Pentingnya Budaya Bertutur Pada Anak Sebagai Proteksi Sosial

0
662

“Budaya bertutur pada anak merupakan bagian dari proteksi sosial, karena sebagai objek yang rentan terhadap kekerasan anak harus dibiasakan untuk bercerita”

Oleh: Cantika Muhrim

Dalam satu tahun terakhir, angka kasus kekerasan terhadap anak, terutama kasus kekerasan seksual meningkat drastis. Termasuk di Maluku.

Deretan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak menghiasi sejumlah pemberitaan media online. Antara lain kasus pemerkosaan gadis 16 tahun yang lima pelaku lainnya juga adalah anak di bawah umur.

Ada pula kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur saat dijemput usai pulang sekolah oleh seorang tukang ojek. Juga kasus pencabulan oleh seorang guru SD terhadap muridnya di perpustakaan sekolah.

Begitu pula dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya yang berusia 15 tahun. Peristiwanya bahkan sudah terjadi sejak anak tersebut masih di sekolah dasar, pada tahun 2018 dan baru terungkap di tahun 2023.

Kasus kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual memang seperti fenomena gunung es, hanya sebagian kecil yang terungkap dan diproses secara hukum, sementara masih sangat banyak kasus yang tidak tertangani atau bahkan tidak terungkap sama sekali.

Bayangkan dari sederetan kasus yang disebut di atas, anak-anak seolah tidak memiliki ruang aman. Karena semua tempat berpotensi menjadi lokasi terjadinya tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual.

Baik itu di lingkungan sekolah, lingkungan bermain, lingkungan keluarga. Apalagi pelaku kekerasan justru adalah orang-orang terdekat.

Ada banyak hal yang harus kita analisis dan koreksi, terutama sebagai seorang pegiat perubahan sosial, dalam melihat kasus-kasus ini. Apa yang salah dari konstruksi sosial kita.

Dari sederet kasus yang terungkap sebagian besar adalah kasus yang telah terjadi dalam jangka waktu yang lama, bahkan bertahun- tahun.

Baca Juga  Memperkuat Masyarakat Adat di Kepulauan Maluku dalam Pusaran Konflik Sumber Daya

Pertanyaannya, kemana orang dewasa di lingkungan mereka selama bertahun-tahun, sementara ada anak-anak yang mengalami kekerasan sepanjang waktu.

Anak-anak adalah makhluk yang sebenarnya mudah terdeteksi kondisi psikologisnya. Kenapa lingkungan sosial, atau minimal satu saja orang terdekat yang dapat mendeteksi perubahan yang terjadi pada anak.

Belajar dari kasus yang terjadi pada seorang anak yang dicabuli ayah kandungnya kurang lebih lima tahun, kasus tidak akan terungkap jika anak tersebut tidak kabur dari rumah selama berhari-hari.

Bisa dibayangkan bagaimana anak itu harus menanggung beban mental selama lima tahun dalam tekanan. Apa anak tersebut tidak menemukan seorangpun yang aman untuk dapat bercerita dan meminta bantuan.

Ada pengawasan kita pada lingkungan yang masih kurang. Kita orang dewasa kadang abai atau kurang peduli sehingga mampu mensinyalir adanya perubahan sikap atau psikologi pada anak-anak dilingkungan kita.

Anak-anak juga diantaranya kurang berani untuk mengungkap permasalahan yang menimpanya kepada orang lain. Ini juga menyangkut kebiasaan atau tidak terbiasanya mereka, baik itu di lingkungan rumah maupun sekolah.

Itu sebabnya saya merasa budaya bertutur atau bercerita penting untuk digaungkan atau lebih sering dilakukan, bahkan dijadikan satu program khusus di lingkungan sekolah formal maupun lingkungan sosial. Menjadi bahan perhatian para pegiat literasi dan pendidikan.

Anak-anak harus dibiasakan bercerita bahkan menjadikan “cerita” sebagai media aman yang bisa mereka pakai untuk memperoleh solusi. Budaya bertutur dengan anak juga harus diedukasi kepada para orang tua dan orang dewasa lainnya.

Mungkin saja jika anak-anak terbiasa menceritakan setiap hal yang mereka alami, lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial akan jauh lebih dini mendeteksi ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang telah terjadi pada sang anak.

Baca Juga  Apakah Maluku Hanya Komoditas Politik?

Tidak sampai terjadi bertahun tahun sang anak menderita dalam perlakuan bejat baru kemudian terungkap. Sehingga yang terjadi adalah trauma yang mendalam pada anak.

Ketika anak-anak sudah terlanjur ada pada kejadian traumatis yang menyiksanya secara psikologis maupun fisik, tentu akan sulit mengembalikannya pada kondisinya ke posisi semula.

Kalaupun bisa, butuh waktu yang lama untuk dapat benar benar sembuh dari trauma. Bahkan bisa jadi anak-anak tersebut tumbuh dengan lukanya seumur hidup.

Sederetan kasus kekerasan yang terjadi pada anak merupakan tamparan keras bagi kita orang dewasa, terutama generasi muda berdaya yang bekerja pada isu-isu sosial.

Ada yang harus dikoreksi dalam konstruksi sosial masyarakat kita. Dengan meningkatkan budaya bertutur pada anak, kemudian menjadikannya bagian dari program rutin yang terukur, tentu dapat menjadi salah satu upaya penting untuk meminimalisir angka atau kasus kekerasan terhadap anak.

Penulis adalah Founder Skola RASA, dan aktif di Komunitas Penulis Maluku