TABAOS.ID,- Orang-orang Tobelo di Maluku Utara memiliki alam pikirannya sendiri yang khas. Mereka terbiasa dengan seremoni dan pesta, tetapi hal itu merupakan solusi.
Mereka juga tidak berfilsafat ilmiah, tetapi mereka taat pada kebiasaan-kebiasaan yang berciri filosofis, seperti pertanyaan, “Mengapa semua terjadi?” kejadian-kejadian di lingkungannya untuk kesimpulan.
Mereka mensistematisasi mencari Orang Tobelo beralih ke agama Kristen pada penghujung abad ke-19. Walaupun misi Kristen cukup kuat, tetapi unsur-unsur tradisional yang telah berabad-abad mereka pegang tetap tidak hilang.
Dalam pandangan hidup orang Tobelo, terdapat pandangan bahwa manusia itu terdiri dari rohe, gikiri (nyawa), dan gurumini. Rohe berarti jasmani atau apa yang tampak dari luar; gikiri atau nyawa terjemahan bahasa Indonesianya juga nyawa; sedangkan gikiri dalam bahasa Galela dan Ternate berarti giki, yang diartikan asal.
Sedangkan, gurumini diartikan sebagai jasmani yang tumbuh bersama anak hingga menjadi dewasa dan kuat (Amal, 2012:18). Jika seseorang sakit, maka orang Tobelo meyakini bahwa sakit itu bukanlah karena dosa manusia kepada Jou Madutu (Tuhan yang sebenarnya) tetapi karena pelanggarannya terhadap adat.
Jou Madutu tidak mempunyai peran dalam hal ini. Ia hanya berperan dalam kehidupan dan kematian mereka sesuai dengan pandangan mereka bahwa Jou Madutu adalah pemberi kehidupan yang dapat pula mengambil kehidupan tersebut dari manusia.
Orang Tobelo juga mengenal apa yang disebut Wongemi, yaitu pemberian semacam semangat kesukuan kepada nenek moyang mereka yang paling dihormati dan terkenal. Orang Tobelo ikut memikirkan dan menghormati nenek moyang yang paling berjasa, termasuk yang paling berani di kaumnya.
Mereka mengenal Tingidu sebagai pemimpin Hoana Lina, Hibualamo dan Gura; Tuada sebagai pemimpin Hoana Hubata Tutuhuru; dan Leme untuk Hoana Momulate (Amal 2012: 20). Mereka juga percaya pada roh-roh jahat. Salah satu roh yang paling terkenal adalah tokata.
Dalam totoade (cerita-cerita), banyak diceritakan tentang roh-roh jahat dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat dijumpai di hutan-hutan, bahkan dalam kehidupan manusia, seperti nenek-nenek atau orang yang baru meninggal. Roh yang paling ditakuti adalah meki yang dikirim seseorang kepada lawannya untuk dibunuh.
Dalam bidang kesenian, selain tifa, orang Tobelo memiliki alat musik lain baik yang ditiup atau digesek, seperti fiol yang disebut dengan arababu. Arababu mirip fiol yang memakai senar pada tempat penyetelnya. Sebelum memainkan, arababu disetel terlebih dahulu.
Arababu terbuat dari kayu atau bambu kecil. Selain itu, juga ada o bangilela yang terbuat dari bambu berupa suling dengan lubang-lubang di bawah tiupan (mulut). Sulepe juga dipakai sebagai alat musik. Bentuk sulepe mirip dengan alat musik troubadours yang di Eropa pada abad pertengahan dibawakan oleh seorang pemuda untuk menyatakan kasihnya kepada seorang gadis.
Alat musik ini biasanya dimainkan secara personal. Suatu waktu, ketika Sultan Ternate berkunjung ke Tobelo, tanpa dirayakan, datang seorang perempuan muda menyambut Sultan dengan memainkan salah satu dari alat-alat musik tersebut.
Ia naik ke atas perahu dan memainkannya. Sultan dan para penjemput kaget, tetapi perempuan muda itu terus bernyanyi sehingga semua penjemput pun turut menyanyikan lagu tersebut (Amal, 2012:111-112).
Sumber: Disadur dari buku “Mappatamma (Perlindungan Perempuan dan Anak Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia” oleh Tim Penulis Agupena, 2016:74-76)
Ketgam: Seorang pria tobelo (o’hongana/togutil) kerasukan dan ditenangkan oleh beberapa temannya, Halmahera 1980. Post Facebook: Muhammad Diadi.