Pattiasina: Pemerintah Pusat Jangan Lupakan Hari Pattimura

0
1281

TABAOS,- Jakarta- Pemerintah pusat tidak pernah lagi merayakan “Hari Pattimura” yang setiap tahun jatuh pada 15 Mei. Padahal, sebelum era orde baru, Hari Pattimura diperingati pemerintah pusat setiap tanggal 15 Mei.

“Mungkin sekarang sudah dianggap tidak penting atau bagaimana,” tanya Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina kepada wartawan di Jakarta, Kamis (03/6).

Menurut Pattiasina sekarang ini, hanya orang Maluku yang tetap memperingati Hari Pattimura. Kami tentu merasa heran dengan kenyataan ini. Pemerintah dulu merasa sangat penting arti perjuangan Kapitan Pattimura. 

Dijelaskan Pattiasina, Hari Pattimura jatuh pada 15 Mei sebagai peringatan atas serangan rakyat Maluku terhadap penyerangan Benteng Duurstede di Pulau Saparua yang dipimpin Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) pada 15 Mei 1817.

Perlawanan di Pulau Saparua yang dipimpin Pattimura ini merupakan pelopor munculnya berbagai perlawanan di berbagai tempat. Dalam pidato yang disampaikan Pejabat Presiden RI H. Juanda pada peringatan Hari Pattimura tanggal 15 Mei 1961 di Jakarta.

Dalam pidato Juanda, dikatakan bahwa perlawanan Pattimura ini kemudian diikuti berbagai perlawanan, seperti Perang Imam Bonjol tahun 1821, Perang Diponegoro tahun 1825, Pemberontakan Pangeran Hidayat tahun 1862, Pemberontakan Cik Ditiro tahun 1881 dan sebagainya.

Sementara mengaku prihatin, karena selama orde baru dan sampai saat ini, pemerintah pusat tidak pernah lagi merayakan Hari Pattimura. Kalau memang dilupakan, kita harapkan pemerintah menjadikan agenda rutin. 

“Kita senang kalau Hari Kartini dan sebagainya dirayakan, tetapi sangat wajar kalau dipertanyakan juga mengapa Hari Pattimura tidak dirayakan lagi, misalnya mengapa Martha Christina Tiahahu tidak mendapat tempat yang semestinya,” tegas Engelina yang juga mantan Anggota DPR RI ini.

Untuk itu, katanya, menurut Engelina, nilai perjuangan Pattimura masih sangat relevan dengan situasi dewasa ini. Kalau Pattimura dan kawan-kawan melawan penindasan, ketidakadilan, penjajahan yang tampak secara kasat mata melalui pendudukan territorial, mungkin saat ini praktek seperti itu masih ada, tetapi dikemas dengan cara yang berbeda.

“Kita bisa melihat ada pengerukan sumber daya alam, masyarakat lokal tidak menikmati, tetapi justru menjadi korban. Apa bedanya dengan yang dilawan para pejuang pada masa lalu,” katanya.

Engelina khawatir kalau pemerintah melupakan semangat perjuangan Pattimura, maka jangan kaget kalau suatu ketika, generasi mendatang tidak tahu-menahu dengan perjuangan pahlawannya pada masa silam.

Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengembalikan perayaan Hari Pattimura secara nasional pada setiap 15 Mei. Sebab, saat ini, hanya rakyat Maluku yang merayakan Hari Pattimura. 

“Bila situasi ini dibiarkan, maka kita sebenarnya sedang berproses menurunkan atau justru menghilangkan warisan perjuangan dari generasi terdahulu,” katanya.

Meski bukan sejarawan, kata Engelina, tetapi kalau disimak sangat jelas pengaruh Perang Pattimura akan munculnya perlawanan di tempat lain. Misalnya, pasukan yang dihadapi dalam Perang Pattimura, sebenarnya mereka juga yang menaklukkan Diponegoro. 

“Sekali lagi, kami mengharapkan pemerintah pusat untuk memperhatikan kembali perayaan Hari Pattimura. Dulu setingkat Presiden memberikan pidato resmi untuk merayakan Hari Pattimura, sekarang kok tidak pernah ada lagi. Kami rasa kok seperti dihilangkan begitu saja,” kata Engelina.

(TCJ)