
TABAOS.ID,- Aksi Unjuk Rasa memperingati 58 tahun Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) oleh pemuda dan mahasiswa papua di Ambon, sabtu 15 agustus 2020 di ruas jalan gong perdamaian dunia ambon, berlangsung ricuh.
Aksi damai dari belasan mahasiswa yang tergabung dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Individu Pro Demokrasi kota Ambon dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan di ruas jalan gong perdamaian dunia.
Sempat adu mulut antara para pengunjuk rasa dengan aparat keamanan di lokasi unjuk rasa, ging perdamaian dunia, sebelum akhirnya dibubarkan.
Andi Kossay koordinator aksi, menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada mereka. Menurutnya tindakan tersebut, sangat berteantangan dengan system demokrasi dari Negera Republic Indonesia yang merupakan Negara berdemokrasi.
Tindakan represif menurut Andi, adalah mencerminkan Negara tidak menghargai kebebasan berpendapat dari warga Negara dan juga hak demokrasi Negara.
“seingat saya tadi sekitar pukul 08:29 wit, sejumlah intel dan polisi mulai mengepung massa aksi dan terjadi perdebatan. Setelah itu, kawan saya Yudi mengambil megafon untuk berorasi. Belum menyampaikan selesai orasinya gabungan intel mulai menghampirinya melakukan represif, dorongan terhadap Yudi. Massa aksi sampai di dorong dan intel polisi melakukan intimidasi, pukulan terhadap masa aksi,” tutur Koprdinator Aksi itu.
Meski demikian kata Andi, mereka tetap melanjutkan aksi unjuk rasa itu. Namun lagi-lagi, dipaksa untuk dihentikan.
“intel polisi mulai melakukan tindakan intimidasi, kekerasan dan pemukulan terhadap massa aksi dan di bubarkan secara paksa. kami bertahan dan terus adu mulut, tapi akhirnya kami bernegosiasi dengan polisi untuk membacakan pernyataan sikap,” kata Kossay.
Usai membacakan pernyataan sikap, lanjut Kossay, belasan mahasiswa gabungan Papua ini langsung dibubarkan oleh aparat Keamanan.
Andi Kossay, Koordinator aksi unjuk rasa dalam orasinya mengatakan penandatanganan Perjanjian New York adalah peristiwa yang sarat kepentingan imperialis dan kolonial (kolonial Belanda maupun Indonesia yang kemudian menjadi kolonial baru). Perjanjian itu bermasalah karena dilakukan tanpa melibatkan rakyat West Papua. Padahal, perjanjian tersebut berhubungan dengan keberlangsungan hidup dan masa depan rakyat dan bangsa West Papua.
“Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West Papua ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur sedikitnya 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Sementara pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia,” kata Kossay adalam orasinya.
Dalam aksi ini, gabungan mahasiswa asal Papua ini membacakan sebanyak tuntutan mereka di depan aparat TNI-Polri yang berjaga di depan Gong Perdamaian Dunia, Ambon.
“ Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua; Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Sebagai Syarat Damai; Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang Lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua; Amerika Serikat Harus Bertanggung Jawab atas Penjajahan dan pelanggaran HAM yang Terjadi terhadap Bangsa West Papua; Demiliterisasi Zona Nduga, West Papua. Cabut Peraturan Presiden No. 40/2013 yang melegalkan keterlibatan militer dalam proyek pembangunan jalan Trans-Papua; Buka akses Jurnalis Internasional dan Nasional ke West Papua; Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi bagi rakyat West Papua; Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat; Tolak Otsus Jilid II ; Cabut SK Drop Out sepihak 4 mahasiswa Universitas Khairun Ternate,” Beber Andi Kossay saat membacakan tuntutan pernyataan mereka di depan gong perdamaian dunia Ambon. (T-01)