Sejarah Mencatat 17 Agustus 1945 Adalah Hari Perkabungan Bagi Orang Maluku

0
28945
Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI)
Oleh: Hendry Reinhard Apituley, SH. MH.
“Pada hari ini, sabtu, tanggal 17 Agustus 2019, seperti setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, selalu dirayakan dengan penuh suka cita dan dengan penuh gegap gempita – termasuk oleh orang Maluku sebagai hari kemerdekaan dari suatu negara yang bernama Republik Indonesia. Sehingga, mungkin tidak seorang pundi antara orang Maluku yang memperingati hari tersebut sebagai HARI PERKABUNGAN untuk mengenang kembali sesama orang Maluku yang tewas dibantai oleh para pembela Republik Indonesia segera setelah negara tersebut diproklamasikan kemerdekaannya pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, 74 tahun silam”.

Pembantaian Orang Ambon

Saat itu, 74 tahun lalu, di Jakarta, Pembunuhan yang mengagetkan dimulai dengan Boma Latupeirissa di Jatinegara … Keluarga Lopies di Pasar Minggu … termasuk anak-anak dan seorang pemuda yang pada siang hari ketika sedang mengendarai mobil, juga dianiaya …Keluarga Agus Souisa, isterinya, kedua saudara perempuan, serta kedua anaknya, satu demi satu ditikam dengan senjata tajam … Keluarga Lukas Polhaupessy mengalami situasi yang sama … Boetje Tahalele (bekerja sebagai dokter di Jerman) yang melakukan tugas itu di Jatinegara, dibacok … Henk Wattimena dan keluarganya berhasil lolos dari pembunuhan yang kejam … Ibu-ibu yang berbelanja mulai diancam … Pemuda-pemuda Tanjung Priuk sudah harus mengamankan beberapa pria Ambon dari penganiayaan di pelabuhan … di belakang stasiun Jatinegara orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar-masuk gang tempat tinggal mereka (de Fretes, Johannes Dirk (2007) Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex, dan Kubuku, h. 58-68).

Keadaan masyarakat Maluku di Jawa Barat sangat memerlukan perhatian. Keluarga-keluarga yang terancam tidak tahu mau cari perlindungan ke mana …Sementara di Surabaya-Jawa Timur, perempuan dan anak-anak orang Maluku serta warga sipil orang Belanda dibunuh di Gedung Balai Pemuda-Simpangsoos. Banjir darah di Surabaya. Seluruh lantai marmer di gedung tersebut terlapisi darah setinggi mata kaki orang dewasa … seorang ibu Ambon yang berambut panjang ditarik rambutnya dan diseret di jalanan, sementara dua orang anak lelakinya yang baru berusia 7 dan 10 tahun menangis dan menjerit sambil memegang kuat sarung sang ibu, sambil kedua anak itu menyaksikan ibunya ditikam dengan bambu runcing dan dicincang bersama dengan korban lain yang dibunuh secara masal di tengah alun-alun Sidoardjo (Luhulima sebagaimana dikutip oleh Butje Hahury dalam tulisan berjudul ‘Soekarno Perintah Bunuh Bangsa Maluku di Jawa, “Soekarno Verklaart Oorlog Aan Indo’s, Menadonezen, En Ambonezen).

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas adalah sebagian kecil yang diketahui terjadinya secara pasti dari banyak peristiwa yang tidak diketahui kejadiannya. Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh J. D. de Fretes dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 68 bahwa, “Bukan saja disana-sini terjadi penganiayaan dan pembunuhan sampai pelosok-pelosok (kampung) tetapi di mana saja orang Ambon berada. Maka teriakan, ‘SIAAP’, dari rakyat sudah menunjukkan bahwa tiap saat orang Ambon dapat diserang. Bagi orang Ambon tidak ada sesuatu yang begitu melelahkan dan keputus-asaan seperti rasa takut itu sendiri (tanpa sanggup bikin apa-apa). Orang-orang Ambon ini telah didorong untuk menyelamatkan nyawanya dari kemerdekaan yang mengancam dan membunuh”.

Foto ini diambil dari cover buku Kebenaran melebihi persahabatan : (Aristoteles kepada Plato) oleh penulis, Johannes Dirk de Fretes.
Tindakan penyelamatan terhadap kurang lebih 30.000 nyawa orang Maluku yang sedang terancam di pulau Jawa dan Madura, dilakukan sendiri oleh sesama orang Maluku yang tinggal di pulau Jawa. Beberapa di antara mereka itu adalah, Abdul Mutalib Sangadji, Muhammad Padang, Alberth Latuasan dan Nono Tanasale sebagai pemimpin yang karena sangat marahnya sampai menyebut REPUBLIK INDONESIA sebagai REPUBLIK TAI.J. D. de Fretes memberikan kesaksian dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 78 &104, bahwa :
Sesuai dengan laporan dari pasukan Maluku, maka sekelompok pasukan kecil di bawah komando Egmond Pattinama bersama saya berangkat dengan truk ke pegunungan Mojokerto.
Kami bertemu beratus-ratus keluarga Maluku yang kebanyakan terdiri dari wanita, orang tua dan anak-anak, di dua pegunungan. Keadaannya sangat menyedihkan. Ditambah lagi iklim dingin yang luar biasa. Mereka kami temukan pada malam hari dan saya melihat mereka tidur berderetan di tanah yang dingin. Saya harus menggunakan lampu minyak tanah untuk dapat melihat mereka.

Saya masih ingat sewaktu memeriksa keadaan mereka, sekonyong-konyong saya dengar seorang ibu terbangun dari tidurnya dan berteriak, “Nani se cari Beta pung anak dolo, dorang siksa dia barangkali dia su mati!”. Ibu itu adalah ibu Patty, Isteri Pendeta Patty di Surabaya. Anaknya adalah Bram Patty, seorang negarawan muda.

Menurut laporan, memang beberapa pemuda Ambon ditangkap dalam perjalanan mengungsi ke pedalaman. Egmond sebut nama opsir dari pasukan yang menangkapnya kalau saya tidak salah namanya Sabaruddin. Sabaruddin menurut Egmond selalu menuduh orang-orang Ambon yang ditangkap sebagai mata-mata.

Dengan truck kami menuju ke arah pegunungan, ke markas Sabaruddin itu. Sesudah berbicara dengan Kepala Pasukan di situ (Sabaruddin sendiri tidak mau hadir) maka lima atau enam orang pemuda Ambon dikeluarkan dengan keadaan pucat, kurus, dan hanya seperti tulang dibungkus kulit. Karena pemuda-pemuda Ambon ini berhari-hari tidak makan, sampai ada yang makan rumput.

Aktor Para Eksekutor

Baca Juga  Kembali Ambon Di Guncang Gempa Berkekuatan 3,5 Magnitudo

Penderitaan yang dialami oleh orang-orang Maluku di pulau Jawa seperti tersebut di atas merupakan akibat dari sebab adanya tindak kekerasan berupa ancaman, penyerangan, penganiayaan, perkosaan, penyiksaan hingga pembunuhan yang dilakukan oleh BARISAN PELOPOR sebagaimana terbukti dalam MAKLUMAT PERANG BARISAN PELOPOR yang diterbitkan di Jakarta pada hari minggu, tanggal 9 September 1945 yang menyatakan bahwa, “kelompok-kelompok ‘tersebut’ (Indo, Ambon, dan Manado) harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. mereka harus dibunuh di tempat kediaman mereka, mereka harus dilingkari kawat berduri, sumur, dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka”.

Maklumat Perang Barisan Pelopor ini terlihat dimana-mana, di pohon, di dinding, di kantor, dan sebagainya. Bahkan di surat-surat kabar berhaluan Negara Republik Indonesia juga memberitakan dengan huruf besar AMBON ANJING NICA.

Akibat dari Maklumat Perang tersebut memang hebat karena pembunuhan dan penganiayaan atas orang-orang Ambon meningkat sekali. Sesudah maklumat perang itu, keadaan masyarakat Maluku sangat ruwet. Kekejaman terhadap wanita dan anak-anak orang Ambon bertambah terus (de Fretes, 2007: 74).

BARISAN PELOPOR adalah pasukan pemuda sipil yang dipersenjatai, dengan Presiden Koesno Sosrodihardjo alias Presiden Sukarno sendiri menjadi ketua dari Barisan Pelopor tersebut. Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Sukarno dalam halaman 266 dari buku yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh Yayasan Bung Karno bahwa, “Barisan Pelopor, pasukan pemuda sipil dimana aku menjadi ketuanya, dipersenjatai”.

Dalam tubuh Barisan Pelopor itu sendiri terdapat BARISAN PELOPOR ISTIMEWA yang terdiri dari kurang lebih 100 pemuda pilihan yang dipimpin oleh Sudiro sebagai pengawal dan utusan pribadi Presiden Sukarno (Kasenda, Peter (2015) Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (1942-1945).Jakarta:Kompas, h. 101).

Jika merujuk pada kenyataan sebagaimana tersebut di atas, makamerupakan suatu perihal yang sangat wajar kalau beberapa surat khabar di negeri Belanda, seperti surat khabar Volkskrant, dan surat khabar Rotterdamsekrantmenurunkan tulisan tentang Maklumat Perang Barisan Pelopor tersebut dibawah ‘Kepala Berita’ (head-line) yang berjudul,“Sukarno Menyatakan Perang Kepada Orang-orang Indo, Menado, dan Ambon(Soekarno Verklaart oorlog aan Indo’s, Menadonezen, en Ambonezen)”(de Fretes, 2007: 76).

Baca Juga  Politik Dinasti, Hasilkan Ketidaksetaraan Hak Politik, Serta Ancaman Eksistensi Demokrasi

Sebelumnya, pada hari kamis, tanggal 16 Agustus 1945 – sehari sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka, pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945 – ‘Wikana’ (salah seorang anggota ‘Angkatan Pemuda Indonesia’ (API) pimpinan Sukarni dan Chairul Saleh) telah mengatakan kepada Sukarno untuk membunuh ‘orang-orang Ambon’ (sebutan untuk orang-orang Maluku pada saat itu)(Hatta, Mohammad(2015) Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977)Jakarta: Kompas, h.218).

Diam Bukan Emas

Selama kurun waktu terjadinya tindak kekerasan terhadap orang-orang Maluku dalam wilayah Negara Republik Indonesia, Sukarno ternyata mengambil sikap ‘masa bodoh’(apatis) dengan membiarkan tindak kekerasan itu terus terjadi atas orang-orang Maluku.

Dalam perihal ini, Sukarno dengan secara sengaja dan tanpa niat baik telah tidak menggunakan kekuasaan dan wewenangnyas ebagai Presiden Negara Republik Indonesia pada saat itu untuk mengakhiri seluruh tindak kekerasan yang terjadi atas orang-orang Maluku.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, orang-orang Maluku telah mengalami diskriminasi, dan mendapat perlakuan yang tidak adil bahkan tidak manusiawi. Nyawa orang Maluku tidak ada harganya sama sekali dimata Sukarno, sehingga Sukarno lebih memilih untuk bersikap acuh tak acuh terhadap tindak kekerasan yang sedang dialami oleh orang-orang Maluku yang notabene adalah warga Negara Republik Indonesia juga yang memiliki hak yang sama dan sederajat dengan Warga Negara Republik Indonesia lainnya untuk mendapat perlindungan sepenuhnya dari Sukarno sebagai Presiden Negara Republik Indonesia.

Bahkan Sukarno mengambil sikap negative dengan tidak memberikan persetujuan dan menyatakan sebagai suatu tindakan separatis terhadap permohonan Mr. Johannes Latuharhary dalam jabatannya sebagai Gubernur Daerah Maluku pada waktu itu untuk membuka kantor Gubernur Daerah Maluku di pulau Jawa dan di pulau Sumatera supaya segala persoalan di daerah Republik Indonesia tentang orang-orang Maluku yang sedang mengalami tindak kekerasan pada saat itudapat ditangani oleh Gubernur Daerah Maluku yang untuk sementara sedang berdomisili di jakarta.(de Fretes,2007: 82).

Kebencian Yang Mematikan

Sikap Pasif dan negatif yang ditunjukkan oleh Sukarno dalam kedudukannya sebagai Presiden Negara Republik Indonesia dalam menangani peristiwa pembantaian orang-orang Maluku initelah memunculkan beragam pendapat tentang alasan yang melatarbelakangi keputusan Sukarno untuk mengambil sikap yang sedemikian itu.

Alasan dimaksud, mungkin dapat ditemukan dalam pandangan Sukarno sendiri tentang orang Maluku sebagaimana yang diungkapkan oleh Horst Henry Geerken dalam halaman 161 dari bukunya yang berjudul ‘A Magic Gecko Peran CIA Di Balik Jatuhnya Soekarno’yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh penerbit Kompas bahwa, “Karena itu, mudah memahami kebencian Soekarno terhadap masyarakat Ambon.

Di mata Soekarno, orang Ambon lebih rendah daripada yang terendah, kolaborator Belanda sehingga dianiaya dengan kekerasan oleh pasukannya”.Kebencian Sukarno terhadap orang-orang Maluku juga tampak dalam pidato-pidato Sukarno yang sangat anti-Sekutu saat masa pendudukan Jepang di Hindia-Belanda pada tahun 1942. Dimana orang-orang Maluku di-cap dan/atau di-stikmatisasi sebagai kaki tangan sekutu yang anti-kemerdekaan, sehingga orang-orang Maluku dimusuhi oleh semua orang lain.

Puncak dari kebencian Sukarno terhadap orang Maluku adalah ketika orang Maluku memilih untuk tidak bergabung dengan Negara Republik Indonesia melalui pembentukan Negara sendiri yaitu, ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) pada hari selasa, tanggal 25 April 1950. Setelah sehari sebelumnya yaitu, pada hari senin, tanggal 24 April 1950, dilakukan plebisit dan/atau referendum pra gabung sebagai salah satu mekanisme implementasi ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the right of self-determination) dalam arti pasif dari rakyat Maluku melalui pemungutan suara negative oleh ‘Dewan Maluku Selatan’ (DMS) disuatu negeri muslim yang bernama TULEHU (Parker, J. D. Karen (1996) Republik Maluku: The Case For Self-Determination. Los Angeles-California: HLP/IED & AHL, h. 15).

Baca Juga  Pedagang Pasar Mardika Abaikan Protokoler Kesehatan

Sekalipun tindakan orang Maluku tersebut di atas adalah sesuai dengan berbagai perjanjian yang dihasilkan dalam ‘Komperensi Meja Bundar’ (KMB) di Den-Hag Negeri Belanda pada hari selasa, tanggal 27 desember 1949 yang salah satu dari perjanjian itu adalah Perjanjian Ketiga tentang ‘Langkah-langkah Peralihan dan/atau Transisi’ (transition strides), dan Konstitusi Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) tahun 1950 yang masih sah berlaku pada saat itu, tetapi Sukarno yang lebih memilih untuk mempertahankan Maluku agar tetap berada dalam kekuasaan Indonesia kemudian mengirimkan sebanyak kurang lebih 20.000 orang tentara Angkatan Darat, 3 unit pesawat pembom Angkatan Udara, dan 14 unit kapal perang Angkatan Laut dalam suatu ‘operasi gabungan’ (Joint Operation) yang pertama dan yang terbesar sejakberdirinya Negara Republik Indonesiadengan nama ‘Gerakan Operasi Militer’ (GOM) III guna menggagalkan pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Maluku tersebut di atas.Serangan yang melanggar ketentuan Hukum Internasional ini (AGRESSION) telah membunuh sebanyak kurang lebih 10.000 orang Maluku. AGRESI ini, dengan sendirinya telah menambah panjang daftar orang Maluku yang harus mati dibunuh oleh orang Indonesia lainnya hanya untuk memenuhi ambisi Sukarno dalam mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia, dan kemudian – pada saat ini: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Geerken, 2011: 161).

Namun demikian, untuk memikat hati orang-orang Maluku agar tetap berada dalam bingkai ‘Negara Republik Indonesia’ (sekarang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)) dengan melupakan peristiwa pembantaian orang-orang Ambon tersebut di atas, maka Sukarno membuat paradoks melalui kalimat,‘Indonesia tanpa maluku bukan Indonesia. Suatu kalimat yang hingga saat ini – dan mungkin, nanti untuk seterusnya–selalu diucapkan oleh para avonturier, oportunis, dan hipokrit secara berulang-ulang seperti burung beo dan/atau burung Kakaktua.

Sesunguhnya, paradoks tersebut di atas telah membuktikan dengan sendirinya karakter Sukarno sebagai seorang manusia yang tidak konsisten antara kata dengan perbuatan seperti ungkapan dalam peribahasa, lain dibibir, lain dihati dan/atau bicara Laeng, biking Laeng, untuk menyatakan dengan secara lebih halus, perbuatan menipu/berbohong/parlente. Akan tetapi -apapun juga alasan pembenarnya -berbohong demi keutuhan Negara Republik Indonesia sama saja dengan mendirikan Negara Republik Indonesia diatas dasar kebohongan.

Jika faktanya adalah sebagaimana yang demikian, maka tanggal 17 Agustus sebenarnya tidak layak untuk dirayakan sebagai hari kemerdekaan dengan penuh suka cita dan dengan penuh gegap gempita, tetapi lebih layak untuk diperingati sebagai “HARI PERKABUNGAN” dengan penuh duka cita dan dengan penuh khitmat – kecuali orang Maluku telah kehilangan ‘rasa memiliki’ (sense of belonging) terhadap sesama orang Maluku sendiri -sebab setelah tanggal 17 Agustus 1945 hingga saat ini, dalam rentang waktu 74 tahun, yang ada hanya ‘kebencian, kebohongan, dan pembunuhan’ (sebagai ‘kata kunci’(key-word)) yang kian hari menjadi kian tidak terkendali dari waktu ke waktu. (T05)

Penulis Adalah : Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon