Quo Vadis Negeri Adat di SBB? Menanggapi Tulisan Hariman Pattianakota

0
1422

Oleh: M. Saleh Wattiheluw

Saya membaca tulisan atau ulasan intelektual muda dari Seram Bagian Barat (SBB), Hariman Pattianakota. Baik itu di grup Komunitas Penulis Maluku, maupun yang dimuat oleh media para penulis Maluku; Tabaos.id.

Senang membaca tulisan yang kritis itu, saya belum pernah berjumpa secara langsung dengan penulis yang namanya langsung mengingatkan saya pada aktivis yang terkenal saat peristiwa Malari: Hariman Siregar.

Tulisan Bung Hariman dengan tajuk “SBB, Kolonialisme Baru dan Solusi yang Beradab” itu menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Ada banyak hal yang bisa kita tangkap maknanya sebagai satu respon.

Sesungguhnya penulis menginterupsi secara langsung kepada para pemangku kepentingan di bumi saka mese musa, kepada politisi, akademisi tokoh adat dan pendidik. Mengapa membiarkan Pemda belum mengesahkan perda tentang Negeri, justru pemda memberlakukan negeri-negeri adat layaknya seperti desa.

Apakah Pemda tidak paham terhadap makna simbol “Bumi Saka Mese Nusa”

Di zaman kolonial belanda menguasai Maluku dengan mengambil kekayaan pala dan cengkeh, kerja rodi dengan politik adu domba, sambil ikut menata sistem pemerintahan negeri dengan mengadopsi tatanan tradisi yang telah ada dan berkembang di masyarakat hingga kini.

Negara telah mempertegas dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 2, dengan turunan UU nomor 16 tahun 2014 tentang Desa atau sebutan lain (negeri).

Pemerintah Provinsi Maluku juga mempertegas dengan Perda nomor 5 tahun 2005 tentang Penetapan kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Prov Maluku.

Bung Hariman, lantas prihatin dan bertanya mengapa Pemerintah Kabupaten SBB mengambil solusi yang beradab dengan sengaja membiarkan dan memberlakukan negeri-negeri adat sebagai desa terindikasi tidak atau belum mengesahkan Perda tentang negeri.

Baca Juga  Dualisme Surat Keputusan (SK Bupati Non-aktif dan SK Pjs Bupati) berujung Demo lanjutan

Boleh jadi pemda ingin keluar atau melepaskan diri dari tradisi dan kultur yang sejak awal tumbuh dan berkembang di masyarakat. Suatu saat status negeri adat diubah menjadi Desa

Lantas mengapa Perda Negeri belum disahkan? Boleh diduga mungkin belum selesai naska draf perda dan atau Naska Akademik tentang Perda Negeri dimaksud belum selesai.

Sebagai informasi saja bahwa Perda Provinsi tentang Negeri naska akademiknya dibuat dan dikaji oleh Lembaga Konstitusi FH Unpatti atas kerjasama DPRD.

Bung Hariman lagi-lagi ingin mengatakan kepada publik SBB bahwa memberlakukan negeri-negeri adat seperti desa indikasinya pengangkatan pejabat, hanya karena kepentingan, tapi sesungguhnya merugikan daerah dan masyarakat. Mengapa tidak meningkatkan dusun-dusun dengan status Desa Administratif

Konsekuensi dari indikasi perubahan status negeri menjadi desa dimana seorang kepala desa dipilih langsung masyarakat maka pasti mendistorsi substansi pranata sosial adat yang telah melembaga akan menjadi kabur dan hilang maknanya.

Sebut saja Ana Soa, Soa, Siniri, Raja, Tuan Tana, Imam. Dimana pranata-pranata ini berperan dalam pemerintah negeri menjadi hilang dan kita tidak bisa lagi bicara pemberian gelar adat.

Saya sendiri merespon kondisi ketika itu dengan satu tulisan bertajuk ” Pergeseran Serta Distorsi Tatanan Adat dan Budaya di Maluku suatu Tinjauan” yang dimuat pertama kali di Tabaos.id tahun tidak salah tahun 2021 lalu, tulisan itu kembali di release tahun ini.

Apakah demikian solusi yang beradab? wallahualam bisawab.

Penulis adalah pemerhati kebijakan publik, aktif di Komunitas Penulis Maluku