Menaja Tiga Tungku Literasi di Maluku: Sebuah Telaah Konstruktif Dua Tahun Kepemimpinan Murad Ismail

0
2057

“Pengukuhan Widya Murad Ismail, sebagai Bunda Literasi itu memiliki andil besar dan sebagai pengejawantahan implementasi dari visi dan misi Presiden Joko Widodo tahun 2020-2024 tentang peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), agar generasi Maluku mampu bersaing dalam kompetisi global.”

Oleh: Muhamad Nasir Pariusamahu

Dalam bimtek Instruktur Literasi Tingkat Nasional tahun 2019, salah satu narasumber menyampaikan bahwa vitalitas budaya suatu bangsa sangat ditentukan oleh perilaku literasi yang tertanam di dalam suatu bangsa. Beliau mengutip John W. Miller, Presiden CCSU.

Sebuah pertanyaan, dalam dua tahun kepemimpinan Gubernur Maluku, Murad Ismail apakah perilaku literasi yang tertanam pada masyarakat Maluku sudah terkategori baik? Mari kita merenungi data yang dipotret oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kemdikbud Ristek tahun 2019 tentang aktivitas literasi di 34 provinsi. Menurut datanya, Maluku berada pada angka indeks 33, 52 yang termasuk level literasi rendah.

Tahun 2010, riset UNESCO berjudul The Social and Economic Impact of Literacy dirilis. Riset itu mengatakan tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan proses pendidikan, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial, dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan politik.

Apalagi menurut Gubernur Maluku Murad Ismail dalam sambutan yang dibacakan Sekretaris Daerah saat pengukuhan Bunda Literasi Maluku, disebutkan bahwa tahun 2020, nilai tingkat kegemaran membaca masyarakat Provinsi Maluku adalah 52,90 atau masuk dalam kategori sedang, dan berada pada peringkat 26 dari 34 provinsi.

Pengukuhan Widya Murad Ismail, sebagai Bunda Literasi itu memiliki andil besar dan sebagai pengejawantahan implementasi dari visi dan misi Presiden Joko Widodo tahun 2020-2024 tentang peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), agar generasi Maluku mampu bersaing dalam kompetisi global.

Itu semua juga berkat dukungan sang suami yang adalah Gubernur Maluku dalam rangka mewujudkan kemauan pemerintah Provinsi Maluku dalam upaya meningkatkan indeks kegemaran membaca dan literasi. Saya memandang bahwa gerakan literasi sangat dibutuhkan. Ini misi penting dan fundamental. 

Apapun program yang berkaitan dengan literasi harus didukung, jika kita menginginkan manusia yang berdaya saing penting guna mencerdaskan anak bangsa. Sosok Bunda Literasi, yang juga istri sang Gubernur tentu memiliki ruang gerak yang melingkupi seluruh wilayah kerja bapak Gubernur. 

Dalam kapasitasnya sebagai ibu bangsa, beliau memiliki andil untuk menginspirasi semua jajaran perempuan mulai dari ibu-ibu PKK hingga pejabat. Karena itu adalah ruang yang beliau digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat mengenai literasi dan kecerdasan.

Tentu ini bukan masalah sepele. Hal ini menjadi tantangan serta peluang Maluku ke depan. Kita harus memandang masa depan Maluku di saat tahun 2045. Ada apa tahun 2045? Maluku adalah deklarator NKRI—usia sama dengan Negara— sudah sepantasnya menjadi trigger di Indonesia, saat usianya 100 tahun.

Tiga Tungku Literasi Par Maluku

Baca Juga  Ketangguhan Mahina Matasiri, Cermin Masyarakat Adat yang Menjaga dan Merawat Kebudayaan

Sejak dirintis tahun 2016, arahan khusus Presiden terhadap Gerakan Literasi Nasional berfokus penguatan pendidikan karakter dan budaya literasi. Lantas apakah arahan kepala negara itu sudah diimplementasikan secara merata dan efektif?

Bila kita menyimak peta Maluku, kita dapat membandingkan keadaan geografis provinsi 1000 pulau ini dengan provinsi-provinsi lain. Betapa sulitnya akses penghubung dari pulau ke pulau, kampung ke kampung, kota ke kampung. Sulitnya akses tersebut seakan mendukung hasil riset UNESCO di atas. Mengutip pernyataan Gubernur Maluku, Murad Ismail, dalam http://www.dpmptsp-maluku.com/,” Maluku Butuh Banyak Kapal Berukuran Besar.”

Misalnya, akses jalan ke negeri di bawah kaki gunung Binaiya, jarak tempuhnya sekitar 80 km, dengan berjalan kaki berhari-hari melewati rimba, terjalnya batu-batu dan deras air sungai. Masih di Pulau Seram, Kompas.com pernah memuat headlinenya,“Ibu yang Hendak Melahirkan Melewati Jalan Berbukit Selama 6 Jam, Bukan Kejadian Pertama.” 

Kita dapat menangkap pesan bahwa mungkin ini sudah kejadian 100 kali? Di ujung timur pulau terbesar di Maluku ini, ada juga masyarakat Kilmury, yang harus berjalan kaki berkilo-kilo melewati pantai hingga sampai ke kota Bula. Pejalan butuh nyali, melewati pukulan ombak.

Keadaan seperti ini hanya kita, yang bisa memperbaikinya. Alhamdulillah, dengan segala keterbatasan, banyak sekali komunitas-komunitas literasi, yang secara ikhlas bergerak untuk membebaskan belenggu ketidakpastian ini. Ada Taman Baca Keta di Seram Bagian Timur, Rumah Baca Kapata di Seram Utara, Rumah Pintar Tulehu, Hikayat Tanah Hitu, Taman Baca BTKS Ohoiel Tual, dll.

Menyimak geliat literasi yang terus menembus jantung-jantung kampung di pelosok Maluku, penulis pun menstimulasi diri untuk tidak terjebak dalam kotak pandora, dengan merumuskan tiga tungku literasi par Maluku. Tiga tungku literasi yaitu literasi baca-tulis, literasi digital, dan literasi keagamaan.

Uraian literasi baca-tulis telah diulas pada mukadimah. Selain beberapa data di atas, coba tanyakan dalam diri kita, berapa kali kita mengunjungi perpustakaan daerah, kampus atau lapak-lapak baca yang digelar komunitas? Adakah perpustakaan pribadi di rumah-rumah kita?

Literasi baca-tulis adalah literasi dasar yang mesti kita kuasai. Banyak baca akan melahirkan kata-kata santun dan bernilai. Maluku akan maju, bila masyarakatnya adalah pembaca. Mereka adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca bukan sekedar pendengar, dan gemar “batukel”

Memiliki kemampuan baca akan melahirkan penulis-penulis hebat. Mereka akan menulis kekayaan wangian hutan pala cengkeh, keindahan laut Banda, cantiknya selat Valentine, blok abadi Masela, tumpukan emas Buru dan Romang, naskah kuno dan arkeologisnya, serta keterisolasian dalam kotak 3T. Daripada debat kusir perihal Kaskadu, Sinovac, Astrazeneca, telur rebus, dan lainnya.

Kata Opa Rudi Fofid,” Jangan biarkan orang lain menulis tentang kita. Kitalah yang harus menulis kita.” Di Maluku, gunung pun bisa jadi inspirasi tulisan, muncullah Gunung Botak di Pulau Buru. Selain itu, keberadaan sastra lisan yang sangat banyak menjadi penambah sumber tulis. Artinya, Maluku adalah sumur tulisan. Semakin digali, semakin kita menemukan air peradaban.

Aspek berikut ialah literasi digital. Digitalisasi telah mengubah gaya hidup masyarakat dalam kehidupan. Ia telah merambat sampai ke kamar-kamar. Orang-orang bersosialisasi melalui dunia maya/daring. Hal demikian semakin gencar disaat negara di dalam pandemi. 

Suka atau tidak suka, sebagai warga dunia kita tidak bisa menutup mata akan fenomena ini. Bahkan kita harus bisa memaksimalkannya untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Walau kita sadari, di Maluku hal ini belum bisa merata dan menjangkau di seluruh daerah. Tetapi untuk wilayah yang telah terkoneksi dengan daring (dalam jaringan), mari kita maksimalkan dengan bijak. Ada program Pandu Digital Kominfo RI, yang baru saja diluncurkan, dengan program ini diharapkan bisa membantu menaikan taraf hidup dalam multisektor dalam masa sulit kayak begini.

Artinya kita menjadikannya sebagai media dagang, media promosi, media persahabatan. Sebagai orang basudara, kita bangun keteladanan di media maya. Kita menjadi influencer guna berbagi hal-hal positif, bukan penyebar hoaks. Sebagai pebisnis, kita mempromosikan papeda ikan kuah kuning. Agar tak ada salah kaprah tentang kita. Jadi, kita promosikan kita.

Paparan berikut ialah literasi keagamaan. Saya mengumpamakan Maluku adalah miniatur Indonesia. Maluku sangat unik, sebab penduduknya multi etnis. Sampai-sampai ini ditopang oleh masyarakat Maluku yang pada dasarnya memiliki religiusitas tinggi, dan toleran. Walau sempat dihantam badai sosial 22 tahun lalu, 

Maluku cepat bangkit, untuk Kekuatan keberagaman menemukan “Mutiara” yang pernah hilang itu. Saat ini Maluku terus berbenah. Dieter Bartels, 2017 mengatakan hal itu kadang mencengangkan.

Lalu apa korelasi literasi keagamaan terhadap kehidupan masyarakat Maluku? Literasi keagamaan yang saya maksud tidak saja berhubungan dengan Allah (Tuhan Yang Maha Kuasa), tetapi hubungan antarmanusia juga.

Urusan orang Maluku dengan Tuhannya bagi saya telah tuntas. Masing-masing pemeluk telah sadar untuk meyakini dan beribadah sesuai kepercayaannya. Pendirian rumah ibadah yang masif menunjukkan kepedulian orang Maluku terhadap Tuhannya. Indikator lain, pengajian-pengajian, khutbah-khutbah dari mimbar telah disosialisasikan ke berbagai akun media sosial. 

Hal ini semua dilakukan semata-mata sebagai bentuk kehambaan kepada Tuhan. Mengutip https://www.alodokter.com/ bahwa kecerdasan spiritual adalah salah satu dimensi dalam kesehatan manusia yang dirumuskan selain kesehatan fisik dan mental.

Baca Juga  Abdoel Moethalib Sangadji Perintis Kemerdekaan RI: Refleksi Realitas 77 Tahun Indonesia Merdeka

Kecerdasan spiritual bisa digambarkan sebagai bentuk upaya manusia dalam menemukan harapan, arti, dan ketenangan dalam hidupnya. Pernyataan ini dapat bermakna manusia Maluku punya harapan, arti dan ketenangan bila mengoptimalkan dimensi ini dengan maksimal.

Relasi antar manusia, disebut dalam (Lokollo, Agnessia, 2012) dikutip dari Buku Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri. Keragaman orang Maluku dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku.

Interaksi-interaksi keagamaan pada masyarakat Maluku telah terjadi pada zaman agama- agama asli (agama suku yang adaptif dengan pemisahaan negeri, pulau, adat dan keturunan) maupun zaman penyebaran agama-agama modern (Islam-Kristen) yang bersifat “ekspansif”, dan menunjukan kemajuan sampai pada tahap pola keberagaman Salam-Sarane, dalam bingkai kehidupan masyarakat Maluku.

Keadaan Maluku yang begitu beragam tentu tak akan menyatu bila tidak diikat oleh sebuah ikatan yang kuat. Pernyataan ini didukung oleh (Yoyok Widoyoko, dkk., 2013) mengulas pidato Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu,” Tanpa ikatan Pela Gandong, dan semangat Siwalima, mustahil kerukunan hidup antar-orang basudara di Maluku dapat tercipta Kembali. 

Itu berarti pembangunan di Maluku bisa jadi tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. “Lanjut Ralahalu,” Kemajemukan adalah kekayaan dan potensi yang patut dipelihara terus. Pemerintah daerah Maluku senantiasa berdiri di atas semua golongan. 

Selanjutnya, pemerintah daerah harus mampu tampil menjadi motor penting dalam mendamaikan masyarakat apabila terjadi konflik. Salah satu potensi pranata sosial yang dapat mempersatukan masyarakat Maluku secara lintas budaya, suku, maupun etnis dan kelompok lainnya adalah pela gandong dan Siwalima.”

Pernyataan serupa didukung (Reinhard R. Tawas & Fahmi Jindan, 2018) yang juga mengulas pidato Gubernur Maluku Said Assagaff yakni,” …betapa kayanya kebudayaan di bumi raja-raja ini.” Lagi-Lagi, untuk menegaskan persoalan ini, gubernur Maluku ke-13 Murad Ismail sebagaimana dikutip dari https://www.gatra.com/,” Bahwa beliau menginginkan budaya Maluku dikenal dunia.

Semoga tulisan ini dapat merekat serak-serakan yang berserak. Menyatukan isme- isme dalam kemanusian. Membuka pintu kebahagiaan bagi masyarakat Maluku di seluruh negeri-negeri. Serta katong, sapa lai. Mari gandong, katong bersama. Kalau bukan mendorong transformasi nilai-nilai keMalukuan, untuk kehidupan yang semakin baik di Maluku.

Baca Juga  Misa Keliobas Ajak Kader PPK SBT Jaga Kedamaian di Pilkada 9 Desember 2020

Masohi, 8 Agustus 2021

Penulis adalah Guru dan Pegiat Literasi Pulau di Maluku, aktif di Ikatan Cendekiawan Muda (ICMA) Maluku. Tulisan ini turut menandai dua tahun kepemimpinan Gubernur Murad Ismail