Sosok Pemimpin yang Dibutuhkan Maluku

0
491

Hariman A. Pattianakotta

Maluku adalah provinsi besar. Maluku kaya dengan sumber daya alam. Tidak berlebihan kalau saya menyebut Maluku sebagai masa kini dan masa depan Indonesia.

Laut Maluku penuh ikan. Gas alam terbesar juga ada di situ. Pulau-pulau kecil di Maluku begitu berkilau, seindah mutiara di kepulauan Aru dan di pantai petuanan Kaibobu. Hamparan pasir putih dengan air yang jernih tampak begitu mempesona, dikitari oleh karang-karang yang gagah.

Maluku juga memiliki modal sosial dan budaya yang gemilang. Saat Indonesia diancam perpecahan karena politisasi SARA, Maluku yang pernah berdarah-darah mempunyai tradisi pela-gandong yang mempersatukan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam adat budaya Maluku memberikan cita rasa etika publik yang dapat memandu jalannya proses berbangsa dan bernegara, sembari mempertahankan alam yang lestari.

Sosok yang Dibutuhkan

Dengan modal yang besar itu, Maluku seharusnya tidak menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Ironi tersebut dapat terjadi karena salah urus. Maluku tidak dipimpin oleh orang-orang yang tepat, baik di level propinsi, kabupaten, maupun kota.

Gubernur, Bupati, Walikota, mereka tidak memimpin dan melayani, mereka hanya menjabat. Mereka hanya mengisi kursi kosong kekuasaan.

Oleh karena itu, menyongsong Pemilu 2024, Maluku harus memiliki pemimpin baru. Tiga indikator ini perlu dimiliki oleh calon pemimpin baru Maluku.

Pertama, kompetensi. Maluku harus dipimpin oleh orang yang berkompeten. Lihat saja, kota Ambon yang selama ini menjadi barometer sudah terlihat padat dan kumuh.

Mengapa? Sebab kota Ambon menjadi pusat segala-gala. Ambon menjadi pusat, tetapi Ambon pun menjadi pengap. Kota tua ini tidak menjelma menjadi kota modern yang maju dan cerdas.

Berbarengan dengan itu, daerah-daerah lain tidak tumbuh. Kabupaten-kabupaten baru di pulau Seram, di Buru, atau di wilayah Selatan tetap tertinggal. Ukurannya apa? Sederhana saja.

Baca Juga  Quo Vadis Negeri Adat di SBB? Menanggapi Tulisan Hariman Pattianakota

Tidak ada perguruan tinggi yang bagus yang dibangun di sana. Tidak ada rumah sakit dan puskesmas-puskesmas yang berkualitas. Dan, yang kasat mata, penduduknya tetap miskin.

Tidak ada ekonomi kreatif yang tumbuh pesat. Dengan pantai-pantai yang indah, pulau-pulau yang bagus, Maluku tidak tumbuh sebagai kawasan wisata yang diminati. Kenapa? Infrastrukturnya begitu buruk. Transportasi begitu mahal.

Lebih murah jalan-jalan ke Singapura, daripada mengunjungi pantai Ora yang indah di pulau Seram itu. Apalagi, menyeberang ke kota Tual untuk menikmati pasir putih tengah laut? Mahal sekali!

Jadi, memang dibutuhkan pemimpin dengan kompetensi. Pemimpin yang punya visi, misi, strategi, dan program yang kuat dan konkret. Bukan sosok yang asal popular. Apalagi, calon yang bermulut manis dan yang hanya bisa menempelkan poster di mana-mana.

Kedua, Maluku butuh orang yang berkarakter. Karakter adalah kualitas personal yang dihasilkan karena values yang diyakini dan dihidupi.

Tidak soal pemimpin itu agamanya apa. Yang menjadi soal adalah kalau nilai-nilai agama itu tidak dihidupi. Ajaran lain, perilaku lain. Dilatih dan diajar untuk jujur, bersih, malah korupsi dan dan menyalahgunakan kekuasaan. Sewaktu kampanye ngomong manis, sewaktu menjabat suka memaki dan ngomong pedas. Yang begini yang tidak boleh.

Pemimpin memang harus punya karakter yang kuat, tetapi bukan otoriter. Pemimpin kuat itu berpegang pada kebenaran. Ia teguh pada janji dan mewujudkannya. Jika berjanji memindahkan ibu kota provinsi dari Ambon ke Seram, maka hal itu yang dikerjakan.

Kecuali, pemindahan ibu kota itu tanpa kajian dan tanpa perencanaan yang matang.Tetapi masa iya? Pemimpin Maluku harus punya nyali. Harus berani, bahkan terkadang harus nekat, sebab Maluku sudah terlalu jauh tertinggal.

Baca Juga  Momentum Sumpah Pemuda, Inspirasi Transformasi Digital Telkomsel dalam Akselerasikan Negeri

Ketiga, Maluku butuh orang yang punya rekam jejak yang baik. Kalau gagal menjadi bupati, tidak perlu diangkat menjadi gubernur. Kalau bagus dalam pengabdian di tempat-tempat tertentu di level lokal dan nasional maka layak dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Orang yang setia dalam perkara kecil, pantas mendapatkan kepercayaan yang lebih besar.

Kalau menjadi pengurus masjid atau pengurus gereja lokal tertentu saja tidak becus, bagaimana mau mengurus masyarakat luas? Urus RT saja tidak bisa, bagaimana mau urus desa. Tidak bisa!

Menjadi Pemilih Cerdas

Itu sebabnya, masyarakat juga harus menjadi pemilih cerdas. Jangan hanya karena saudara semarga, saudara sekampung, atau karena satu agama, kemudian kita memilih.

Sejujurnya, alasan-alasan primordial itu tidak bisa kita hilangkan sama sekali, tetapi kita tetap harus menjaga kejernihan berpikir dan bersikap. Tanpa pikiran dan hati nurani yang jernih, kita akan menjadi fanatik buta.

Fanatisme tidak akan pernah membawa kepada kemajuan. Sebaliknya, banyak sejarah di dunia ini memperlihatkan, fanatisme itu hanya berbuah petaka.

Maluku memiliki adat budaya yang terpuji. Pela gandong tidak mengajarkan orang Maluku untuk fanatik. Juga tidak mengajar kita untuk nepotisme.

Pela gandong justru mendidik orang Maluku untuk terbuka dan bekerja sama secara konstruktif, dan mau memberikan kepercayaan pada putra atau putri terbaik.

Pemilih cerdas akan memilih dengan melihat kompetensi, karakter, dan rekam jejak. Ingat, yang dicari ini adalah pemimpin, bukan sekadar menempatkan orang tertentu untuk mengisi kursi kosong.

Penulis adalah pendeta dan dosen di Universitas Kristen Maranatha