untuk mengatasi “state incapacity” (negara yang tidak memiliki wibawa, etik moral) diperlukan suatu kerangka analisis yang mengintegrasikan paradigma kegagalan pemerintah dengan pendekatan manajemen pembangunan dan kebijakan publik berwatak top down.

Yaitu dengan paradigma “Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Lingkungan (Ekosob Ling) dan modal sosial masyarakat adat, yang menekankan pada pendekatan bottom up.

Sebagaimana dikemukakan Federico Vailati (Vailati, 2014), bahwa style leadership dalam menghadapi dan mengelola aktivitas mediasi sebagai bentuk advokasi non- litigasi, memiliki efek dan arti yang berbeda dalam hubungan dengan lingkungan budaya dalam setiap rekam jejak pengalaman sadar para pihak.

Baca Juga  Kukuhkan Bunda Genre SBT, Widya: Peran Mama Penting untuk Tumbuh Kembang Remaja

Beberapa Kesimpulan

Bahwa posisi masyarakat adat selaku subyek hukum konstitusional Negara RI, kini berada dalam pusaran konflik dan perampasan Sumber Daya serta ter kondisinya Resource Curse (kutukan sumber daya).

Kondisi di mana menempatkan posisi masyarakat adat direduksi menjadi obyek hukum semata, dalam konteks akses penguasaan dan pengelolaan sumber daya masyarakat adat dalam kerangka community capital-nya secara komprehensif.

Subordinasi posisi dan eksistensi selaku subyek hukum konstitusional mana, terkondisi melalui aneka produk kebijakan publik dan pelaku pejabat publik serta para investor/pengusaha/elit yang mendapatkan legitimasi izin terkait akses penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan community capital masyarakat adat.

Lalu bagaimana implikasi praktisnya? Menurut hemat saya hendaknya pemerintah selaku pejabat publik serta mekanisme dan produk kebijakan publiknya, terbuka/ berorientasi pada penegakan dan pemajuan Status Hukum Konstitusional Masyarakat Adat.

Pada gilirannya menegakan dan memajukan hak asasi masyarakat adat selaku subyek hukum konstitusional beserta eksistensi modal komunitas dan ulayatnya secara utuh integral.

Hal ini dikarenakan terbukti berdampak konstruktif baik terhadap penegakan dan.pemajuan hak Ekosob Ling itu sendiri, maupun dalam merecovery secara holistik integral kerangka modal Komunitas Masyarakat Adat.

Seyogianya pemerintah, melalui lembaga lembaga akademis, kementerian, dan lembaga sosial masyarakat lainnya mengintensifkan mediasi struktural sebagai bentuk advokasi non litigasi penanganan posisi masyarakat adat di tengah pusaran konflik Sumber Daya selama ini.

Sebagai catatan tambahan: ada banyak kasus di kepulauan Maluku (Maluku dan Maluku Utara) khususnya di Seram, Buru, Halmahera dan Tobelo, masyarakat adat terus terjebak dalam pusaran konflik SDA yang amat serius.

Penulis adalah Pendeta, intelektual Maluku dan aktif di Komunitas Penulis Maluku.