“Kalo ada yang menyebut dari kampung di wilayah pegunungan, sudah pasti diidentikan dengan sekelompok masyarakat yang tertinggal dan bodoh”
Oleh: Saman Amirudin Patty
Bicara tentang masalah orang-orang Pegunungan Pulau Seram, memang tidak ada habis-habisnya. Dari isu kesejahteraan, masalah pendidikan, kesehatan dan lainnya, sampai detik ini belum ada perhatian pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana itu di sana. Dalam tulisan ini saya sedikit berani menyebut mereka sebagai orang-orang kalah.
Sejak awal sebutan pegunungan sebenarnya kita pahami dalam konteks perbedaan geografis dan teritorial saja. Akan tetapi akhir-akhir ini justru menunjukkan sebuah stereotip dimana kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan dan kemelaratan menumpuk di sana.
Kalo ada yang menyebut dari kampung di wilayah pegunungan, sudah pasti diidentikan dengan sekelompok masyarakat yang tertinggal dan bodoh.
Jadi stereotip ini yang kemudian disampaikan secara berulang-ulang, menyebabkan masyarakat di pegunungan Pulau Seram itu dikalahkan sejak di dalam pikiran. Akibat narasi kebodohan dan diksi ketertinggalan ini diutarakan secara berulang-ulang.
Padahal jika kita bandingkan dengan masyarakat di pesisir, masyarakat pegunungan justru memiliki segudang kekayaan sumber daya alam hayati yang banyak. Seperti Kayu, Damar, Cengkeh dan lainnya.
Semua itu jika diberdayakan secara baik, maka akan melahirkan kesejahteraan masyarakat yang ada di pegunungan. Dengan begitu masyarakat setempat bisa menikmati pendidikan yang baik.
Kemudian, kesejahteraan yang ditawarkan kepada masyarakat pegunungan pun sangat manipulatif. Saya punya beberapa pengalaman yang saya dapatkan langsung dari beberapa daerah di pegunungan.
Investor membeli tanah untuk perkebunan kelapa Sawit maupun Perkebunan Tebu atau membangun perusahaan kayu dari masyarakat adat di pegunungan adalah dengan menawarkan Handphone seperti Samsung dan BlackBerry, padahal masyarakat setempat secara jelas tidak memiliki sinyalnya daerah tempat tinggalnya.
Atau diberikan mobil Innova Bekas yang di beli dari Jakarta lalu ditawarkan kepada masyarakat yang minim pengetahuan terutama dalam menggunakan mobil tersebut asal dapat menjual lahannya.
Di sisi lain, pada tataran demokrasi, Masyarakat Pegunungan ini justru hanya dijadikan sebagai alat politik untuk dieksploitasi suara mereka, janji-janji palsu yang disampaikan para politikus lokal yang berkampanye dengan berbusa-busa, akan tetapi setelah konstelasi politik selesai kemudian mereka ditinggalkan.
Mesin-mesin demokrasi seperti partai politik justru menampilkan demokrasi prosedural dengan jargon-jargon kesejahteraan yang manipulatif, paradoksal dan ambigu. Sehingga masyarakat di pegunungan hanya bisa dibeli suaranya setelah itu kemudian dibiarkan berada dalam kemiskinan dan ketertinggalan dan kebodohan.
Infrastruktur pendidikan tidak di bangun, infrastruktur kesehatan tidak dibangun, infrastruktur jalan tidak dibangun. Semua yang menjadi kebutuhan dasar tidak dibangun.
Mirisnya lagi, Pegawai Negeri sipil yang ditugaskan di pegunungan seperti Guru, Dokter, Bidan maupun mantri kesehatan adalah oknum-oknum ASN yang bermasalah dan menjadikan wilayah pegunungan sebagai tempat buangan bagi ASN yang tidak patuh ataupun minim sumberdaya.
Miris, tapi itu faktanya. Merupakan realitas orang pegunungan adalah potret sekelompok masyarakat yang diidentikkan dengan orang-orang kalah atau dikalahkan. Dikalahkan di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah.
Seruput Kopinya Kawan!
Catatan ini diambil dari halaman Facebook penulis