RMS: Racun atau Madu – Sebuah Telaah Dinamika Politik Orang Maluku

0
1601

Oleh: Christ Sahetapy

Memantau berbagai komentar tentang pengibaran Bendera RMS di beberapa negeri dan tempat, sampai pada penangkapan Perwakilan FKM RMS di Negeri Hulaliu Kecamatan Pulau Haruku, maka saya berikan judul tulisan ini “RMS: Racun atau Madu”.

Generasi ke generasi masih tau dan mengerti tentang RMS adalah kepanjangan dari Republik Maluku Selatan, akan memahami tentang racun dan madu yang saya maksudkan ini. Dari komentar sejumlah orang di media sosial, ada yang memang tidak suka terhadap RMS, kelompok ini ada dari kalangan pimpinan sampai rakyat biasa. 

Mereka digolongkan adalah kelompok yang menganggap RMS sebagai racun dan karena itu ingin menghindar dari racun. Harus dihindari, karena takut kehilangan sesuatu, atau dianggap dapat membunuh karir dan masa depan dari generasi. 

Mereka ini berada di ruang simbiosis mutualistis. Tetapi juga dianggap akan memunculkan proses penekanan dan memasung hak-hak hidup sebagai bagian dari proses pembodohan dan keterbelakangan.

Mereka ini telah bersimbiosis sehingga nasionalisme keIndonesiaan semakin merasuk, untuk menemukan jati diri sebagai anak bangsa. Kajian politik mereka hanya sebatas kajian berdasarkan informasi politik  tanpa analisis substansi persoalannya. 

Sementara ada kelompok orang yang telah mengkristal sebagai kelompok RMS, mereka disebut madu yang manis. Kelompok madu ini menganggap RMS adalah bagian hidup perjuangan untuk meraih kembali kedaulatan yang dianggap telah diambil oleh pemerintah zaman Soekarno. Bagi mereka madu itu adalah kedaulatan yang sah, keharmonisan basudara gandong, kekayaan alam Maluku yang dikelola untuk mensejahterakan rakyatnya.

Bagi mereka Pemerintah Indonesia mengambil alih kedaulatan RMS yang sah sama dengan memporak porandakan sistem kehidupan budaya anak cucu Alifuru. Mereka ini hidup dalam dualisme dengan pemerintah Indonesia. Dan dari berbagai pernyataan mereka, terutama di media sosial, mereka menganggap pemerintah Indonesia adalah penjajah.

Kehilangan madu itu dalam standar nasional  mengakibatkan rakyat Maluku miskin, tertinggal, peringkat pendidikan ke 33-34. Mereka ini bersiap mati dipenjara, ditangkap, ditawan, meski hanya mengibarkan sebuah kain berwarna merah putih, biru, hijau yang dikenal sebagai bendera RMS.

Perjuangan mereka dianggap perjuangan suci; sama dengan Organisasi Papua Merdeka maupun Gerakan Aceh Merdeka yang menaikan bendera, bahkan dengan perlawanan bersenjata. Anehnya RMS walau berjuang dengan tangan kosong dan tanpa sepucuk bedil pun, mereka diperlakukan seperti separatis ketika ditangkap naikan bendera empat warna itu. Sementara di Aceh dan Papua melenggang bebas dengan benderanya dan senjata organik.

Baca Juga  Suara Milenial: Menjaga Optimisme Bersama untuk Maluku Lebih Baik

Dipertanyakan apakah racun yang dituangkan di Maluku berbeda dengan kedua gerakan tadi? atau madu yang dipertaruhkan hanya isapan jempol? atau adalah ancaman yang dapat mendekonstruksi sikap dan pola politik hegemoni yang dipraktikkan Indonesia selama ini?

Dari kajian sejarah, sebetulnya RMS itu menarik kalau dibedah dengan science dan knowledgeKalau orang Maluku belajar politik dari RMS, maka ilmu komunikasi politik yang diajarkan Presiden RMS  Soumokil, dan tokoh Ibrahim Ohorella serta lainnya, memberikan pelajaran politik hemophilia, bahwa orang Maluku adalah sebuah nation yang beda dengan etnis lainnya.

Entitas yang ingin mandiri dan membangun diri sesuai kultur mereka, agar orang Maluku cerdas dalam berbagai bidang, yaitu membangun negara yang bebas dari segala bentuk penjajahan, yang memang harus dihapuskan dari muka bumi. Itulah perjuangan kemanusiaan bagi kesejahteraan dari sebuah bangsa, seperti halnya perjuangan Indonesia yang menginginkan masyarakat adil dan makmur.

Pada dimensi ini, mestinya pemerintah Indonesia dalam menghadapi gerakan RMS tidak dengan kekerasan, namun dengan klarifikasi melalui berbagai pelajaran dan pendekatan ideologi yang memiliki nilai serta makna pembaharuan, dengan diplomasi ofensif, tidak dengan represif terhadap hak asasi rakyat Maluku.

Apalagi belajar dari sejarah, masih terjadi pertentangan baik secara internal maupun eksternal terhadap pemerintah Indonesia menyangkut simbol-simbol kemerdekaan RMS 25 April 1950, yang jika mau jujur pada saat terlepas dari Republik Indonesia Serikat itu sesuai atau relevan kesepakatan internasional. Memilih jalan sendiri, bukan keluar dari kesepakatan bersama.

Dari situlah pemerintah Indonesia secara politik kenegaraan tidak boleh menyebut RMS sebagai separatis. Karena nilai politik kenegaraan 25 April 1950 menjadi acuan perjuangan kelompok madu, sehingga kesejahteraan dan kebebasan itu adalah tuntutan mereka untuk menikmati hak hidup seperti Jawa, Madura, Sumatera, dan daerah lainnya.

Menelusuri perjuangan madu, maka kekuatan diplomasi orang Maluku yang harus dimulai dari pembuktian sistem politik aneksasi Indonesia yang melanggar hak hidup orang Maluku. Disitulah terletak nilai bargaining power dan position orang Maluku, yang  cukup besar gaungnya demi mendapat perhatian dari pemerintah pusat, untuk membangun Maluku yang telah dikuras laut dan daratnya.

Kelihatan sekali dinamika politik, berdiplomasi pakai selembar kain berwarna adalah perjuangan, di atas kepentingan rakyat Maluku dari negara yang dibentuk  secara hegemoni. Dengan simbol perjuangan dengan kibaran Bendera cukup memberi pesan bahawa orang Maluku minta perhatian besar, menjadi perhitungan pemerintah pusat. Sasarannya kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat. 

Sebuah drama politik yang panjang kalau di bedah dan dirangkai satu persatu, peristiwa demi peristiwa. Sayangnya orang Maluku terjebak dalam lanjutan dan rajutan benang merah dari “mastermind” hingga menjadi korban permainan politik stigmatisasi yang meruntuhkan dan menghancurkan mental anak Maluku sendiri. Ini yang dikatakan Jacques Derrida sebuah dekomposisi atau penghancuran moral anak Maluku tanpa sadar tanpa tau diri (ignorance).

Untuk itu lembaga legislatif di daerah ini harus cerdas berpolitik agar ada check and balances antara pusat dan daerah. Kecerdasan itu terjadi bila wakil rakyat belajar berdiplomasi dengan lebih maju, memanfaatkan teknologi digital. Berjuang agar dalam rakyat Maluku tidak ada racun dan madu, tidak ada diskriminasi dan dualisme, yang mengakibatkan banyak dusta diantara kita.

Baca Juga  Jangan Pesimis Atas Masa Depan Maluku

Maluku sejak awal dipenuhi pemikir-pemikir besar dibandingkan dengan sekarang. Jauh sebelum Indonesia merdeka dan sesudah merdeka, Maluku sudah menelurkan manusia cerdas, ada ahli hukum, ada ahli atom, yang bekerja di dalam maupun diluar negeri. Wakil rakyat di pusat dan daerah butuh pemikir dengan semangat kepeloporan berdasarkan kompetensi yang bukan saja berbagai disiplin ilmu saja, tapi pengalaman manajerial politik yang handal  untuk mendorong pemerintah Indonesia.

Dalam sebuah tesis berjudul: “Dekonstruksi Republik Maluku Selatan Sebagai Pengaruh Komunikasi Politik Nasional” (Sudah ada di Perpusnas RI), memberikan dorongan untuk meneliti perkembangan politik Indonesia sampai dengan peristiwa bencana besar politik bumi hangus Maluku. Tesis itu memberikan muatan bagi analisis komunikasi politik dan gambaran penghancuran Maluku menjadi daerah yang terpasung dengan pola-pola perang horisontal.

RMS sebagai racun maupun madu tidak membawa keuntungan yang signifikan karena hanya akan menjadi stigma berkepanjangan bagi generasi Maluku, kecuali kemerdekaan dan kedaulatan itu dikembalikan atas kesepakatan Indonesia dan Rakyat Maluku. Ini menjadi satu akar kepahitan politik yang ditanam Indonesia di bumi Maluku.

Kesimpulannya, racun dan madu politik di Maluku bagi pemerintahan negara Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, dapat diselesaikan. intinya: Kalau ada Dualisme pasti juga ada dualitas ( teori Anthony Giddens). Hanya ada good will dan political will dari Pemerintah Pusat, keadilan bagi Maluku dan kebenaran serta kesejahteraan bagi rakyat Maluku.

Berbagai teori komunikasi yang dapat menjawab sejumlah masalah politik hanya bila ada kemauan dan wajah kejujuran bagi negeri ini, sehingga secara transparan tanpa retorika yang tidak produktif mau menempatkan masyarakat Maluku dengan lebih adil.

Masih dinaikkannya Bendera RMS harus dipahami sebagai bagian dari diplomasi politik transparansi sebagai kebebasan berekspresi dan simbol perjuangan yang belum diselesaikan Pemerintah Indonesia tetapi sekaligus peringatan pada Pemerintah Pusat bahwa ada sesuatu yang salah dalam hegemoni masa lalu. 

Ini harus dibicarakan dan dipecahkan bersama oleh pemimpin daerah termasuk DPRD dengan Pemerintah Pusat secara komprehensif dengan rakyat Maluku tanpa ada tekanan dan kekerasan. Itu terjadi bila penguasa memiliki kemampuan berpikir yang tinggi agar bisa selesaikan akar kepahitan itu.

Dalam teori politik dualisme dan dualitas, pemerintah harus berani berikan ruang independen, ruang netral yang hampa tanpa dikotori oleh pikiran dari ‘otak amigdala’ untuk bicara RMS, agar jangan terus menjadi stigma bagi sebagian orang Maluku yang selama ini dipakai pihak-pihak tertentu mencari keuntungan di wilayah stigmatisasi itu. 

Pemerintah kalau tidak selesaikan berarti pemerintah membuat politik pembiaran, tetapi juga membuat politik  gelang karet untuk meremas dan menekan hak hidup masyarakat Maluku di pentas Nasional. Jangan pakai pola politik yang sudah usang untuk membuat jarak kekuasaan (power distance) antara Pusat dan Daerah Maluku, sehingga Maluku ditinggalkan.

Baca Juga  Kenaikan dan Kehormatan

Penulis adalah magister ilmu komunikasi dan pemerhati sosial politik