Sensasi Liga Sepak Bola Tulehu Rasa Piala Dunia

0
2742

Catatan: Irham Maulidy HR, S.Sos, M.Sos 

Setelah mendarat di Bandara Internasional Pattimura pada Pukul 12.30 WIT, saya kemudian menyusuri jalan mulus beraspal melewati Jembatan Merah Putih yang membelah Teluk Ambon. Jembatan Suramadu KW super, kata sahabat saya Ikhsan Tualeka.

Bung Ikhsan sahabat lama saya ini yang menjadi alasan utama saya ke Maluku. Selain untuk menghabiskan malam tahun baru, juga untuk mudik atau berkunjung ke kampung halaman Bung Ikhsan di Negeri Pelauw.

Sebelum menyeberang ke Pelauw yang ada di Pulau Haruku, saya diajak Bung Ikhsan untuk menginap beberapa hari di Negeri Tulehu. Tempat dimana Bung Ikhsan menghabiskan masa-masa sekolah SMA-nya.

Ajakan yang saya sambut dengan senang hati, karena Tulehu sebenarnya sudah sering saya dengar. Negeri ini memang dikenal sebagai “Kampung Sepak Bola”. 

Tak berlebihan Tulehu mendapat julukan yang langsung dikukuhkan oleh Menpora RI itu. Karena Negeri Tulehu telah melahirkan banyak pemain sepak bola profesional dan terkenal di Indonesia.

Tentu tidak asing lagi ditelinga pecinta sepak bola Indonesia nama-nama seperti Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuasalamony, Abduh Lestaluhu, Rizky Pellu, hingga yang lebih senior seperti Imran Nahumarury, Rahel Tuasalamony, Chairil Anwar Lestaluhu dan lainnya, adalah produk Negeri Tulehu.

Apalagi kedatangan saya ini persis dengan sedang berlangsungnya Turnamen Sepak Bola yang diikuti oleh angkatan saat bersekolah. Misalnya Bung Ikhsan adalah angkatan sekolah 97 (lulusan tahun 1997) adalah angkatan Resaka’97.

Turnamen ini bernama Liga Amal yang berlangsung setiap tahun, selain untuk mengumpulkan dana bagi kegiatan sosial, seperti pembangunan atau renovasi masjid, juga menjadi semacam mekanisme internal masyarakat di Negeri Tulehu dalam memajukan sepak bola. 

Itu nyatanya bukan isapan jempol, saat memasuki lapangan ‘legendaris’ Matawaru atmosfer itu mulai terasa. Hiruk-pikuk suporter berjejal memenuhi pinggir lapangan, meski masih ada ditengah Pandemi Covid-19.

Layaknya Piala Dunia atau World Cup, bila kita berada di dalam ‘stadion’ sederhana yang ada diujung Negeri Tulehu. Gegap gempita gemuruh sorak-sorai menggema, akan tetapi suporter tetap sportif tidak ada kerusuhan terjadi.

Apalagi setiap pertandingan dimulai, ada semacam perlombaan joget yang diiringi lagu ‘Caca Tulehu’, menambah panas dan semarak berjalannya Liga Amal. Ini menjadi semacam pembagian peran gender, karena yang berlomba joget adalah perempuan, sementara yang bertanding sepak bola adalah kaum pria.

Hari itu tepat tim Resaka’97 yang merupakan tim Bung Ikhsan yang diperkuat Bakri Umarella, eks pemain profesional yang pernah memperkuat Persela Lamongan bermain melawan Tim angkatan sekolah Rahel Tuasalamony yang pernah memperkuat Persebaya Surabaya. Sudah pasti pertandingan berlangsung seru.

Senang sekali, hari pertama datang ke Maluku langsung disuguhi dengan tontonan menarik, ditengah liga sepak bola yang lagi vakum karena dunia dilanda pandemi Covid-19. Membuat perjalanan saya kali ini benar-benar berkesan.

Langit mulai senja, azan magrib tak jauh dari lapangan mengakhiri pertandingan sepak bola hari itu. Kami pun meninggalkan lapangan Matawaru yang pernah menjadi setting film ‘Cahaya dari Timur: Beta Maluku’ yang turut diproduseri oleh sahabat saya Bung Ikhsan.

Kami harus pulang untuk beristirahat, karena besok akan mulai traveling ke beberapa destinasi wisata yang ada di Pulau Ambon. Seperti Pintu Kota, Pantai Natsepa, Pantai Liang hingga Air Panas Hatuasa di Negeri Tulehu, Kampung Sepak Bola.

Tulehu, 29 Desember 2020

Baca Juga  Perempuan Sebagai Arah Pembangunan

Penulis adalah Wakil Presiden LSM LIRA, ini adalah catatan hari pertama nya saat berkunjung ke Maluku