Generasi Deeply Enjoyable

0
883

Oleh : Armia Tuheteru

Kita hidup dalam sebuah nomenklatur zaman yang fluktuatif, yakni naik-turun, dalam seruan-seruan teknologi yang dinamis; informasi yang simpang siur; beserta perilaku manusia yang semakin vulgar mengatasnamakan kebebasan berekspresi.

Sebagai pelanjut tongkat estafet peradaban, kita disodori ratusan pilihan yang berserakan (dispersi). Pilihan yang seringkali tidak mudah.

Namun kita dituntut untuk memilih dininabobokan oleh serba-instan yang dirancang secara hegemonik atau membuat skema pengembangan diri yang jauh dari kebahagiaan konstan.

Sayangnya, banyak yang memilih dan terjebak pada pilihan pertama. Manusia sebagai makhluk yang haus akan kebahagiaan menjadi mabuk akan kebahagiaan itu sendiri.

Ditambah kebahagiaan yang sekarang sangat mudah ditemukan mengubah manusia yang tadinya sebagai makhluk ‘survival’ menjadi makhluk ‘deeply enjoyable’.

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi adalah penggunaan gadget dan media sosial sebagai bagian kehidupan individu yang urgent dan vital.

Dilansir dari laman ‘We Are Social’ menyebutkan, ada setidaknya 212,9 juta pengguna internet di Indonesia dari keseluruhan populasi sebanyak 276,4 juta orang. Dimana pengguna internet mengalami kenaikan sebanyak 5,2 persen atau 10 juta dari tahun 2022.

Penggunaan sosial media berbasis Internet yang tidak terakomodir dan terasosiasi dengan baik menjadi semacam ‘duri dalam daging’ bagi perkembangan generasi. Lagi-lagi media sosial dijadikan candu kemanusiaan yang memabukkan dan dijadikan sumber kebahagiaan konstan.

Media sosial yang notabene ditujukan untuk memudahkan sistem komunikasi dan informasi menjadi tergerus maknanya.

Generasi muda lebih memilih untuk berselancar di internet menelusuri hal-hal yang trending serta up to date dibandingkan menggunakannya sebagai sarana pengembangan diri.

Hal ini terlihat dari hasil pencarian mayoritas yang trending di mesin pencari ‘Google’ pada tahun 2022 yakni: “apa itu bestie”

Baca Juga  Hentikan Rasisme dan Kekerasan

Jadi sudah saatnya kita menyadari dampak negatif dari penggunaan sosial media berbasis internet yang berlebihan, yaitu syndrom ‘fear of missing out’ (FOMO) atau ketakutan akan ketinggalan sesuatu hal.

Disebabkan syndrom ini akan terus melilit perspektif seseorang terhadap realita kekinian, maka ia akan terus aktif di media sosial dengan mengorbankan waktu produktif dan kreatifnya. Pada titik tertentu, ia tidak bisa terlepas barang sejenak pun dari media sosial.

Kini, pilihan satu-satunya ada pada diri kita selaku generasi bangsa. Apakah kita ingin terus menerus terjangkit sindrom FOMO dan menjadi manusia deeply enjoyable yang memproduksi kebahagiaan jangka pendek berulang-ulang.

Ataukah kita mau menepi sejenak dan mulai menggunakan media sosial untuk hal-hal penting dan produktif bagi diri kita untuk masa depan yang lebih baik. Semua tergantung masing-masing kita, dan itulah cermin dari kapasitas kita.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Darussalam Ambon, aktif di Komunitas Penulis Maluku