Oleh: Rudy Rahabeat
Awal kata dengan ikhlas saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah buat sahabat dan saudaraku yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin.
Salah satu persoalan umat manusia saat ini adalah kesehatan mental. Isu ini makin kuat ketika banyak orang mengalami stress, trauma, halusinasi, bipolar, depresi lalu mengambil langkah-langkah fatal, semisal bunuh diri.
Berawal dari hal-hal sepele yang tak dapat dikelola dan diselesaikan, menumpuk jadi akut dan membuat seseorang tak mampu mengendalikan dirinya. Belum lagi struktur dan sistem ekonomi sosial politik yang tidak adil dan budaya kepalsuan. Kita sedang hidup dalam dunia yang gelisah, kata Matt Haig.
Apakah kita rela membiarkan diri kita sakit secara mental? Kita mudah tersinggung, marah dan saling melukai. Bukankah kita memiliki kemampuan untuk mengelola berbagai persoalan yang datang menerpa kita? Tuhan memberi kita akal dan perasaan.
Dengan akal kita berusaha menalar segala sesuatu. Dengan perasaan, kita berempati dengan diri sendiri dan orang lain. Kita tidak pasrah dan menyerah pada keadaan. Tidak memuji diri atau sebaliknya, meremehkan potensi diri.
Tinggal soal bagaimana cara kita melihat masalah dan memberi respons bijak terhadapnya. Gelas yang terisi setengah dapat disebut setengah kosong atau setengah penuh. Bagi yang pesimis, ia akan memilih frasa gelas setengah kosong, tapi yang optimis akan menyebut gelas setengah penuh, sebab ia akan mengisinya hingga penuh.
Desi Anwar dalam bukunya Going Offline. Menemukan Jati Diri Di Dunia Penuh Distraksi (2019) mengingatkan bahwa merasa marah dan mudah tersinggung atas apa pun yang dikatakan atau dilakukan orang lain ibarat meminum racun sambil mengharapkan orang lain yang mati. Ini memang sebuah ironi.
Kita tidak dapat mengendalikan diri sehingga diri kita oleng dan salah arah. Kita terjebak dalam energi negatif orang lain dan kehilangan kesempatan untuk menjadi tangguh. Olehnya Desi Anwar memberi solusi. Orang berkeyakinan kuat tak mudah goyah oleh opini orang lain atau terguncang oleh cemoohan dan kritikan, alih-alih ia akan kokoh berdiri, seperti batu karang yang tidak terpengaruh oleh deru ombak di sekitarnya.
Pertanyaannya, darimana sumber keyakinan itu. Salah satu jawabannya, agama. Agama menyediakan energi positif bagi seseorang dalam menghadapi goncangan hidup. Agama akan mengajarkan seseorang bahwa Tuhan tidak menjanjikan tidak ada badai di samudera kehidupan, tetapi Sang Pencipta menyertai manusia untuk keluar dari badai itu.
Agama meneguhkan langkah setiap orang, bahwa you never alone, kita tidak sendiri. Ada orang-orang baik di sekitar kita. ada orang-orang Samaria yang murah hati. Bahkan alam ini diciptakan untuk bukan saja menyediakan kebutuhan jasmani kita, tetapi rohani dan spiritual juga.
Sempatkan waktu ke pantai. Rasakan semilir angin, debur ombak dan kicauan burung camar. Pandanglah samudera yang luas seluas semesta kemungkinan. Sadarlah bahwa tidak ada laut yang tidak bergelombang dan langit tak selalu berwarna biru.
Saya punya dua sahabat yang mengajarkan saya untuk belajar dari alam. Seorang sahabat menginspirasi saya dengan cerita bahwa semakin besar gelombang maka semakin banyak ikan di kakap bawa gelombang itu. Sahabat lainnya menyatakan bahwa alam membentuk manusia menjadi tangguh.
Pengalaman berhadapan dengan badai di tengah lautan dan kemampuan melewatinya membuat seseorang menjadi tangguh. Terngianglah ungkapan bijak orang Bugis: pelaut yang tangguh tidak dilahirkan di lautan yang tenang.
Kembali pada isu kesehatan mental (mental health). Kita membutuhkan bukan saja kiat-kiat tetapi strategi dan kebijakan publik yang mendasar. Persoalan kesehatan mental bukan semata persoalan individual.
Ia berkaitan dengan sistem sosial dan realitas ekonomi politik. Dukungan keluarga dan simpul-simpul komunitas menjadi sistem pendukung (supporting system) yang amat penting.
Demikian pula regulasi dan kebijakan negara yang adil dan inklusif akan menolong tiap individu berkembang semakin dewasa secara fisik juga mental spiritual. Dengan kata lain, dibutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi untuk mengatasi masalah kesehatan mental yang kian menyeruak akhir-akhir ini dan ke depan.
Realitas digital dan virtual saat ini turut memicu dan memacu masalah kesehatan mental. Konten-konten digital yang tidak sehat akan mempengaruhi karakter dan kepribadian sosial. Ketika anak-anak dipapar game online dan konten digital yang berisi kekerasan, maka akan membentuk karakter mereka.
Demikian pula, perilaku tidak bijak menggunakan media sosial akan menambah distraksi dan kekalutan dalam hidup. Akibatnya fatal, makin banyak orang terluka dan sakit, termasuk sakit mental. Dalam konteks ini, kita semua terpanggil untuk mengatasinya.
Kita perlu makin bijak bermedia sosial. Era digital tak bisa dihindari, tetapi bisa disiasati. Agama-agama merupakan salah satu instansi yang sangat kompeten untuk misi itu. Dalam kaitan inilah Ibadah Puasa dan Idul Fitri merupakan momen yang sangat mulia untuk mengantar manusia pada fitrahnya yang sejati.
Manusia yang tidak hanyut dalam gelombang energi negatif, melainkan tetap optimis dan terus berjuang dan berbakti untuk menghadirkan kemaslahatan bersama dan membawa rahmat bagi semesta yang sehat walafiat. Sekali lagi, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.
Penulis adalah Pendeta dan aktif di Komunitas Penulis Maluku