Pelauw yang Eksotis juga ‘Mistis’, Lahirkan Banyak Pejabat dan Intelektual

0
3683

Catatan: Irham Maulidy, HR, S.Sos, M.Sos 

Pagi itu, Rabu 30 Desember 2020 selepas Sholat Subuh, kami menyempatkan diri jogging sambil mengamati hiruk pikuk pasar ikan tradisional Tulehu. Sesekali kami menanyakan harga ikan hasil tangkapan nelayan yang dijajakan di bibir pantai.

Jangan ditanya mengenai harga, tentu sangat murah sekali, ikan tongkol sebesar paha pria dewasa saja harganya cuma Rp10.000 itu pun masih bisa ditawar dan bisa juga langsung dibakar. Bandingkan bila kita membeli di pasar tradisional Surabaya, pasti jauh di atas harga tersebut.

Setelah berkeringat, kami kembali ke penginapan dan terlibat diskusi kecil dengan Mas Ikhsan Tualeka, sahabat karib saya, mengupas tentang adat, tradisi, dan keadaan Negeri Pelauw kampung kelahirannya. Dan berhubung cuaca hari ini cerah, kami berencana nyebrang ke Pelauw di Pulau Haruku.

Di saat asik ngobrol, tiba-tiba kami dikejutkan oleh getaran bumi seperti lewat di bawah tempat duduk kami, ya itulah gempa yg menurut info BMKG berkekuatan 3,3SR dan berpusat di 9 KM Utara Ambon. Ini berarti persis di tempat yang saya tinggali.

Sontak, kami semburat lari keluar. Tapi setelah sadar kami merasa aneh sendiri, karena orang-orang disekitar kami biasa saja dengan aktivitas mereka. Rupanya gempa semacam ini sudah biasa bagi mereka. 

Karena diatas penginapan kami terdapat pemandian air panas yang berarti ada belerang/gunung berapi aktif, serta merupakan lempengan bumi (the ring of fire). Sehingga wajar sering terjadi gempa.

Negeri Pelauw, Negeri Sejuta Tradisi

Matahari semakin meninggi, kami segera berkemas menuju ke dermaga tradisional Tulehu. Dengan cekatan Mas Ikhsan memandu dan mengkoordinasi segala persiapan menuju Pelauw, mulai dari menyiapkan sewa speed boat sampai kuli panggul yang membawa koper dan barang bawaan kami.

Sekitar 1 jam speed boat membawa kami menuju Dermaga Cinta Pelauw Pulau Haruku (unik juga ya nama dermaganya). Setiba di Negeri Pelauw kami jalan kaki, karena memang cukup dekat, rumah Mas Ikhsan dengan dermaga, sekitar 200 meter saja. Bahkan terlihat jelas dari dermaga.

Kami langsung menuju Rumah Soa atau rumah tetua/leluhur yang dituakan, karena orang tua Mas Ikhsan saat ini sebagai salah satu tetua di klan/marga Tualeka. Sambutan ramah penuh keakraban dan persaudaraan dari beliau dan keluarga membuat saya sangat terkesan.

Marga Tualeka dan semua marga lainnya di Pelauw adalah keluarga atau keturunan para ulama. Banyak pejabat dan intelektual di Maluku berasal dari Negeri Adat ini, seperti Tuasikal, Latuconsina, Talaohu, Salampessy, Sahubawa, Tuakia, dan lainnya. (akan penulis kupas secara khusus).

Oh iya, selain Mas Ikhsan, saya kenal dengan beberapa orang Pelauw di rantau, ada Pak Alim Tualeka (Ketua Kadin Jawa Timur), Mas Edi Latuconsina teman kuliah saya di Universitas Bhayangkara, Mas Syarif Tuasikal yang merupakan aktivis di BEM waktu kuliah, Bara Tualeka adiknya Mas Ikhsan yang saat ini di tim manajer Persebaya Surabaya hingga Prilly Latuconsina rekan sama-sama di IndoEast Netwrok.

Baca Juga  Rendy Sihaya, Mahasiswa Unpatti Tewas Gantung Diri

Negeri adat ini rupanya memiliki banyak tradisi, yang selain unik karena hampir tak ada di belahan dunia lainnya, ada kesan ‘mistis’ yang saya rasakan. Ada cerita menarik, kalau di Negeri yang merupakan Ibukota Kerajaan Hatuhaha ini setiap tiga tahun sekali ada ritual kolosal kebal terhadap senjata tajam yang diikuti oleh ribuan peserta.

Kembali ke perjalanan ke Negeri Pelauw. Setelah tiba, kami rupanya ditempatkan oleh Mas Ikhsan di rumah Pak Alim Tualeka (Pak Lek-nya Mas Ikhsan) yang besar dan megah tepat di belakang Rumah Soa ‘Muhajirin’ yang saat ini ditempati ayah dari Mas Ikhsan. Oh iya, Rumah Soa itu akan ditempati bergantian oleh orang yang paling tua dalam silsilah keluarga.

Selepas Sholat Dzuhur, kami istirahat sejenak melepas penat dan lelah setelah hampir 1 jam diombang-ambingkan speed boat dengan kecepatan cukup tinggi. Saat di perjalanan tadi walau ada rasa mual, tapi tereliminir oleh pemandangan yang indah sepanjang mata memandang.

Jam menunjukkan pukul 15.00 WIT. Kami berkeliling Negeri Pelauw yang eksotis, sesekali menyapa sanak, family, dan tetangga untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan misi kami untuk memberikan beasiswa pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam – Roudlotut Tholibin III, terutama bagi anak-anak yatim, fakir, miskin dan kurang mampu.

Alhamdulillah respon masyarakat sangat antusias dan mulai merencanakan memondokkan anaknya di pesantren kami. Saya memang dipercayakan jadi Pimpinan Pondok semenjak Abah saya meninggal belum lama ini, dan saya berharap bisa mengambil banyak santri dari Indonesia timur.

Di tengah kampung yang agak berbukit, kami mampir ke Benteng New Horn peninggalan penjajah Belanda yang dibangun tahun 1656 Masehi. Di tempat ini masih ada sisa-sisa meriam, dan di depan Benteng yang berada persis di bibir pantai, telah dibangun semacam tempat bersantai sambil melihat lautan biru dan Pulau Seram yang tepat berada di seberang, indah nan menawan.

Pantai Yanain Indah Laksana Surga

Baca Juga  Tutup Turnamen Bola Voli INAMAC 2021, Berikut Harapan Widya Pratiwi

Dari namanya saja, sudah identik dengan keindahan Yanain (Bahasa Hatuhaha: Tempat ikan.red). Namun saya justru melihat seperti potongan Jannah yang jatuh ke bumi. Iya, dalam bahasa Arab Jannah adalah surga berarti pantai ini merupakan pantai surga dan begitulah realitanya.

Pasir putih nan lembut bagaikan tepung sangat terasa lembut saat kami menginjakkan kaki di pasir putih Pantai Yanain. Lokasi Yanain berada tepat sebelum pintu masuk Negeri Hulaliu. Konon Negeri Hulaliu merupakan kampung halaman penyanyi legendaris Glenn Fredly (Ibunda Glenn dari Hulaliu) dan presenter kondang Kick Andy, yaitu Andy F Noya.

Matahari beringsut menuju peraduan, Pulau Haruku sebentar lagi gelap. Rencana untuk bakar ikan dan menikmati sunset di Pantai Yanain urung kami lakukan, karena suasana sangat ramai dengan adanya pertandingan persahabatan sepak bola pemuda Negeri Hulaliu.

Kami segera bergegas meninggalkan Pantai Yanain dan singgah di Dusun Waimital. Dusun ini masih menjadi bagian dari petuanan Negeri Pelauw dan dihuni masyarakat asal Buton Sulawesi. Disini kami disambut Aisyah atau Ica, sahabat Mas Ikhsan saat masih sekolah SMP di Pelauw.

Berbagi Suami

Aisyah dan beberapa masyarakat menyambut kami di saung pinggir pantai seraya menyuguhkan makanan tradisional khas Buton. Apalagi kalau bukan Suami (bukan suami dalam arti keluarga yah).

Bahan dasar Suami ini dari Pohong/Ketela Pohon yang dibuat bentuk kerucut halus, disuguhkan bersama ikan bakar dan sambal terasi, serta kuah colo-colo (campuran asam, jeruk, tomat dan cabe) dengan ‘krupuk’ yang unik dari kelapa muda yang sedikit agak tua. Rasanya jangan ditanya, wow pastinya maknyusss mantap banget, apalagi memang saya suka dengan selera asin dan pedas.

Kuah colo-colo dan sambal terasinya serasa menari nari di lidah, ini pengalaman pertama makan Suami, dan kami sebut berbagi suami karena bentuk kerucutnya tersebut kita ambil bareng-bareng dengan dicubit dan dicelupkan ke colo-colo, baru disantap dengan nikmat. 

Setelah perut terisi, dan hari mulai gelap, kami kembali ke Negeri Pelauw untuk beristirahat, karena besok akan jalan-jalan lagi, eksplor pulau-pulau sekitar, sambil mencari calon santri yang siap ‘mondok’ di Jawa Timur. Hari pertama yang berkesan di Negeri Pelauw.

Pelauw, 30 Desember 2020

Penulis adalah Wakil Presiden LIRA, tulisan ini diambil dari blog pribadinya