Senja Kala Provinsi Kepulauan

0
1922

Oleh: Tammat R. Talaohu 

Diskursus tentang provinsi kepulauan bagi kita di Maluku tidak akan pernah surut, terutama karena topik ini terkait langsung dengan kepentingan untuk memakmurkan Maluku dan orang-orangnya sekaligus menjadikannya lebih terhormat.

Tuhan YME telah menganugerahkan alam Maluku dengan kekayaan laut dan darat yang beragam dan melimpah hingga dengannya kita mempunyai keyakinan bahwa daerah seperti Maluku memiliki modalitas yang lebih dari cukup untuk menjadi salah satu sentra pertumbuhan baru, setidaknya di Indonesia timur.

Tetapi, telah puluhan tahun daerah seribu pulau ini berkubang dalam ketertinggalan yang akut. Dimana sebagian dari sebab ketertinggalan itu sebenarnya tidak melulu dipicu oleh kondisi internal daerah, tetapi lebih pada dominasi pemerintah pusat yang enggan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Maluku untuk mengelola tanah dan airnya secara lebih otonom, adil dan transparan.

Karena itu, pembahasan tentang RUU Provinsi Maluku (sebagaimana baru-baru ini diikuti oleh beberapa stakeholder daerah di Komisi II DPR RI) se-demokratis apapun juga tahapan dan mekanismenya, jika tidak mengakomodir Maluku sebagai daerah kepulauan yang dengannya kita diberi kewenangan untuk mengelola secara lebih mandiri dan otonom sumber daya kelautan, maka itu bukanlah bagian dari demokratisasi dan bukan langkah maju.

Tulisan ini mencoba menelaah topik provinsi kepulauan ini secara ringkas meski beberapa bagian dari tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya.

Kemajuan bagi Maluku hanya akan terjadi ketika ada perlakuan yang berimbang dan proporsional serta tidak memperlakukan secara sama strategi pembangunan antara daerah kepulauan dan non-kepulauan.

Topik ini harus tetap diperkuat karena semangat desentralisasi yang diadopsi sejak reformasi 1998, toh tidak membawa Maluku ke taraf perbaikan yang semestinya. Maluku sudah terlalu lama tidak beranjak dari statusnya sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia.

Baca Juga  Menakar Peluang Caleg DPD RI Dapil Maluku Menuju Senayan

Karenanya, setelah puluhan tahun kebijakan otonomi daerah diadopsi, kita harus terbuka untuk menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan penerapan otonomi daerah selama ini.

Dalam bukunya, Jalan Tengah Desentralisasi Bagi Daerah Otonom Berkarakteristik Kepulauan di Indonesia, Petrus Polyando (2020), menemukan beberapa catatan tentang sebab kegagalan penerapan otonomi di daerah berciri kepulauan:

Pertama, basis konstitusi yang digunakan sebagai kerangka politik dan kerangka hukum, yang digunakan dalam perumusan kebijakan desentralisasi secara eksplisit belum mengakomodasi pengakuan akan karakteristik wilayah negara yang berciri kepulauan. Dalam hal ini, kita bisa membandingkan kedudukan pasal 1 UUD 1945 (bentuk negara kesatuan), pasal 18 UUD 1945 (level pemerintahan), dan pasal 25 A UUD 1945 (tentang kewilayahan).

Kedua, kondisi lingkungan sosial politik yang belum fokus dan stabil memperhatikan keragaman daerah sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan desentralisasi yang cenderung sama. Dalam hal ini, penyerahan wewenang dari pusat ke daerah tidak berdasarkan kategorisasi atas kondisi geografis daerah seperti halnya daerah kepulauan dan non-kepulauan.

Ketiga, parameter penyerahan kewenangan yang digunakan selama ini cenderung menghasilkan besaran maupun jumlah urusan yang sama antar level pemerintahan sehingga berdampak pada kebutuhan daerah otonomi kepulauan terhadap beberapa kewenangan spesifik untuk mengelola daerahnya, belum terakomodasi.

Keempat, model organisasi pemerintahan di daerah otonom berkarakteristik kepulauan yang dibentuk belum menjadi wadah yang ideal menjalankan fungsi pemerintahan yang dibutuhkan di daerah kepulauan. Keterbatasan kemampuan perumus kebijakan lokal dalam merumuskan organisasi perangkat daerah sehingga pembentukan organisasi selalu merujuk pada pedoman pusat.

Kelima, keterbatasan SDM pelaksana teknis, manajerial dan pengambil kebijakan politik daerah sangat menyulitkan pelaksanaan kebijakan desentralisasi di lapangan.

Keenam, pengelolaan sumber daya ekonomi daerah kepulauan belum menggali potensi lokal lainnya. Daerah masih memfokuskan sektor primer sebagai prioritas sumber penghasilan sementara sektor sekunder dan tersier belum dijadikan skala prioritas.

Baca Juga  Difabel di SBT Tak Diperhatikan

Hal ini ditambah dengan perubahan regulasi yang berdampak pada pasang surut pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam mengelola potensi lokal. Akibatnya pengelolaan wilayah menjadi tidak fokus.

Ketujuh, hubungan eksternal antar daerah otonom kepulauan dengan lembaga supranasional (provinsi dan pusat), yang tercermin dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan belum mendukung administrasi pemerintahan yang efektif dan pengelolaan wilayah berkelanjutan. Mekanisme kerja yang ada sangat meresahkan daerah di mana banyak permasalahan lokal yang dihadapi sulit diatasi oleh daerah mengingat adanya pembatasan kewenangan daerah.

Akibat pendekatan yang tidak tepat di atas, maka beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa umumnya provinsi kepulauan memang masih tertinggal (Nur Kholis, tempo.co, 2022). Antara lain; jumlah penduduk di delapan provinsi kepulauan sekitar 23 juta jiwa atau 8,37 persen dari total penduduk Indonesia. Data BPS (2022), menunjukan bahwa jumlah penduduk di provinsi kepulauan terus bertambah sepanjang 2010-2021 dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dari dibanding nasional dan provinsi non-kepulauan.

Rata-rata pertumbuhan penduduk di provinsi kepulauan sebesar 1,56 persen pada 2011-2021. Sedangkan pertumbuhan penduduk nasional dan provinsi non-kepulauan 1,19 persen. Artinya, perkembangan jumlah penduduk di daerah kepulauan lebih cepat dibanding daerah berbasis daratan.

Tingkat kemiskinan di provinsi kepulauan secara rata-rata lebih tinggi dibanding provinsi non-kepulauan. Perbedaannya rata-rata mencapai 0,66 persen pada 2010-2022. Begitu juga dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencerminkan dimensi kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak.

Rata-rata IPM di provinsi kepulauan lebih rendah dibanding provinsi non- kepulauan. Perbedaannya mencapai 0,98 pada 2010-2021. Penyebab utama rendahnya IPM di provinsi kepulauan adalah kondisi pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah) serta rendahnya daya beli masyarakat.

Baca Juga  Jurnalisme Warga untuk Pembangunan

Sementara dari sisi keuangan daerah, daerah kepulauan, terutama kabupaten/kota kepulauan, memiliki ketergantungan yang lebih tinggi terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Kebutuhan daerah kepulauan untuk belanja modal lebih besar dibandingkan daerah non-kepulauan.

Aspek lainnya yang ikut menentukan ketertinggalan provinsi kepulauan adalah posisi kepala daerah. Dalam hal ini Gubernur yang lebih memposisikan dirinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ketimbang sebagai pimpinan daerah yang otonom, tempat dimana ia telah dipilih dalam Pilkada langsung.

Akibatnya, Gubernur telah “dipaksa” untuk lebih mengalah guna mengakomodir kebijakan pemerintah pusat ketimbang secara gigih memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Dalam kasus ini, Maluku sebagai contoh, kita bisa menghubungkannya dengan terbengkalainya penerapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional serta pembangunan proyek strategis nasional Ambon New Port. Termasuk dalam hal ini adalah berlarut-larutnya tahapan eksplorasi PI 10 persen di Blok Masela.

Itulah sebabnya, kita dapat berkesimpulan bahwa ketertinggalan Maluku sebenarnya sebagian besarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang tidak adil terhadap Maluku. Pada akhirnya, pemulihan ekonomi Maluku lebih tergantung pada bagaimana mereformasi relasi keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Di titik ini para pemimpin pemerintahan di daerah ini harus menunjukkan tekadnya untuk lebih cerdas dan “ngotot” dalam memperjuangkan hak-hak orang Maluku. Jika tidak, maka senja kala provinsi kepulauan akan memasuki kegelapan yang makin pekat. Bukankah demikian?

Penulis adalah Wakil Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku, aktif di Komunitas Penulis Maluku